Kuterbangun di pagi hari yang cerah di kala matahari menyengat kulit ariku yang tipis memerah. Tubuhku berbalut selimut lalu kutarik selimut itu ke atas kepalaku karena ketidaksukaanku akan matahari. 1 detik..2 detik..3 detik…Heh ? Matahari langsung menyengat semua bagian tubuhku tanpa batasan sama sekali. Telanjang ? naked ? am I a nudist ? Seinget otakku, aku bukan bagian dari komunitas nudist. Mataku langsung menyusuri semua sisi ruangan. Tak satupun barang yang kukenal, bahkan ranjang tempatku merebahkan tubuhku pun tidak kukenal. Aku dimana ? Dimana Aku ? Kulepas selimut yang bergelayut di tubuhku, kudatangi cermin yang sedari tadi memanggilku.

Kupandanggi diriku dari atas sampai bawah yang tanpa sehelai benangpun. Kulihat rambutku berantakan, seperti habis mengalami pergelutan yang sangat diluar batas. Kulihat mataku memerah, seperti terlalu lelah melakukan sesuatu yang begitu menghabiskan tenaga. Kulihat bibirku sedikit lebih tebal, seperti habis mengalami pergumulan. Kulihat telingaku memerah, kulanjut mengikuti jejak kemerahan itu sampai ke bagian leher. Ah..banyak sekali warna merah di leherku, seperti habis terhisap tanpa mau menyisakan sedikit pengampunan terhadap leherku. Kulanjut ke bagian pribadiku, payudaraku seakan menceritakan apa yang sudah kuperbuat tadi malam. Di bagian yang sangat mengundang itu, terdapat beberapa garis merah yang seakan ingin bersorak bahwa bagian itu sangat menikmati apa yang kulakukan tadi malam. Kulihat lagi terus kebawah sampai bagian vagina yang terasa sakit. Kusentuh bagian itu, kutelusuri permukaannya. Dan muncul pertanyaan dalam benakku. I have a sex, haven’t I ?

Sebelum semua pertanyaan itu terjawab, langsung kuambil kembali selimut putih yang tadi membalut tubuhku. Kubalutkan lagi melingkar di tubuhku yang mungil dan bertinggi badan tidak sampai 160cm, berambut panjang sedada, berhidung mancung, bermata besar tapi tidak mempunyai kelopak mata, berbibir tebal, dan berpostur tidak lebih dewasa daripada anak sekolahan. Kupandangi ruangan yang cukup besar untuk ukuran kamar tidur, mungkin muat jika ditambahkan satu buah double bed dan beberapa lemari berukuran besar.

Kamar yang bercat putih susu dan dihiasi oleh beberapa lukisan. Di kanan dan kiri tempat tidur ada sepasang meja kecil yang di salah satunya terdapat telepon transparan seperti kaca. Lalu diseberang tempat tidur ada perangkat elektronik dari mulai televisi, PS, dan beberapa perangkat entertainment yang membuat kamar ini lebih cocok disebut home theater. Disudut kiri perangkat tersebut ada lemari berukuran besar. Sudah kulihat satu persatu, kuteliti setiap detail di kamar ini, tapi tak kutemukan juga semua barang-barangku. Jangankan barang, pakaianku saja tidak tampak.

Panik, aku panik. Apa mungkin aku merupakan korban dari sindikat penjualan perempuan? Tak mungkin, aku tak melihat tanda-tanda kalo aku sedang disekap. Apa mungkin aku korban pemerkosaan ? Hmm, tak mungkin juga. Tak mungkin sehabis diperkosa, aku diletakkan di kamar nan mewah. Paling tidak kan korban pemerkosaan dibuang ke jalanan. Tapi kemana barang-barangku ? Pakaianku ? Keluar kamar, coba aku keluar kamar. Kulangkahkan kakiku menuju satu-satunya pintu di ruangan ini. Lalu kubuka perlahan agar tak terdengar suara sedikitpun. Kumajukan kepalaku ke luar ruangan sementara kedua kakiku masih belum mau beranjak. Kutengok kiri dan kanan memastikan tidak ada orang agar aku bisa dengan aman menelusuri setiap sudut rumah hanya dengan berbalut selimut. Kujejakkan kakiku di luar ruangan sambil kututup rapat pintu kamar tidur. Mataku bereaksi melihat rumah yang sedemikian megahnya sambil berusaha mencari pakaian dan barang-barangku yang lenyap tertelan malam. Ruangan atas sudah kutelusuri dari balkon sampai ruangan gym di sudut ruangan. Setelah ketidakberhasilanku menemukannya di lantai atas, aku langsung menuju tangga yang merupakan satu-satunya penghubung ke lantai bawah. Kuturuni anak tangga satu persatu. Belum sempat kumenyentuh lantai bawah, ada seorang wanita setengah baya sedang membawa seperangkat alat kebersihan memanggilku.

“Non. udah bangun ?”
Diriku seketika terperanjat berasa jantung lompat dan berada di posisi yang tidak seharusnya.
“Udah. “ kataku sementara alisku mengernyit membahasakan kalo aku bingung, tidak mengenali si wanita setengah baya tersebut dan berasa seperti berada di tempat antah berantah.
“Non. kenapa ? Koq kayak kebingungan ?”
“Bibi siapa ya ? Ini dimana ? Hmm, maaf kalo boleh tanya, liat pakaian saya ga ?” tanyaku beruntun mengingat kondisi tubuhku yang hanya berbalut selimut
“Ohh. Pakaian non. Udah bibi cuciin non. Tadi disuruh tuan. Non tunggu di kamar aja, nanti bibi ambilin baju yang lain.”

Dengan muka kebingungan, kuseret badanku kembali ke kamar tempat aku berbaring pertama kali. Kurebahkan lagi badanku sambil berusaha mengingat apa yang sudah terjadi tadi malam. Seinget aku, aku ada di pesta. Pesta rekan kerja, teman seperjuangan yang sudah menjalin persahabatan pula denganku, Bian, yang baru naik pangkat dan tentunya naik salary. Dia menyelenggarakan pesta di apartemennya. Tentunya tidak jauh dari alcohol, dia termasuk wanita yang kuat minum. Sedari kecil dia sudah terlahir dengan bakat meminum. Dari meminum ASI ibunya, meminum minuman beralkohol sampai meminum sperma yang sudah tentu yang merupakan kepunyaan sang pria pujaannya. Aku mabuk ? Belum mabuk ah, aku hanya menenggak beberapa gelas vodka. Beberapa atau banyak ? beberapa gelas tapi isinya banyak. Lalu di pertengahan pesta, aku pamit pulang karena keesokan harinya harus bangun pagi menjemput adik di bandara. Bandara ? Jam berapa ini ? Matilah gw !!!.

Terdengar ketukan pintu dan munculah bibi membawakan pakaian.

“Ini non, pakaiannya. Ini pakaiannya tuan, jadi mungkin agak kebesaran. “
“Bi, boleh pinjem telepon tak ? Saya harus jemput adik di bandara jam 8. Kayaknya ga keburu. Aku mau nyuruh dia naek taksi aja.”
“Pake aja telepon ini non!” sambil menunjuk kea rah telepon kaca.
Secepat kilat kutelepon telepon rumahku, secepat kilat juga bibi mengangkatnya.
“Halo..bi. Bi, ini aku Diar.”
“ihh si Non, kemana aja si. Dari tadi ditelponin si dedek, katanya non ga angkat telponnya.”
“Iyah, Bi. Aku ga keburu ni jemput dia. Tolong telponin ke hpnya dia. Suruh dia naik taksi aja. Ntar duit taksinya aku ganti. Nomor hp nya ada kan ? Yang ditempel di kulkas. ”
“Yowes non, langsung bibi telpon. Non pulang kan hari ini ?”
“Pulang tapi ga tau kapan. ya udah, aku ga enak pake telepon orang. Ntar aku kabari lagi. makasi yah, Bi.”
Kututup telepon kaca dan kembali aku kebingungan. Masalah satu beres, tinggal masalah yang lain. Pertanyaan yang sedari tadi ingin aku tanyakan. Aku ada dimana ? Rumah siapakah ini ? Kuletakkan gagang telepon di tempat yang seharusnya. Lalu kutatap bibi mengisyaratkan kalo otakku masih belum bisa mencerna keberadaanku yang entah ada dimana.
“Bi, ini rumah siapa ya ?” kulemparkan senyum yang membahasakan ‘tolong maklumi aku. aku sedang bingung.’
“Ini rumah tuan, non.”
“Iyah tuannya siapa namanya ?”
“Loh emang non ga kenal sama majikan bibi ? Non, semalem tidur sama tuan kan ?”
Tidur ? Koq si bibi ini santai banget mengucapkan kata ‘tidur’. Kalo aku orang yang memang sudah berkewajiban tidur dengan tuannya si masih bisa masuk logika. Nah ini kenal juga kagak.
“Tidur ? Bentar, Bi. Sumpah aku ga ngerti sama sekali. Nama majikan bibi itu siapa ?” tanyaku sedikit tergesa-gesa
“Non bener-bener ga tau majikan bibi. Tuan Abi, non. Tuan emang suka bawa perempuan si ke kamar tidurnya tapi emang non tidur sama tuan tapi ga kenal satu sama lain ? Bener-bener yah anak muda jaman sekarang.”
“ABI ??? Abi mana ? Bukan bos aku kan ?” seketika itu pula terdengar suara ‘glek’ dari kerongkonganku.
“Ga tau deh non, bos non apa bukan. Ntar non liat sendiri aja. Bentar lagi pulang koq orangnya. Keluar beli makanan doank sebentar.”

Tiba-tiba dari luar terdengar ada suara pria memanggil bibi. Dan seketika itu pula, bibi langsung keluar dan menyuruhku mengenakan pakaian dan memintaku langsung turun ke lantai bawah. Entah kenapa seketika itu pula aku merinding. Entah merinding karena dia orang yang meniduri aku semalam atau merasa tidak asing dengan nama si pemilik rumah. Di otakku kembali terlintas doa-doa sesat, ‘semoga bukan si bos’. Masa aku tidur dengan bos sendiri. Bos yang selalu meminimalisir deadline kerjaan dan menambah kerjaan disaat detik detik deadline. Bos yang selalu aku panggil biadab jika sedang bergosip ria dengan teman sejawat. Yeah, meskipun dia merupakan bos termuda nan tengil, dia juga disukai oleh banyak teman sejawat. Alasannya klise, punya tampang diatas standard, pintar, dan sudah mapan. Sepertinya yang mereka garis bawahi, sudah mapan. Yah, apalagi yang mereka harapkan selain kekayaan si bos yang lebih dari cukup untuk membiayai keluarganya di atas standard kehidupan orang normal.

Tapi tetap saja aku tak sudi tidur dengan lintah penghisap darah pegawai. Tidur ? dengan bos sendiri ? Bolehkah ? Sudikah ? Kenapa memang ? Banyak pegawai pegawai yang secara terang-terangan menggoda bosnya sendiri. Bahkan mereka sudi mempecunkan diri agar mereka menjadi istrinya. Seandainya si bos sudah berkeluarga, minimal mereka bisa jadi selingkuhannya. Pada tahap itu, mereka sudah bisa mengeruk dan mempreteli rekening si bos. Tetap saja, aku tetap berdoa. ‘semoga bukan si bos.’

Kuturuni tangga dan tetap dengan pandangan asing mengitari ruangan. Sampai kujejakkan kakiku ke lantai bawah dan sampailah aku kepada sesosok pria yang tidak asing didalam ruangan yang benar benar asing. Rasanya jantungku berhenti berdetak bukan karena kerjaanku yang belum beres atau melakukan kesalahan fatal seputar data perusahaan. Tapi karena pria ini, pria yang sudah meniduriku tadi malam. Meniduri ? Kami berdua sama-sama saling meniduri.

“Pagi Diar. “

Mataku terbelalak seakan mengerti bahwa doa sesatku yang sejak tadi kupanjatkan tidak dikabulkan. Rasanya tubuhku terasa semakin menghangat dan otakku kembali mengingat apa yang telah kulakukan tadi malam.

Menenggak vodka. Pamitan. Hmmm…salah kayaknya.

Menenggak vodka. Bersenda gurau beberapa jam. Ditelpon Bibi. Pamitan. Salah juga.

Menelpon adik. Pergi ke pesta. Menenggak vodka. Menggosipi si bos pelan-pelan. Ditelpon Bibi. Pamitan

Menelpon adik. Pergi ke pesta. Menenggak vodka. Menggosipi si bos pelan-pelan. Ditelpon Bibi. Pamitan. Jalan Sempoyongan.

Aduuh susah banget mengingat. Oia. Ada satu pria berpamitan berbarengan denganku. Si bos !!!

Menelpon adik. Pergi ke pesta. Menenggak vodka. Menggosipi si bos pelan-pelan. Ditelpon Bibi. Pamitan. Jalan Sempoyongan.

Bos juga pamitan. Kami sama-sama menuju lift. Kami masuk lift.

Apa yang terjadi di lift ? Apa yang membuat kami bisa saling meniduri ?

Hmm. Lupa. Tidak bisa ingat. Coba aku konsentrasi. Hmm. Aku ngoceh tidak beraturan di dalam lift.

Jangan jangan aku ngocehin bos ? ‘Glek’ suara kerongkongan aku membahasakan bahwa tamatlah
sudah riwayatku.

Kami sama-sama menuju basement. Dan ??

Aku ingat. Aku mencumbu si bos di basement. Mencumbu ? Mencumbu si bos sampai kemejanya berantakan. Mencumbunya sampai yang keluar dari mulutnya bukan bentakan melainkan desahan dan erangan halus. Lalu ? Ohh. Setelah puas mencumbunya, aku tinggalkan dia dan berjalan kearah mobilku. Tanpa peduli dengan birahinya yang sudah terlampau naik. Aku tetap berjalan sempoyongan tanpa bersalah. Sepertinya aku belum sempat membuka pintu mobil. Tanganku ditarik. Ditarik ? Aku diseret naik ke mobilnya. Aku berada di mobil si bos. Didalem mobil ngapain ya ? Ahh. Aku kecup lehernya sampai memerah. Lalu aku jilat permukaan mukanya layaknya anak kecil sedang menikmati ice cream. Lalu ? Dengan muka serius dia memasangkan sitbelt kepadaku. Shit!!! Aku yang memulai. Dari parkiran apartemen tempat pesta berlangsung menuju kamar tidur. Serpihan ingatan di kamar tidur mulai membuatku mual dan ingin mengelurkan semua cairan yang ada di dalam perut.
Ahh, vodka sialan. Aku mabuk ? atau otakku rusak ? Yang jelas harga diriku rusak ? harga diri ? Peduli amat soal harga diri ? toh sekarang harga diri banyak yang diobral. Banyak sekali obral apalagi menjelang kenaikan harga. Dari obral barang, obral janji, obral harga diri, sampai obral keperawanan. Tamat. Tamatlah sudah karirku sebagai asisten manajer. Peduli amat soal karir. Siapa tau aja aku naik derajat jadi calon istri ? iew, tak sudi yee. Emang aku wanita murahan ? Aku kan punya prinsip. oops, kalo bukan wanita murahan lalu wanita apa ? sudah jelas jelas aku bisa ditiduri dengan mudahnya. Prinsip ? Prinsip apa ? iew, prinsip aku apa ya ? ooh. aku bukan orang yang mau menikah karena sudah terlanjur ditiduri. Emang itu prinsip ya ?

***

“Non, itu tuan manggil. Non. “ kata bibi sambil mencolek colek tanganku.
“Haii. “. “Maksud saya, pa- pa- pagi bos. Emm, maksud saya. Maaf, Pak Abi. ” sapaku sambil mengeluarkan senyum yang sudah tentu tidak tulus dari dalam hati.

“Duduk. Kita makan. Saya sudah beli bubur. Kamu suka bubur kan ?”
“Iy..Iya Pak. Makasi.” Jawabku gagap.

Kududuk diseberang si bos. Semangkuk bubur sudah tertata rapi dengan sanduk dan garpu diatas sebuah tisu makan. Ahh. Tertata krama sekali bosku ini. Tak lupa kulantunkan doa sebelum makan. Doa ? Masih bisa saja aku berdoa. Heii. Dirimu sudah berbuat dosa kemarin malam. Ah peduli amat soal dosa. Loh koq peduli amat ? Ga boleh gitu seharusnya. Hmm. Aku masih bertuhan. Masih menjalankan ibadah. Tapi tak lupa dosa juga kujalankan.

Kuambil alat makan yang tersedia. Sial. Aku gemetaran. Ketika kumencoba menseret bubur masuk ke mulutku, tak henti-hentinya alat makan berbenturan dengan mangkok. Tatapan tajam mata si bos membuat aku merasa dihakimi dan membuatku merasa kalau diriku layak dikasihani. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya menyiksa diriku yang semenjak tadi ingin berteriak. Kebayangkan rasanya ingin teriak tapi tertahan.

Sudah kuhabiskan buburku begitu juga dengan si bos. Mangkoknya sudah kosong, bersih, tak tersisa. Wew, dia kelaparan. Kelaparan ? Kelelahan sepertinya. Memangnya diriku tidak lelah. Sudah habis darahku dihisap olehmu. Darah ? Darah atau leher ? Hehehe. Leher. Lalu setelah aku selesai makan, dia cuma menatap aku sambil mengernyitkan dahi tanpa berkata satu patahpun. Aku mulai melakukan sumpah serapah dalam hati. Dan akhirnya aku nyeletuk sanking tersiksanya.

“Barang-barang saya dimana ya ?”
“Barang-barang kamu ada di kamar saya. Kenapa ?”
Kenapa ? Koq dia nanya kenapa ? Yah karena itu barang-barang aku. Wajar kan kalo aku nanyain. Bikin emosi aja ni orang.
“Saya perlu barang-barang saya pak. Saya harus mengabari orang rumah.”
“Pake aja telpon rumah.”
“Tapi saya mau pulang jadi saya mau ambil barang-barang saya.” Jawabku mulai ketus.
“Oh. Ya udah saya ambilin barang-barang kamu, sekalian saya antar kamu pulang.”

Anterin pulang ? Adakah maksud dibalik mengantarkan pulang ? Dia belum puas menyiksaku rupanya. Sepertinya dia akan terus menyiksa sampai aku mengajukan surat pengunduran diri. . Bergegaslah si bos mengambil semua barang-barangku di kamarnya lalu tak lupa dia mengambil secarik kertas dan memberikannya kepadaku.

“Catat alamat rumahmu!”
“Heh ? buat apa ?”
“Mobil kamu masih di apartemen Bian kan ? Biar saya suruh supir saya ambil trus anterin ke rumah kamu. Kamu biar saya aja yang anterin. “
“Oh. “

Kutuliskan alamatku dengan lengkap dan memberikannya kepada si bos. Lalu dengan cekatan dia memanggil pak supir dan memberikannya kepada pak supir sambil menjelaskan apa yang harus dikerjakan. Dan tak lupa dia menyuruh pak supir untuk memanaskan kedua mobilnya. Beberapa menit kemudian, dia langsung menarik tanganku dan tak lama setelah itu kami berdua sudah ada di dalam mobil. Dan aku pun dalam perjalanan pulang ke rumah.

Aku speechless. Tak tau harus memulai darimana. Ingin rasanya kupecahkan segala kepenatan. Heran yah sebagai wanita, yang telah ditiduri oleh seorang pria, ingin rasanya bertanya kepada sang pria. Pertanyaan bodoh dan membuatmu terlalu bodoh untuk lahir sebagai wanita. ‘How’s your feeling right now ?’, ‘Akankah ini berlanjut atau hanya One Night Stand semata ?’. Oke..kita sudahi pertanyaan bodoh itu sebelum pertanyaan itu benar-benar meluncur dari bibirku. Jadi sebagai wanita yang peduli kalo dia harus punya harga diri dan berada satu tingkat lebih pintar daripada pria yang merasa dirinya tampan yang berefek pada tingginya angka popularitas dikalangan wanita, yang berefek pula pada ketengilannya sehingga dia merasa bisa menjajah wanita yang senang sekali dijajah perasaan olehnya, aku harus mendahulukan logika. Logikanya, dia bos, aku bawahan. Jadi ini haruslah ONS semata. Dan jangan tanyakan apapun tentang tadi malam karena itu akan mengakibatkan si bos makin merasa aku berharap.

Berharap ? Sapa yang ngarep ? Bodoh banget kalo sampe ngarep. Tenang..ini hanya akan menjadi ONS semata. ONS ? Bukannya aku sudah sering melakukan ONS ? Berarti tidak susah melalui ini. Aku aja sering, apalagi si bos.

“Diar ? Diar ?” panggilan bos membuyarkan konsentrasi
“Eh..maaf bos. Ada apa bos ?”
“Kamu sakit ?”
“Ndak. Eh. Mungkin sakit. Agak pusing.”
“Kemaren malam kamu sehat-sehat aja. Kamu ingat yang terjadi tadi malam ?”
‘Glek’ ! yang terjadi tadi malam ? kenapa harus dibahas sih ?
“Kemaren malam. Kata bibi. Aku tidur bareng bos. Tidur bareng sepertinya. Kita..berdua. “ kataku sambil mengutipkan kata ‘tidur’ sambil senyum tak tulus.
“inget toh..“
“inget sedikit…remang-remang. ”
Remang-remang ? Emangnya warung remang-remang ? kenapa kata itu yang aku keluarkan ? Bodoh !!! Harga diri makin jatuh.
“Saya ga nyangka. Kamu anak IT. Biasanya freak.”
“Hmm…”
“Saya harap kamu tak banyak berharap. Kamu ngerti kan ? Saya atasan. Kamu bawahan.”
“ONS maksud bapak ?” tanyaku spontan mendengar celotehan si bos yang terlalu banyak basa basi
“Iyah itu maksud saya. Jadi saya harap ini tidak mempengaruhi profesionalitas kerja.”

Gila!!! Berharap ? Emangnya aku ngarep apa ? Rasanya ingin sekali aku keluar dari mobil camry hitam ini. Kalo aku tak ingat kami sedang berada di jalan bebas hambatan, sudah lompat aku keluar mobil. Lompat ? Okaii. Itu emang terlalu berlebihan, setidaknya itu menggambarkan betapa gerahnya aku bersama mahluk ini. Emosiku sudah mulai naik ke jantung.

“Saya mengerti, bos. Dengan sangat amat menyesal, saya minta maaf karena sudah melakukan perbuatan tidak senonoh bersama bapak. “
“Yah pokoknya kamu tak banyak berharap, bahkan jangan berharap.”

Entah kenapa ketika si bos mengulangi kata-kata tidak berharap dan jangan berharap itu berarti dia menganggap aku sangat berharap. Emosiku sudah naik menaiki otak dan membisikkan kata-kata kasar yang seharusnya tidak aku keluarkan di depan bos.

“Iyah pak, saya ngerti. Ini ONS kan. I know you are my boss and I never expected that you would be my sex partner. It’s like double damn. I have a sex with a wrong man and in wrong situation. “

Kutarik nafas dalam-dalam. Lalu kulanjutkan kata-kataku.

“ONS. Aku sudah sering melakukan itu. So, don’t worry!”
“Hmm. Baguslah. “

Lalu kami berdua pun terdiam, sambil sesekali aku memberitahu jalan ke arah rumah. Hening..Sepi…Berasa kuburan. Kuburan ? Iyah. Tempat peristirahatan terakhir. Mungkin malah ramaian kuburan. Sekarang kuburan sering dipakai untuk tempat bermain. Tidak ada lagi taman bermain maka kuburan pun dipakai anak-anak untuk bermain. Dari bermain laying-layang, main gundu, main petak umpet. Harusnya sih anak jaman sekarang udah ga takut lagi sama setan. Wong rumah setannya diinjek-injek sama mereka.

Akhirnya sampailah ke rumah. Rumah bercat kuning gading dengan garasi dan taman seadanya. Ketika sampai, di otakku hanya terlintas satu hal. ‘Jangan menawarkan bos untuk mampir. Harimu sudah sangat kacau karena keberadaannya.’

“Ini rumah kamu ?”
“Iyah bos.”
“Koq sepi ?”
“Emang cuma ada saya sama pembantu. Lagi ada adik aku hari ini. Jadi lumayan rame.”
“Ohh. Ya udah. Udah sampe berarti.”
“Iyah. Udah sampe. Makasi yah pak. Udah nganterin. Saya turun dulu ya pak.”

Saat itu si bos tak menjawab apapun.

“Bos. Bos. “ sambil mencolek tanggannya agar dia kembali lagi ke dunia nyata.
“Oh iyah. Mau turun yah. Hmm. Ini jalan pulangnya sama kan ?”
“Iyah pak. Sama. Ati-ati. “

Kuturunkan tubuh ini dari si camry hitam. Lalu tanpa basa basi, aku langsung melenggang masuk ke rumah tanpa pamit. Tak kuperdulikan si bos sampai akhirnya dia pun menjalankan mobilnya. Ahh. Sial!!! Aku tersiksa. Kuucapkan salam sebelum masuk rumah. Dan yang terdengar malahan suara adikku yang sedang emosi jiwa.

“Assalammualaikum. “
“Kakak…!!! Kemana aja si ? Dicariin. Tadi dianterin siapa ? Cowo baru yah ? Pantesan aku tadi dilupain. Ga dijemput. Ga dikasih kabar. ”
“Aduh. Iyah. Maaf. Gw banyak kerjaan di kantor jadinya nginep. Tadi dianterin bos gw. Udah yah. Mau masuk kamar dulu. Ngantuk. Lo udah makan kan ? Istirahat aja gih. Ntar malem baru kita ngobrol lagi. “
“Huu. Dasar kebo!!!”

Tak kugubris perkataan adikku yang terakhir. Yang sedari tadi ingin kulakukan adalah mandi. Mandi yang bersih agar sperma si lintah penghisap darah pegawai itu lenyap. Kukunci pintu kamar dan kulucuti pakaianku satu persatu. Tak sabar kudatangi kamar mandi yang ada di dalam kamar kecil nan mungilku. Kutelusuri pintu kamar mandi dan langsung masuk kedalamnya. Mencuci mukaku hingga bersih. Mengambil sabun cair lalu kubasuhkan ke seluruh tubuh. Dari leher turun ke payudara, perut, naik lagi ke punggung dan leher, turun lagi ke arah pinggang, paha, lalu bagian intim wanita tak lupa kubasuh juga, lalu turun hingga ke ujung kaki. Kuambil shampoo dan kubalurkan ke seluruh rambut dan tak lupa kuniatkan niat mandi wajib. Mandi wajib ? Ya iyalah mandi wajib..aku kan mau sholat. Sholat ? Masih inget aja aku sama sholat. Aku selalu inget sholat. Meski aku sering melakukan dosa. Aku berfikir setidaknya amal kebaikanku seimbang dengan amal burukku. Jadi kalo ditimbang pas hari akhir masih bisa kebayar tuh dosa. Yeah. Miris memang. Mencoba bermain aman. Mencoba nakal tanpa dihakimi. Dihakimi ? Dihakimi masyarakat atau Dihakimi Tuhan ? Hmm sepertinya manusia jaman sekarang lebih takut dihakimi massa daripada dihakimi Tuhan. Setelah ritual pembersihan diri selesai. Aku mengambil handuk yang tergantung di pintu kamar mandi lalu kubalut mengitari tubuhku dari dada hingga dengkul. Lalu aku keluar dan menuju lemari. Kuambil kaos dan celana pendek. Tak lupa kuambil pula underwear di laci bawah. Kupakai berurutan dari mulai underwear – celana pendek – kaos. Kusisir rambutku lalu tak lupa kuambil sajadah dan mukena. Aku mulai sholat. Selesai sholat, kurapikan perlengkapan sholat dan kuberbaring di ranjang double bed berseprai kuning, bergambar kucing.

Kembali lagi kuingat apa yang terjadi di kamar itu. Teringat pula paras si bos membayangi semua space memori di otak. Kuingat sekali ketika aku dan dia sampai di rumah mewahnya. Lalu aku mengoceh dan bersumpah serapah. Digotongnya diriku masuk ke kamar. Kamar yang menjadi saksi bisu pergumulan kami. Lalu aku yang mulai tak waras memeluknya dan dia pun langsung menghujaniku dengan cumbuan. Well, suasana yang semakin memanas membuatku mengecup bibirnya, turun ke leher, turun ke dada, turun ke perut. Lalu kujilati pusarnya sampai dia tak bisa menahan panasnya otak dan erangan nafsu biadabnya. Lalu dia mulai mencumbu leherku, mengisapnya tanpa ampun lalu turun ke arah payudara. Aku masih bisa merasakan tangannya berada di dadaku. Bermain main seolah anak kecil yang tidak mau kalah. Lalu merambat ke arah perutku. Dan dia pun mulai menjilati semua bagian atas tubuhku. Dan mempreteli pakaianku sampai polos. Ahh. Aku tak sanggup lagi membayangkan. Bukan tentang pergumulan yang aku sesalkan. But my sex partner ? My boss ? Sangat diharamkan. Apalagi setelah aku menyindir menyindir sekumpulan teman sejawat yang sangat ingin meniduri si bos dengan harapan bisa naek derajat. Matilah sudah. Tiba-tiba terdengar bunyi sms masuk. Kuteliti. Tertera ‘Off Pak Abi’. Si bos ? Ngapain dia sms ?

‘Diar. Jangan lupa siapkan presentasi untuk hari senin! Oh iya, saya punya bahan tambahan. Sudah saya kirimkan ke email kamu. Tolong dikerjakan maksimal karena ini tender besar. Terima kasih.’

What the fuck !!!

Malam harinya…

Terdengar suara ketukan dari tangan mungil adikku, Rachel, membangunkan tidurku yang nyenyak.

“Kak, ada temennya tuh, kak Bian. Kakak, itu ada temennya tuh. “
“Huumm, iyah. bentar. Suruh masuk aja dek. Bentar kakak ganti baju dulu. “

Tak lama kemudian, Bian dan adikku sudah nimrung di kamarku. Sudah tergelar cemilan cemilan kecil di atas tempat tidur. Adikku memang sudah kenal Bian. Mereka berdua sering bertemu karena adikku sering kuajak keluar bersama jika dia sedang ada di Jakarta. Dan kami memang sudah sangat biasa nimrung bersama sambil mencemil, membicarakan pembicaraan ringan sarat hubungan pria dan wanita alias curcol. Tak lain dengan malam mini, Bian datang ke rumah sekedar menginap menghabiskan waktu bersama. Sekalian aku berangkat ke kantor bersama Bian besok.

Kami mengobrol menghabiskan malam dengan cemilan dan tidak lupa cerita-cerita seru kami selama kami berdua tidak bertemu. Kami terus mengobrol sampai akhirnya mereka berdua menyadari noda merah pada leherku. Sial. aku ceroboh, lupa memakai kaos berkerah. Alhasil pertanyaan yang bertubi tubi dilemparkan.

“Diar, leher lo coba gw liat ?” Bian tiba tiba memecah tawa
“Kenapa sama leher gw ? Ga kena- ” kataku mencoba berkelit
“Kak. Abis dinecking ama sapa ? iew. Ga bersih ni maennya.” Rachel langsung memotong kalimatku

Melihat situasi dan kondisi, aku sudah mengetahui kalo sudah tak ada gunanya lagi berkelit. Mereka berdua juga sudah mengerti apa yang terjadi. Sebenarnya biasanya aku terbuka bercerita soal hubunganku dengan banyak pria. Tak ada yang perlu ditutupi. Bian dan adikku, Rachel sudah sangat tau kebiasaanku. Kami bertiga yang ada di ruangan ini sudah tidak asing dengan pergumulan pria wanita. Aku dan adikku memang hidup bebas di hidup kami yang sangat penuh dengan peraturan. Kami lahir dan dibesarkan dalam keluarga taat beragama dan memegang teguh disiplin hidup. Kami berdua sangat mengetahui selak beluk agama yang kami anut. Hanya saja semua kehidupan yang selalu dikelilingi oleh ketaatan membuat kami merasa bosan, apalagi saat saat remaja. Thus, kami berdua memutuskan untuk hidup bebas tanpa aturan tentunya tanpa sepengetahuan keluarga kami.

Beda lagi dengan Bian, dia memang sudah dibebaskan orang tuanya sedari kecil. Dia ditanamkan paham hidup bebas bertanggung jawab. Terserah apa yang dia lakukan, tapi dia harus ingat tanggung jawab atas semua perbuatannya. Well, jadi inilah kami. Kami sudah sering sekali bercerita tentang hidup kami apalagi soal pria wanita.

“Diar. Kita nanya ni. Pria mana yang jadi korban ONS lo kemaren ?”
“Sial. Enak aja korban. Kami berdua itu sama-sama korban. Korban kebejatan masing-masing.” Kataku cengengesan.
“Huu, kakak kan tukang perkosan pria.” Tukas Rachel setengah menyindir
“Iyah pria mana lagi yang lo perkosa.” Lanjut Bian
“Damn. Koq kayaknya gw tukang cabul banget ya ? Sadar diri dunk. “
“Ciee, gitu aja ngambek. Sesama tersangka cabul tak boleh saling menyidang. Emang siapa si orangnya ? koq kayaknya lo ogah bener cerita ? gw kenal ya ? ” tanya Bian penasaran

Kembali senyum cengengesanku membuat keduanya penasaran dan meminta aku menjawab pertanyaan mereka.

“Si Bos.” Tiba tiba aku menjawab dengan tegas
“Heh ? Bos mana ? Abi ?” tanya Bian
“Iyah.”
“Yang kemaren nganter pulang yah kak ?” tanya Rachel
“Koq lo bisa perkosa Abi ? Gimana ceritanya ?”
“Iyah kak. Ceritain yang detil.”

Akhirnya, malam itu dipenuhi dengan kisah aku dan si bos yang salaing meniduri. Aku bercerita secara detil tentang pergumulan kami kemarin malam. Bagaimana liarnya kami menikmati kebebasan bersama, saling menciptakan kepuasan tak terlupakan. Bagaimana kami saling bercumbu dan mendesah. Bagaimana kami mengakhirinya dengan sebuah erangan panjang. Rachel dan Bian tertawa-tawa mendengar kisahku karena mereka tak habis piker terutama Bian, bagaimana bisa aku dan bos menghabiskan ‘malam bersama’ ? Mereka berdua mendengarkan dengan sesama sampai akhirnya kami tertidur pulas. Tertidur menyiapkan energi untuk mengerjakan pekerjaan kantor nan melelahkan dan adikku harus memporsikan tenaganya untuk jalan-jalan keliling Jakarta besok.

Sesampainya aku dan Bian di kantor, kami berdua harus berpisah ruangan. Kami berangkat pagi sekali agar tak terkena macet. Malaslah sudah kalo macet. Aku pun harus menuju ruangan si bos. Si bos belum sudah datang ternyata, padahal masih pagi, baru jam 7an kurang, sedangkan masuk jam 9. Di ruangan ini kami hanya berdua. Pak Abi sebagai manajer utama dan aku sebagai asistennya. Meja kami bersebrangan dan ruangan kami sangatlah tertutup. Kaca ruangan kami hanya bisa terlihat dari dalam.

Well, pagi ini terasa beda dari pagi biasa. Pagi ini aku merasa aneh dan selalu terlintas imajinasi mesum di otakku. Maklum berada di ruangan tertutup bersama pria yang kau tiduri kemarin malam adalah godaan nafsu yang amat kuat. Dan imajinasi pun meluap memecah setiap beluk konsentrasi. Tiba tiba datanglah si bos ke mejaku dengan membawa beberapa berkas.

“Diar. Bahan yang saya kirimin ke email kamu kemaren sudah kamu kerjakan ?”
‘Glek’. Lupa. Belum dikerjain. Matilah!!!
“Bahan ? Hmm. Maaf pak. Saya lupa. Kemaren saya ketiduran. Saya kerjain deh sekarang pak. Secepatnya. ”
“Ohh ya udah gapapa. Kemaren saya juga kerjain. Pake punya saya aja kalo gitu.”
“Hmm. Maaf pak.” Kataku pelan merasa bersalah.
“Coba kamu cek email. Saya sudah kirim ke email kamu. Coba kamu cek lagi apakah ada yang mau ditanyakan. Biar saya langsung jelaskan. “

Jariku langsung cepat bergerak diatas mouse dan keyboard. Kubuka email yang dimaksud. Dan kubuka attachmentnya. Kupelajari setiap kalimat dan kata. Sambil sesekali bertanya agar aku bisa menjelaskan di saat presentasi nanti. Tanpa kusangka di saat aku sedang serius melontarkan pertanyaan soal bahan presentasi tersebut, bibir si bos menyentuh lembut telingaku dan melanjutkan dengan mengulum pelan di setiap inch permukaannya. What ? pucuk di cinta ulam pun tiba. Upps salah, fantasi liar menerpa, ciuman si bos mendera. Aku speechless dan langsung menarik diri.

“Maaf pak. Ini kantor. Lagian kan kemaren bapak bilang sendiri, kemaren itu ONS semata.” Kembali mengeluarkan statement dengan cengengesan sambil menahan birahi.

Si bos tidak mengeluarkan sepatah katapun. Sering sekali sih dia seperti itu. Aku kan jadi speechless. Dia hanya menatap mataku dalam dan kembali dia mencumbu telingaku. Kali ini aku tak tahan, tanpa sadar aku sudah mengerang pelan kegelian. Mendengar erangan itu, dia semakin liar mencumbu sampai tak sadar tanganku sudah berada di forbidden area. Well, aku sudah memainkan daerah pribadinya. Memainkannya di luar celananya sambil sesekali usil meremasnya. What the hell ! Aku sudah tak tahan. Birahi ini sudah memuncak tapi ini kantor. Dan kembali otakku diributkan dengan siapa yang jadi sex partnerku. Keinginanku untuk bermain lebih semakin melompat-lompat seiring dengan ketidak inginanku melakukannya di kantor. Sial. Peduli setan dengan kantor!!!

Semakin aku menikmati permainan ini. Tak tahan kugigit kecil tubuhnya. Kuturun ke bagian bawah. Kujilat dan sedikit kugigit sang junior tanpa kulepas celananya. Sampai pada akhirnya dia mengerang pelan sambil menikmati puncak kenikmatan. What ? 20 menit sudah kami bermain gila dan kebiasaanku mengakhirinya di tengah-tengah hidangan utama, di tengah-tengah puncak kenikmatan. Kutatap matanya dalam dan kutarik kenikmatan yang sedang dia unduh.

“Maaf pak. Saya mau pelajari bahan presentasi ini dulu. Bapak ke meja bapak aja dulu nanti saya tanya kalo saya tak mengerti.”
“kamu ?” hanya satu kata yang keluar dari mulutnya
“Profesionalitas kerja pak. “ jawabku tanpa rasa bersalah kembali dengan cengengesan
“Jangan sampai tender yang ini gagal. Nanti berangkat ke tempat clientnya bareng saya. “

Kembaliku lanjutkan pekerjaan dan mempelajari semua bahan presentasi. Sambil sesekali meringis mengingat apa yang sudah kulakukan dengan pria di seberang mejaku. Aku nakal. Senang sekali membuat nafas nafas nikmat pria tertahan tanpa tersalurkan. Oops tak terasa ponselku bordering. Terlihat nama bunda di layar.

“Halo. Assalammualaikum. ”
“Walaikumsalam, Diar. “
“Iya, bun. Ada apa ?”
“Diar, ada perlombaan baca al-quran. Kamu ikut ya ? Nanti bunda daftarin. “
“Dalam rangka apa ? Siapa yang nyelenggarain ?”
“Departemen Agama yang nyelenggarain. Hadiah utamanya umroh buat 2 orang. Kalo kamu menang kan bisa umroh bareng adik kamu.”
“Oh ya udah. Daftarin aja, bun.”
“Semoga menang ya nak. Semoga juga berkah lombanya, jadi kamu tambah soleh. Kan kamu udah sering menang lomba baca al-quran. Bunda daftarin ya. Yo wes kamu kerja lagi. Nanti bunda kabarin. ”

Agamis ? Agamiskah diriku ? Soleh ? Solehkan diriku ? Soleh aku di depan orang tuaku. Tak pernah lupa kukerjakan ibadahku. Jahat ? Jahatkah diriku ? Munafik ? Munafikkah diriku ? Aku masih ingat Tuhan. Aku tau Tuhan melihat semua perbuatanku. Aku jujur pada Tuhan. Jujur..aku belum bisa meninggalkan kehidupan bebasku. Aku masih suka dan belum ada alasan kuat untuk meninggalkannya dan beralih ke jalan-Mu. Alasan ? Apakah berbuat benar butuh alasan ? Alasan ah hanya alasan. Manusia sering sekali beralasan untuk diri mereka sendiri. Agar mereka tidak terhakimi.

Sudah jam 10, sebentar lagi harus ketempat client dikarenakan harus presentasi ke client jam 11 nanti. Kusiapkan semua bahan presentasi dan tak lupa kuingatkan bos untuk membawa notebooknya sebagai backup kalo notebookku ada masalah. Perusahaan kami bergerak di bidang periklanan. Dan perusahaan ini telah cukup lama bergelut di bisnis ini. Sudah banyak sekali client yang terpikat dan menjadi client setia kami. Setelah cukup jauh berjalan ke parkiran. Kami mulai keluar gedung kantor dan menuju kantor client. Cukup jauh jaraknya. Memakan waktu sekitar 1 jam lebih tentunya belum dihitung pake macet.

Didalam mobil, kami berdua membicarakan kemungkinan pertanyaan apa saja yang dilontarkan. Serta keunggulan yang kami tawarkan kepada mereka. Seketika perbincangan serius kami buyar karena permintaan bodoh si bos.

“Diar.”
“Ya pak ?”
“Boleh saya minta sesuatu ?”
“Minta apa pak ? Kalo soal presentasi mah beres. Tenang aja pak.”
“Bukan itu. Saya mau minta kamu cium saya.”

‘Glek’. Seketika itu pula aku yakin sepertinya otak pria ini sudah konslet. Mungkin ketika malam pergumulan denganku, kepalanya terbentur sehingga pria tak berotak ini jadi linglung dan tak punya tujuan yang jelas.

“Wuihh jangan pak. Nanti saya keterusan. Bahaya, bapak kan lagi nyetir.”
“Ga mau ?”
“Yee. Saya masih mau idup pak. Belum mau mati muda. Belum kimpoi. Oops maksud saya belum nikah.”

Mata pria tak waras ini hanya menatap mataku dalam seperti yang sering dia lakukan.

“Mau apa ga ?” tanyanya dengan masih tetap menatap mataku dalam.

Ahh sial. Tatapan dalam lagi. Damn! Cium ? Jangan! Cium ? Jangan! Tak kuasa kutolak bibirnya yang memerah. Kugigit bibirku menandai keraguanku. Ingin ? Ingin tapi tak mau membunuh martabat diri. Bodo ah!!! Martabat masih bisa dibeli ? Masih koq. Masih banyak koq orang yang jual martabat. Kubunuh martabatku dan kumajukan diri ini ke arah bangku pengemudi. Kubalikkan mukanya ke arahku. Kucium lembut bibirnya. Terus kulumat bibirnya yang semakin basah. Sambil sesekali dia melirik ke arah depan, memastikan mobil berjalan dengan benar. Ahh. Sial. Aku tak bisa berhenti. Aku tak bisa berhenti hanya sebatas bibir. Kugigit bibirnya dan kucengkram pinggangnya. Erat dan semakin erat tanganku mencengkramnya semakin membuat AC mobil mewahnya tak terasa sedikitpun. Aku kepanasan.

Tak kuasa kucium bagian lehernya. Dia pun mendesah pelan kegelian. Sampai pada akhirnya tak kuasa aku menahan tanganku untuk tidak menyentuh bagian sensitifnya. Tanganku sudah berada di atas resleting celananya. Mengusap-ngusap lembut. Hmm. Ternyata bukan tangan saja yang ingin bermain. Lidahku pun ingin ikut permainan. Kuturunkan mukaku tepat di atas Sang Junior yang masih berbalut celana bahan hitam sang majikan. Puas mendengar desahan pria tak waras ini, aku pun semakin senang dan larut. Kubuka resleting celananya. Kutemukan lapisan boxer. Ahh. Sang junior terlalu banyak dilindungi lapisan. Kubuka lapisan boxer dengan kasar. Masih ada lapisan underwearnya. Kubuka underwearnya dengan cepat. Terlihat sang kelamin pria ini berdiri minta dijamah. Kujamah lembut dan sesekali kukulum dengan lidahku. Sang pria berusaha mengusap usap leherku dan menambah rangsangan kuat pada tubuhku.

Sampai akhirnya si bos mengeremkan mobilnya mendadak. Jantungku pun melompat.

“Pak. Jangan gila dunk. Ga lucu kan kalo saya keselek penis bapak.”
“Sorry. Ada yang nyebrang mendadak.”
“Huuu. Udahan ah.” Jawabku cemberut karena tidak bernafsu lagi mempretelinya.

Kubenarkan lapisan-lapisan yang membalutnya. Kubalut lagi dengan seksama. Dan tak lupa sentuhan terakhir. Kubelai lembut sesudahku tutup lagi resletingnya. Dan si bos pun tiba-tiba tertawa mengamati tingkah polaku. Dia tertawa ? Pertama kalinya. Aku tak pernah melihat dia tertawa sebelumnya. Dia terlihat lebih muda jika tertawa. Well. dia memang masih muda dan tak bisa dibilang tua. Mungkin yang aku maksud, dia terlihat bersahabat. Sahabat ? Orang gila koq aku jadiin sahabat.

Jangan-jangan aku juga gila ? Aku bukan gila. Aku hanya tak waras. Dan kami berdua pun sama-sama tak waras, melakukan permainan kotor di dalam mobil mewah tanpa merasa bersalah dan mengakhirinya dengan presentasi di kantor client tanpa cacat sedikitpun. Setelah itu kami pun kembali ke kantor untuk melakukan semua pekerjaan kami yang agak waras yang sudah bertumpuk di meja kerja.

Sudah hampir 9 jam aku bekerja. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 06.00 sore. Ahh sudah waktunya pulang. Kubereskan semua kerjaanku hari itu dan kurapikan semua barang-barangku. Kuambil tas dan bergegas ke luar ruangan. Kutarik pintu ruangan dan kudengar si bos memanggil.

“Diar. Koq udah mau pulang ?”
“Lah kan udah jam 6 pak.”
“Aku ada kerjaan lagi buat kamu.”
“Besok aja pak. Saya ada urusan. Mau ngajar anak-anak belajar qur’an.”
“Loh ? Kamu bisa baca qur’an ?”
“Bisa lah pak. Saya kan muslim. Masa ga bisa.”

Kulihat kerutan muka si bos merasakan ragu sedemikian sangat. Sepertinya dia tidak percaya aku bisa membaca al-qur’an. Yeah meski aku nakal dan banyak berbuat maksiat. Aku juga mengerti agama. Aturan-aturan yang ada sudah kupelajari telak sedari mungil. Apakah aku termasuk orang-orang yang mendustai agama ? Menurut kalian ? Apakah kalian tau rumusan dosa ? apakah kalian tau rumusan amal ? kalo bagi orang yang simple seperti aku dan ga kenal rumit, amal = kebaikan – dosa. Agar amal selalu bernilai positif maka kurangilah dosa. Jika kalian tidak bisa kurangi dosa maka perbanyaklah kebaikan. Simple kan ?
Apakah rumusan seperti itu mempermainkan nilai-nilai agama ? Main ? Aku hanyalah mahluk kecil dibandingkan dengan kuasanya. Setau aku, aku memang bermain. Bukannya bermain itu baik ? Bermain kotor untuk tau kalau itu kotor ? Bermain kotor untuk mengetahui permainan mana yang bersih.

“Saya ga bisa baca al-qur’an. Padahal saya muslim.”
“Lantas ?”
“Saya boleh ikut ?”
“Ikut ? Ikut belajar baca ?”
“Iyah. Ga boleh yah ?”
“Bukan ga boleh pak. Yang saya ajarin anak kecil semua.”
“Hmm. Kalo gitu saya private aja belajarnya. Di rumah saya. Tapi saya tetep ikut. Saya pengen liat.”
“Heh ? Private ?”
“Ya udah. kita pulang. Saya antar.”

Sekali lagi. aku hanya bisa speechless. Tak bisa berkata. Tak mengerti apa maunya. Tak mengerti apa yang dia inginkan. Tak mengerti kenapa dia begitu plin plan. Tak mengerti kenapa aku bisa berurusan dengan pria sialan yang berada di seberang meja kantorku. Peduli amat dengan kondisinya yang tak bisa mengaji! Memangnya aku peduli. Bagaimana dia bisa mengerti aturan-aturan agama kalau membaca hurufnya saja dia tidak bisa. Menggelikan pria yang dirasa tampan, banyak uang, hidup serba kecukupan, dan pintar tapi hanya membaca dan merangkai huruf hijaiyah. Parah!!! Ternyata memang benar kehidupan dunia tidak bisa membeli agama.

Loh koq aku jadi menghakimi ? Aku bisa koq membaca dan merangkai huruf hijaiyah. Merdu pula. Oops. ingat kelakuan. Kelakuanku tak lebih dari seorang pekerja seks yang tak suka dibayar. Koq aku bisa menghakimi pria berkecukupan yang tak mengerti agama ? Loh memangnya pekerja seks tidak boleh menghakimi orang berkelas. Loh hukum itu kan harus adil. Jika pekerja seks diadili, orang berkelas juga harus dihakimi. Seharusnya kami diadili. Karena kami selalu langgar aturan dan kami selalu memakai topeng. Topeng penghias agar wajah kami tetap manis. Memang kami harus diadili jika dunia adil. Masalahnya sekarang, dunia itu tak adil. Begitu juga kehidupan.

Sesampainya di rumah saya. Rumah yang setiap hari senin, rabu dan jumat akan ramai anak kecil. Ketiga hari itu, anak kecil akan berbondong-bondong ke rumahku untuk belajar mengaji. Huuf ternyata adikku belum pulang. Dia tak mungkin pulang cepat. Hiruk pikuk kehidupan malam Jakarta tak mungkin dilewatkannya. Hmm. Jika di kampung halaman kami, Palembang, adikku selalu menjadi wanita soleha di rumah yang selalu diawasi oleh orang tua kami. Setiap harinya dia tak henti-hentinya beramal dan menjalankan ibadah. Beda lagi jika dia ke Jakarta, dia seperti mengejar maksiat. Mengambil sedikit demi sedikit tabungan amal kebaikan dia untuk memperoleh sedikit banyak kenikmatan dunia.

Ketika semua anak-anak sudah siap dengan pelajaran mengaji, aku pun mulai mengajari mereka tata cara membaca al-qur’an. Dari mulai mencekoki mereka untuk menghapal huruf hiajiyah sampai mengajari mereka tajwidnya. Sedangkan si bos duduk bersila di sebelahku dan memperhatikan satu demi satu anak yang dengan antusiasnya belajar. Terkadang juga matanya tak kuasa melihat ke arahku yang terlihat berbeda. Aku yang mengenakan baju gamis lengkap dengan jilbab yang serasi membuat matanya merasa perlu menelanjangi penampilanku hari ini.

Waktupun sudah berjalan dengan bebas. Waktu sudah menunjukkan pukul 9. Acara belajar mengaji pun selesai. Setelah anak-anak pulang, kami berdua duduk di teras, segera pula aku mengusir si bos dengan halus.

“Pak. Udah jam 9 ? Ga pulang pak ? Ntar kemaleman ga bisa bangun pagi lagi.”
“Kamu ngusir ?”
“Loh koq ngusir. Saya kan cuma mengingatkan. Besok kerja pagi. Harus tidur cepet.”
“Kapan saya bisa mulai private belajar ngaji sama kamu ?”
“Loh bapak serius mau belajar ngaji ?”
“Iyah. serius. Di rumah saya. Saya bayar.”
“Bukan masalah bayarnya pak ? Saya sih kalo ngajarin orang ngaji ga mungut belajar. Ikhlas aja. Biar bisa nabung buat amal.”
“Ya udah pokoknya saya tetep bayar kamu. Ajarin saya ngaji setiap hari sabtu sepulang kantor.”
“Heh ?”

Tiba-tiba ponsel si bos bordering dan sepertinya wanita yang menelepon. Terdengar sepenggal kalimat dari mulutnya. ‘Iya sayang. Ini aku lagi meeting sama client. Udah selesai. Ini mau pulang koq’. Wew, pacar toh. Aku baru tau si bos punya pacar. Dikarenakan iseng dan sedikit usil, aku pun bertanya seusai ponsel itu dimatikan.

“Pacar pak ?”
“Tunangan saya. Kenapa memang ?”
“Oh udah punya tunangan toh.”
“Kenapa memang ?”
“Ga kenapa napa si. Cuma berarti sia-sia aja dunk aku menelanjangi bapak sabtu malam.”
“Loh kenapa sia-sia ? Saya senang koq kamu telanjangi.”
“Heh ?” tertegun sebentar. “Okaii. I see.”
“Hmm. Kamu besok mesti bangun pagi kan. Saya pulang dulu deh. Sabtu ini di rumah saya, ajarin saya ngaji yah. Tetep saya bayar dan kamu harus mau. “
“Well. Okaii.”

Masuklah si bos ke dalam mobil camrynya dan tak lama kemudian mobilnya sudah meninggalkan halaman rumahku. Aku pun langsung membersihkan diri dan bersiap tidur. Seperti biasa ritual merebahkan badan kujalani. Kembali otakku berpikir, kenapa aku harus mengajarkan si bos mengaji ? Apakah aku pantas ? Apakah amalku sanggup mengajari orang lain beribadah ? Aku dibayar ? Dibayar karena mengajari mengaji ? Atau dibayar karena dia senang aku telanjangi ? Tunangan ? Oh. Dia sudah punya tunangan. Well. Pantas dia bilang jangan banyak berharap. Loh siapa yang ngarep ? Aku tak pernah berharap. Ini kan hanya ONS semata. ONS semata ? Ini tidak seperti ONS semata. Kami berdua tetap saling menggoda. Mungkin ini bisa disebut ONSTBC, One Night Stand To Be Continue. .

Berkelanjutan ? Ini tak mungkin berkelanjutan, dia sudah punya majikan. . Loh buat apa terus berkelanjutan ? Aku hanya ingin ini menjadi sebuah kisah semu yang layak diceritakan untuk orang-orang bebas seperti aku. Ini hanya kisah klasik pembangkang norma. Ini hanya akan menjadi pertemuan alat kelamin sekedarnya. Alat kelamin yang sama-sama butuh asupan gizi yang diperoleh dari alamat kelamin pasangannya. Yah itu lah kami, kami hanya sekedar mempertemukan alat kelamin kami saja.

Esokan harinya di kantin kantor, aku, bian, titi, dan bita makan siang di kantin kantor. Mereka itu sahabatku. Sudah hampir 3 tahun kami bersama, sama-sama bekerja di kantor ini. Sedari kami lulus kuliah di kampus yang sama, jurusan yang berbeda, kami sudah bersama-sama. Makan siangpun diiringi dengan suasana kewanitaan. Bergosip. Dari mulai kantor, infotainment, sampai masalah” pribadi. Selama 1 jam lebih kami habiskan waktu untuk hal itu. Tidak untukku hari ini. Aku sedang pusing mencari adikku yang tidak pulang semalam. Tidak memberi kabar sama sekali. Sudah kutelepon orang-orang yang sudah pernah adikku tiduri selama dia di Jakarta. Dan tak satupun tau keberadaannya. Yang ada di otakku hanyalah satu kalimat ini, ‘Dia pasti tidur dengan orang yang berbeda lagi’.

“Aduh Di. Lo rebet banget si dari tadi ? Telepon sana, Telepon sini. Udah lah. Ntar juga Rachel pulang sendiri. Dia kan udah gede.” Cetus Titi sok tau
“Yee. Cumi. Bukan itu masalahnya. Masalahnya nyokap mau dateng besok. Kalo adek gw sampe ga pulang lagi. Matilah gw. “
“Loh kenapa mati si say ?” tanya bita menyindir
“Ya iya lah. Masa kalo nyokap gw tanya. ‘adik kamu kemana ? Koq ga pulang?’. trus aku jawabnya ‘lagi tidur”an sama pria tak dikenal yang baru dia kenal kemaren sore’. Bisa dipecat gw jadi kakak.”

Mendengar hal itu, mereka semua tertawa terbahak-bahak. Dan berlanjut ke pertanyaan implicit.

“Eh Di. Lo beneran sama si bos ?” sahut bita menyeletuk
“Maksudnya beneran apaan ? Pertanyaan lo yang jelas dunk. Ambigu banget si. “
“Maksud gw have a sex diaaaaaaaaar. Udah ah jangan sok tablo gitu.”
“Ohhh bilang keq. Gw kan lola. Hmm. Have a sex ya ? iyah sih seinget gw. “
“Then ?” lanjut titi memelototkan kedua matanya
“Yah ga ada lanjutannya. As usual feel nothing. Udah ah. Bantuin cariin adek gw aja deh.”
“Dasar lo ah. Masih aja jawabnya gitu. Ga pengen serius dikit apa Neng ?” tanya bita serius.
“Masih aja lo nanya gitu ? Udah tau kan jawanbannya. “ kataku lugas.

Akhirnya waktu makan siang aku habiskan dengan menekan sebanyak-banyaknya nomor telepon. Tapi nihil. Keberadaan adikku tak tampak sedikitpun. Tak biasanya di tak mengabari. Kukerjakan pekerjaan kantor dengan gulana sesembari mengecek ponsel. Ponselku bordering dan tertera nama ‘Digo’. Seeet, dah lama bener ni orang tak menghubungiku. Tumben.

“Halo. Diar ?“
“Iyah Go. Ini gw, tumben lo nelp. Ada apa ? Sombong bener si lo sekarang. ”
“Yee. Udah deh ah. Lagi serius ni gw. “
“Heh serius ? ada urusan apa emang ?”
“Adek lo ada disini. Di apartemen gw. Ga mau pulang.”
“Heh ? Rachel ada disana ? Ngapain dia disana ? udah gw cariin seharian. Mana bocahnya ?”
“Hmm. Kayaknya si dia marah sama lo deh. Ngambek mungkin sama lo. Dia bilang ga mau ketemu lo.”
“Heh ? Emang gw ngapain ? Gw kan ga ngapa-ngapain. Wong baru ketemu sebentar pas hari minggu kemaren. Abis itu kan dia udah kelayapan ga pulang sampe sekarang.”
“Saran gw si. Coba lo samperin adek lo kesini. Ditanya dia kenapa. Sebenernya dia suruh gw jangan telp lo. Lo ke sini aja deh.”
“Ya udah. Gw kesana deh sekarang. Ijin pulang cepet. Lo disana kan ?”
“Iyah gw disini. Ntar sms aja kalo udah sampe.”
“Ok. Makasih yah Go.”

Lekas kututup ponselku, kuberdiri dan beralih ke meja si bos, meminta ijin untuk bisa pulang cepat. Akhirnya setelah kujelaskan alasannya, dia pun mengijinkan. Kubereskan semua barang-barang dan dengan pergerakan cepat, aku menuju parkiran, mengendarai honda jazz hitam menuju ke arah Jakarta Barat. Selama perjalanan, banyak sekali pertanyaan di benakku. Kenapa adikku marajuk ? Aku tak berbuat salah seingatku. Pusing aku dengan pertanyan tak terjawab. Kupacu mobilku sampai akhirnya memasuki parkiran apartemen. Kuparkirkan mobilku di dekat pintu masuk. Kukirimkan sms ke nomor ponsel Digo.

Go. Gw udah ada di pintu masuk apartemen lo. Gw langsung masuk atau begimana ?

Sms balasanpun cepat kuterima.

Lo langsung masuk aja ke kamar gw. Ntar kalo ditanya security. Bilang mau ke kamar gw. Masih inget kan kamar gw? Rachel udah bangun dari tadi. Dia sekarang ada di kamar.

Kulangkahkan kaki menuju lift. Kutekan angka 11. Sesampainya aku dilantai 11, kuseret kakiku menuju kamar 1122. Kuketuk pintu tanpa kukeluarkan suaraku. Pintupun dibuka oleh Digo. Tangan Digo pun segera menunjuk sebuah ruangan, kamar tidur speertinya. Kuketuk pintu ruangan itu.

“Rachel. Ini gw. Lo kenapa ? Koq ga pulang ?”
“Ngapain lo kak kesini ? Sana pulang aja ! Gw mau disini aja. Ngapain gw di rumah lagian.”
“Kenapa si lo ? Bunda besok mau ke rumah. Lagian itu kan rumah lo juga. Buka dunk, Hel. Gw mau ngomong ni.

Beberapa detik kemudian, pintu ruangan pun terbuka. Dan dengan tampang kusut, dia pun berbicara sepenggal kalimat.

“Lo mau dijodohin sama Bunda.” Sahut Rachel
“Heh ? Becanda lo. Mau ngerjain gw lo ya ?”
“Kakak, gw serius. Lo mau dijodohin.”
“Okaii. Gw dijodohin. Trus permasalahannya sekarang, kenapa lo ngambek ?”
“Lo tau ga siapa yang mau dijodohin sama lo ?”
“Boro. Tau dijodohin aja dari lo.”
“Ramdan.”
“Heh ? Ramdan. Gebetan lo dulu ?”
“Iyah. Bocah penganut paham alimisme. Pria soleh yang secara halus menolak gw mentah-mentah karna gw sama sekali tidak menganut paham itu.”
“Damn. Emangnya dia ga tau apa kalo gw juga bukan wanita baik-baik ?”
“Harusnya si tau.”
“Ya udah. Berarti kan belum tentu juga dia mau dijodohin.”
“Iyah juga ya. Kenapa gw ga kepikiran yah kak.” Sesal Rachel.
“Tuh kan Hel, coba lo nurut sama omongan gw kemaren. Ga bakal kan lo semerawut kayak gini.” Sahut Digo nimrung.
“Ya udah kita balik yuk.” Kataku dengan cepat menarik tangan Rachel.

Rachel pun mengangguk dan dengan cepat merapikan barang-barangnya di kamar.

“Eh enak aja maen balik aja lo berdua. Makan dulu napa. Udah gw siapin ni buat 3 orang.” Jelas Digo.
“Hehehe, iyah. Jangan balik dulu deh. Makan dulu. Belum makan ni kak.”
“Oh ya udah. Numpang makan yah Go.” Jawabku cengengesan

Sampailah kami di ruangan yang cukup luas dan ada sebuah meja kecil ukuran empat orang dengan empat kursi yang mengitarinya. Lalu ada sebuah lemari kecil di sudut ruangan. Huff, tempat ini masih sama seperti dulu. Hanya perubahan-perubahan kecil yang tampak. Rasa nasi gorengnya pun masih sama kayak dua tahun yang lalu.

“Iew, nasi goreng lo masih enak kayak dulu.”
“Ya iyalah. Kan yang bikin tetep sama. Penampilan lo juga masih sama kayak dulu.”
“Ehm ehm…ada yang clbk ni kayaknya.” Batuk Rachel pun menyindir, membekukan suasana.
“Rachel, ga usah nyindir. Udah lama juga lagian.” Jawabku sambil menyenggol kakinya Rachel
“Iyah udah lama banget yah, Di. Dua tahunan ada kayaknya.”
“Iyah. kasian tuh si kakak. Dua tahunan belum dapet pacar. Hahahaha.”
“Masih suka ONS, Di ?” Tanya Digo dengan pertanyaan sensitif
“Masih.”
“Ga ada yang mau diseriusin ?”
“Lo mau serius sama gw ?”

Hening kami bertiga di meja makan. Empat Pertanyaan terakhir memang sensitif. Adikku hanya bisa pura-pura tak tau dan sesekali melihat ke arah kami berdua. Aku dan Digo memang pernah menjalani hubungan serius. Bahkan kami pernah merencanakan pernikahan. Tapi kekalutanku dan ketidakpercayaanku terhadap pria tak bisa dibendung dan menghancurkan semuanya. Aku mungkin banyak yang tak tau kondisiku. Kebanyakan orang berfikir aku wanita sempurna. Seperti seorang putri yang tidak pernah menghadapi masalah sedikitpun. Tapi bagi 2 orang yang sedang makan di meja ini bersamaku tau persis apa yang sudah terjadi pada hidupku. Dan kami bertiga pun makan tanpa suara.

Akhirnya Rachel pun berhasil mencairkan suasana.

“Ahhh. Aku kenyang. Enak ni nasi gorengnya. Emang ga salah dah gw lari kesini. Eh kak, gw numpang mandi dulu deh yah disini. Jadi pulang tinggal tidur.” Kata adikku sambil melenggang ke kamar mandi.
“Ya udah, mandi aja dulu gih. Gw juga mau istirahat dulu, cape abis nyetir.” Sahutku
“Istirahat aja di kamar, Di. Bentar yah gw beresin dulu kamarnya.”

Kuikuti Digo sampai ke kamar. Dan kutelusuri setiap detail ruangan itu. Sumpah! Ga ada yang berubah. Masih sama kayak dulu. Masih sama ketika dulu aku terbangun di kamar ini. Masih sama ketika dulu malam-malam aku terbangun dan mencoba mencumbunya sambil melontarkan kalimat ‘aku gemes sama kamu’.

Kami memang sudah sangat dekat. Bahkan kami sering sekali tidur bersama. Meskipun kami sering tidur bersama, kami jarang sekali have a sex. Hanya sekali. Ketika pertama kali, aku menginap disini. Saat itu pula dia mengetahui apa yang sudah terjadi di hidupku. Ketika dia mengetahui bahwa aku sudah tak punya selaput dara lagi. Dan masih ingat, mataku bengkak di pagi harinya. Semenjak itu pula, dia tak mau lagi have a sex denganku. Dia bilang dia tak mau karena dia mau serius, dan dia tidak mau seperti pria yang dulu menyobek dengan paksa selaput daraku. Dia juga tak mau seperti pria yang dengan nafsunya mempreteli sebuah organ yang bisa memproduksi susu walau aku tak makan rumput. Dia juga tak mau menjilati sebuah organ intim wanita yang sanggup mengeluarkan seorang bayi meskipun lubangnya tak begitu besar. Panggilan Digo membuyarkan lamunanku.

“Diar. Kenapa ? Koq ngelamun ?”
“Ohh, nggak. Foto itu masih ada ?” tanyaku menunjuk ke pigura elegan yang memajang foto kami berdua.
“Eh iya. Masih aku pajang, Di. Barang-barang kamu ga pernah aku apa-apain koq. Masih kayak dulu. Kamu juga masih kayak dulu di hati aku. Ga pernah berpindah.”
“Hmm. Well, speechless ni aku.”
“Kenapa speechless ? Ga nyangka ya ? Oia, masih ada lagi ni. Surat aku buat kamu waktu itu. Tapi ga pernah kamu baca langsung kamu balikin. Udah kamu uwel-uwel tapi masih aku simpen.”

Perlahan dia ambil secarik kertas di sebuah amplop berwarna cerah. Masih kuingat dia memberikanku kertas itu setelah sebelumnya aku tidak melanjutkan rencana pernikahan kami secara sepihak. Masih kuingat dia berdiri di depan rumah setelah semua alat komunikasi kumatikan. Masih kuingat dengan jelas. Digo meletakkan kertas itu ke tanganku dan kubaca.

Dear Diar,
Aku tak tau kenapa kamu membatalkan rencana pernikahan kita. Walaupun rencana pernikahan ini masih sangat awal, tapi niat aku sangat tulus untuk menikahi kamu. Aku tau mungkin kamu ragu berhubungan serius, mengikat dirimu dalam tali pernikahan. Tapi kenapa harus kita berpisah ? Aku bersedia menunggu kamu hinga kamu siap. Tak perlu kan kita berpisah.
Diar, tolong dengan sangat. tolong kamu pikirkan lagi semua. Semua yang sudah kita jalani selama bertahun-tahun. Aku tak peduli soal diri kamu, masa lalu kamu. Sekarang aku maunya kamu. Aku mau sama kamu. Aku tak marah kalo kita tak jadi menikah. Tapi ijinkan aku untuk sama-sama kamu terus. Di sebelah kamu.
Diar, aku mau kamu tau. Kalo aku sangat sayang sama kamu. Dan aku akan tetap menunggu sampai kamu siap. Sampai kamu yakin. Love you. Always and still.

Radigo Putra


Tak kuasa air mataku menangis. Dulu surat itu langsung kuremas-remas hingga tak berbentuk dan kuberikan kembali kepadanya. Bahkan aku pun tak sempat membacanya. Dan aku pun tak sanggup berdiri. Tubuhku langsung lemas dan gemetaran. Dan tak bisa kupungkiri lagi. Hatiku memang masih untukmu, Digo. Kembali merasa. Rasa yang sama. Rasa ingin dipeluk, dicium, disayang. Rasa ingin terus diilndungi. Tapi tak bisa, aku tak bisa kembali padanya. Diriku sudah lebih hancur dari yang sebelumnya.

“Kamu masih sayang sama aku kan ?”

Tetap diriku tak bisa berkata apa-apa. Air mata saja yang menggambarkan semuanya.

“Aku masih nunggu kamu lho. Jadi kapan ni kita nikah ? Udah ah. Jangan nangis lagi. Pengantin wanita ga boleh nangis tauu. ” Candanya sambil menghapus air mata di mataku.

Mendengar candaannya aku hanya bisa meringis. Meringis senang. Aku rindu saat-saat dulu kami bercanda tanpa henti. Tak terasa adikku pun sudah selesai mandi.

“Eh lo berdua, dari tadi nangis, ketawa, diem-dieman, gila yah lo pada ?” celetuk Rachel tak sopan melihat tingkah pola kami
“eh. dasar adek gebleg. Ga sopan luuu.” Kataku sambil mentoyor kepalanya.
“Yee. Udah sana pada keluar, gw mau ganti baju.”

Aku dan Digo pun bergegas keluar dari kamar. Beberapa menit kemudian, kembalilah Rachel sudah lebih bersih dan wangi.

“Hayuuk kak, kita pulang. Eh, kak Digo makasii yah tumpangannya. Ga enak ni ngerepotin.”
“Ya elah lu, Hel. Kayak baru kenal aja. Gw kan udah sering lo repotin. Heheheh.”
“Tau lu dasar adek ga sopan. Jangan suka ngerepotin dia lagi. Kasian tuh sampe cuti kerja gara-gara lo.”
“Iyah deh kakak. Maafkan saya sudah merepotkan kak digo.” Lanjut Rachel sok sopan.
“Eh Go, kita berdua pulang dulu yah. Makasii lho udah jagain adek gw. Baii Go.”
“Iyah. Sama-sama. Ditunggu lho mampir nya.”
“Bisa aja deh si kak Digo, bilang aja demen kalo kak Diar kesini terus.”

Kami pun tertawa lagi. Sampe akhirnya digo mengantar kami ke pintu masuk. Aku dan Rachel masuk ke mobil dan melaju mobil kami pulang ke rumah. Di perjalanan pulang pun kami melanjutkan pembicaraan soal Ramdan. Ramdan oh Ramdan, pria ini satu-satunya pria yang buat adikku jatuh hati. Pria ini pula yang membuat adikku mati hati.

Itu lah kami, dua wanita kakak beradik yang mati hati. Mungkin hati kami belum sepenuhnya mati. Organ hati kami masih ada di bawah rusuk di bagian kanan atas perut, dan sama seperti hati manusia lainnya yang mengubah zat-zat yang berbahaya menjadi zat-zat yang secara fisiologis tidak aktif. Hati kami hanya sudah tak bisa merasa. Otak dan hati kami pun selalu bertengkar. Jelas mempertengkarkan antara perasaan dan logika. Perasaan atau logika ? Hati atau otak ? Entah aku membela siapa. Keduanya tak pernah salah. Keduanya pun tak ada yang salah, kenapa harus bertengkar.

Semua manusia wajar saja punya dua-duanya. Punya otak dan hati membuat sang mahluk sempurna ini punya logika dan perasaan. Tapi karena satu dan lain hal, beberapa orang memilih untuk meniadakan perasaan karena perasaan membuat lemah. Kami berdua pun sedikit tidaknya menganut paham itu. Perasaan hanya akan membuat kami lemah. Sebenarnya kami pun tak tau kenapa kami memilih paham tersebut. Kami tau itu tak sepenuhnya benar. Kami pun tau jelas alasannya. Bayangkan seorang ibu. Ibu adalah mahluk yang sangat perasa. Dia peka sekali soal anaknya. Jika anak sakit, ibu pun merasakan sakit. Jika anak bahagia, ibu pun bahagia. Lemahkah ibu ? Tidak. Liat saja kepiawaiannya mengurus anak. Lihatlah kuatnya mereka mengeluarkan seorang bayi dari vaginanya. Lihatlah kuatnya mereka menggendong seorang janin selama 9 bulan di perutnya. Ibu kuat tapi perasa. Hanya orang-orang yang rapuhlah yang meniadakan perasaan. Dan kami berdua termasuk di dalamnya. Kami sudah rapuh, luluh lantah, karena tersakiti pria. Kami berdua wanita rapuh yang sok kuat bermain bersama pria.

Tak terasa aku dan Rachel sudah memasuki komplek perumahan kami. Ponsel adikku tiba-tiba bordering.

“Hallo assalammualaikum. Rachel ?”
“Walaikumsalam. Iyah, Bun. Ponsel kakak kamu koq ga bisa dihubungi ?”
“Bentar, adek tanyain dulu. “

Kulihat ponselku mati, ah ternyata baterai nya habis.

“Baterenya abis, Hel.” Kataku
“Baterenya abis, Bun.”
“Loh koq kakak kamu bisa sama kamu, kakak kamu ngantor kan ?”
“Iyah bun. Ngantor koq. Ada apa bun ?”
“bilangin ke kakak kamu! Besok Bunda berangkat ke Jakarta jam 10 pagi. Di bandara di jemput Ramdan. Eh kalo ga, Ramdan jemput kamu dulu. Trus kamu berdua jemput bunda di bandara. Jam 11an. Gitu aja ya ? Kakak kamu kan ngantor.”
“Berdua doank sama Ramdan ? Emang udah bilang sama Ramdan ? Emang Ramdan di Jakarta ?”
“Loh kamu ga tau kalo Ramdan di Jakarta ? Bunda udah telepon dia kemarin. Katanya, ya udah dia jemput kamu dulu.”
“Ya udah deh. Iyah. Nanti suruh dia kabarin aku aja.”
“Ya udah kalo gitu yah. Bunda pamit dulu. Assalammualaikum. “

Adikku langsung melirik dan mengerutkan alis. Sejenak raut mukanya mengisyaratkan bahwa dia tak siap ketemu dengan pria itu.

“Kak, Gimana ni ? Ramdan di Jakarta.”
“Lah ga gimana gimana. Dijemput ni yee ?”
“Yeee. Dia mau dijodohin sama lo, cumi.”
“Aduuh. Mana gw ga ada baju lagi. Baju gembel adanya.”
“Ya elah. Ababil banget si lo. Hari gini masih mikirin baju. Grogi tuh.”
“Sial lo. Awas lo ya kalo sampe nikah sama Ramdan. Gw ga sudi.”
“Hahahahahah. Asli gw ngakak ni. Ramdan mah ogah gw. Ntar pas gw cium. Dia istigfar mulu lagi.”

Kami pun tertawa terbahak-bahak. Bagaimana bisa seorang pria yang sangat soleh menikah dengan wanita yang sangat tak soleha seperti aku ? Beruntung sekali aku – Malang sekali dirinya.. Bodoh memang. Hidup memang terkadang bodoh. Bodoh karena seharusnya kita yang menentukan jalan hidup kita sendiri. Tapi nyatanya banyak orang merasa dipermainkan oleh kehidupan.

Mobilku sudah sampai di depan rumah. Kuparkirkan di garasi. Lalu kami berdua masuk ke dalamnya dengan langkah lunglai. Adikku bergegas ke kamar tidurnya. Sebelumnya dia bilang kepadaku, dia ingin tidur dulu sebelum menggerecoki aku dengan pertanyaannya seputar ‘Pakai baju apa ni kak besok?’. Kuseret diriku ke kamar. Kuganti bajuku dengan kaos dan celana pendek. Kulihat satu kotak berwarna kuning di bagian bawah lemari, kupandangi dan kubuka. Terselip sebuah buku diary. Sudah lama tak kusentuh buku itu. Kubuka acak. Dan kubaca.

Dear Diary,

Hari ini masih terasa sakit. Vaginaku masih sakit. Belum lebih beberapa hari, diriku disentuh oleh pacarku yang bajingan itu. Padahal aku sudah bilang tak mau. Kenapa dia memaksaku ? Bajingan! Aku memang sayang dia, bukan berarti aku mau selaput daraku diambil paksa. Perkosaan ? Pelecehan Seksual ? Kurang ajar! Aku kesakitan. Tapi takutku lebih besar. Aku tak tau harus bilang ke siapa. Aku takut kalo harus bilang ke orang tuaku. Mereka kan sangat tergila-gila dengan selaput dara. Seorang gadis harus punya selaput dara. Wajib itu hukumnya. Setangkep pemikiran aku si begitu. Aku pusing. Aku ga tau harus berbuat apa ? Aku tak suci lagi. Berarti aku wajib dirajam. Dan tak bisa masuk surga. Kata Bunda, tempat gadis yang tak punya selaput dara yah di neraka. Aku ga mau masuk neraka. Panas katanya. Meski aku pun tak pernah lihat neraka. Tapi kayaknya sih serem. Berarti percuma juga aku beramal baik. Wong tempatku di neraka. Sialan emang pria. Pria kurang ajar!! Aku benci pria!! Aku ga mau menikah kalo begitu. Aku tak suka hidup bersama pria. Yah aku tau wanita kan memang ditakdirkan bersama pria. Dua jenis kelamin ini harusnya saling melengkapi, tapi pria menyakiti duluan. Jadi tak usah saling melengkapi kalo begitu.

Diary, selaput daraku hilang. Vaginaku sakit. Hatiku lebih sakit.

Tak terasa air mataku mengalir membasahi pipi membaca tulisanku bertahun-tahun yang lalu. Tulisanku di masa remajaku. Tulisanku ketika aku masih sekolah dulu. Dulu kejadian itu terasa tak terlalu buruk. Tapi ternyata semakin hari, semakin sakit dan semakin habis hatiku termakan oleh sakitnya.

Keesokan paginya, kami serumah telat bangun. Alhasil suara teriakan wanita menggema di setiap sudut ruangan. Maklum yang ada di rumah semua wanita. . Aku, Rachel, dan Bi Imah. Di kala aku bersiap-siap berangkat ke kantor, dan mengambil dua tangkup roti untuk kumakan di jalan, adikku membrondongiku dengan pertanyaan nyeleneh.

“Kak, aku pakai pakaian ini bagus ga ? Terlalu mewah yah ?”
“What? Itu kan pakaian formal, pakaian pesta. Lo cuma mau ke bandara. Ingat!! Jangan lebay!”
“Yang santai yah ? Hmm bentar..” katanya sambil mengambil sebuah celana pendek dan kaos gembel andalannya. “Kalo yang ini kak, udah cocok belum buat dipake ke bandara.”
“Cumii. Jangan gila dunk. Itu pendek bener celananya. Dijitak bunda lho ntar. Yang ada si Ramdan ilfil ngeliat lo.”
“Jadi pake baju dunk kak ?” tanyanya sambil merengek dan putus asa menyenderkan dirinya di sofa.

Kuambil sebuah baju terusan panjang tak berlengan, dan jaket jeans cantik kepunyaanku. Kurasa cocok. Panjangnya juga cuma selutut. Jadi masih terlihat santai dipadu dengan jaket yang cantik namun casual.

“Nih pake ini. Udah cantik lo pake itu.”
Dia mengganti pakaian yang baru dipakainya dengan pakaian yang baru saja kuberikan. Dan..taraaaa, cantik kan.
“Cantik kan. ” kataku setengah memuji biar dia tambah bawel.
“Kak, ini ga terlalu lebay ya. Kayaknya ga pantes dah pake ini.”
“Eh dasar cumii. Udah, cantik koq lo. Tanya aja tuh sama si bibi. Wong cantik koq. Lagian lo ga ngerti banget si, gw telat ni. Udah cantik koq. Potong leher gw, kalo si Ramdan ga bilang lo cantik hari ini.”
“Biiii..Bibiii…aku cantik ga ? Ga berlebihan yah bi buat ke bandara ?”
“Ga koq non. Cantik. Cantik banget.”
“Ahh, bibi. Ga pake boong. Beneran ni. Berlebihan ga ?”
“Ga non. sueer deh non. Cantik.”
“Heheheh. Makasii yah kak. Gw pinjem dulu ni jaketnya.” Kata Rachel penuh percaya diri langsung melenggang masuk ke kamar mandi.
“Bi. aku berangkat dulu yah. Tolong semuanya diberesin. Biasa, bunda kan bawel. Hehehe. “ kataku cengengesan.

Kulaju mobilku ke jalan raya yang penuh dengan kemacetan. Jahh. Macet, telat lagi. Diomelin si bos dah nih. Sambil menyetir, kugigit setangkup roti. Kuinjak rem dan gas bergantian, olahraga kaki di pagi hari nan cerah menyengat ini. Pantesan yah orang di kota lebih cepat meregang nyawa, wong setiap pagi, emosi melanda jiwa. Akhirnya sampailah aku di kantor, kulirik jam. Ahh, jam 9.25. Telat 25 menit, larilah aku menuju lift, menekan angka 9, lari menuju ruangan, dan sampai ke meja kesayangan. Kulirik pria seberang meja, belum datang. Amiin, aku selamat. Kunyalakan notebookku, dan kuberjalan ke luar ruangan menuju ke meja Alya, sekretaris manajer.

“Pagi Al. “
“Pagi Di, telat lagi ya..pasti telat bangun deh.”
“Iyah. heheheh. Si bos kemana ? koq belum dateng ?”
“Ciee tumben lo nanyain dia. Dia tadi ijin dateng siang, jemput cewenya di bandara.”

Cewenya ? Ooh yang waktu itu telpon toh. Manja banget si pake dijemput. Ga bisa pulang sendiri apa. . Loh koq aku yang sewot ? Ga pake yaa sewot-sewotan.

“hoo gitu. Masuk jam berapa si bos ?”
“Katanya si abis makan siang. Eh, tadi lo ditanyain sama yang tiga sekawan tuh. ”
“Ngapain mereka ? Tumben nyariin pagi-pagi. ”
“Diar, boleh nanya ga gw ? Emang bener lo dijodohin ?”
“Heh ? Tau dari mana lo ?”
“Noh, dari tiga sekawan. Tadi mereka sibuk nanyain lo sambil ngomongin itu.”
“Sial, cepet bener beredarnya. Tau dari mana lagi tuh bocah bocah.”
“Bener yah, Di ? Wuihh bentar lagi ga lajang lagi ni. Congrats yah. “ katanya sambil menyodorkan tangan memberikan selamat.
“Iew, ogah ah gw diselamatin. Sapa juga yang mau nikah ? Ga pake yee. Eh, Al. Jangan kasitau yang lain lho. Awas lo ngegosip. Hehehe. ” Kataku melemparkan senyum menyindir sambil melengang.
“Yahh. Telat lo ah. Udah bilang gw ke bos.”
“Yahh, kenapa lo kasitau dia si? “ tanyaku sambil memberhentintikan lengganganku
“Iyah tadi bos kan ijin masuk siang di telpon. Dia nanyain lo udah dateng apa belum. Gw jawab belum, trus dia tanya lo ngabarin ga kenapa telat. Gw jawab deh, ‘lagi dijodohin kali pak’. Gituu say.”
“Dasarr lo, mulut ga bisa direm dikit apa. Trus si bos jawab apa ?”
“Dia cuma bilang hooo. Trus katanya tugas lo udah dia kirimin by email.”

Asu!!! Tuh bos bener-bener tak punya hati nurani sedikitpun kayaknya. Yang dia inget cuma kerjaan terus. Ga ada yang lain apa. Dengan penuh kesal, kubuka email dengan terpaksa. Wew, sial. Email yang masuk banyak bener. Waktunya kerja keras deh, eh salah, kerja pintar. Kukerjakan satu demi satu kerjaanku. Kulirik jam, kuambil cemilan di laci meja kerjaku. Hufft, akhirnya lambungku mendapat asupan gizi yang nikmat. Ketika sedang serius mengerjakan pekerjaan kantor, telpon di meja kerjaku berdering.

“Halo. Selamat siang. Dengan Diar disini, ada yang bisa saya bantu ?”
“Diarrr, kemana aja si say ? Gw cariin juga. “ Pekiknya dari seberang telpon.
“Aduhh, Bian. kenceng bener si suara lo. Budek deh gw pagi-pagi. Kenapa sii nyariin ? Kangen lo yee ?”
“Gini lo say, aku sama yang lain mau confirm sama lo. Apa bener lo dijodohin ?”
“Kenapa emang kalo gw dijodohin ?”
“Yah ga kenapa kenapa. Bagus dunk, berarti bentar lagi nikah. Bener ga lo dijodohin ?”
“Iyeeeh, puas lo pada. Lo tau ga gw dijodohin sama siapa ?”
“Ramdan kan. Heheheh. “ celetuknya sambil terdengar suara cengengesan di seberang sana.
“Anjriit, disitu banyak anak-anak ya ? Tau dari mana si lo pada ?”
“Iyah. wong ini gw loudspeaker. Tau dari Rachel lah say. Dia sms gw tadi pagi buta.”

Kembali terdengar suara ketawa ketiwi di telepon. Sial, aku dipermalukan. Untung Bian punya ruangan sendiri. Maklum udah naik jabatan. Kudengar ponselku bordering, kucek ponsel, ada sms ternyata dari Rachel.

“Bentar yee. Ada sms ni dari Rachel. “

Kak. Gw otw ni ke bandara. Subhanallah, Si Ramdan makin kece aja. Gw salting ni kak. Gimana ni ? Dari tadi gw diem aja. Dia nanya-nanya mulu. Gw jawab seadanya, ntar kalo berlebihan, dikira salting lagi. Emang salting sih gw.

ps : gw bilang si Ramdan kece pake subhanallah. Jarang jarang gw pake kata itu. Berarti sumpah, suer, kece bener dah ni bocah.
Dasar adek gebleg, sms beginian. Well, I think she is going to fall in love again. .

Eh cumi..jangan salting salting lo ah. Ilfil ntar dia sama lo. Udah biasa aja, sok ga butuh. Sok cuek. Biar dia yang penasaran. Tunjukkan kalo lo berharga, patut dikejar. Oia, satu lagi. lo kalo ditanya soal gw, jangan bagus-bagusin gw. Awas lo. Tapi jangan jelek-jelekin gw juga. Ntar disangka lo syirik lagi sama gw. Okaii. Gud luck.

“Halo. Hehehe, si Rachel salting ni ketemu Ramdan.”
“Eh, dia lagi sama si pria alim itu.”
“Iyah, doi jatuh klepek klepek lagi kayaknya.”
“hahahaha, nah lho. Kalo dia suka lagi, lo begimana ? Lo kan calon bininya.”
“Eh cumii ga pake yee gw nikah nikahan. kimpoi kimpoian ayook dah.”
“Dasarr kakak adik gebleg. Sama-sama ga waras lo berdua. Ya udah deh buu. Eke mau meeting dulu ni. Yeey dapet salam ni dari Titi ma Bita, salam malam pertama katanya.”
“Taii!!! Asu!!!”
“Hahahah, Tutup dulu ya say. Baii. “ terdengar suara Bian yang semakin jauh ditambah suara cekikikan Titi dan Bita yang semakin keras.

Kututup segera telpon kantor itu, dan kubayangkan seandainya aku benar benar menikah dengan Ramdan. Tiap pagi, pasti dibangunin buat solat subuh. Trus, diceramahin mulu. Jangan-jangan disuruh pake jilbab lagi. Jilbab ? Hell no !!! Kalo aku yang berdosa ini memakai jilbab, bikin malu agamaku aja. Mending nggak deh. Aku aja sebel setengah mati kalo ngeliat wanita berjilbab ngerokok atau gandeng sana sini, mending dia buka aja deh jilbabnya. Bikin malu agama aja. Kenapa aku berani bilang begitu ? Kalo kamu sudah memutuskan berjilbab, harusnya kamu sudah berani dan siap menjaga perilakumu. Tak heran kalo jaman sekarang banyak masyarakat memojokkan islam. Wong orang yang berbuat dosa sekarang ikut-ikutan pake jilbab. Kalo kamu merasa dirimu penuh dosa dan noda, setidaknya jangan nodai agamamu sendiri. .

Sedang asik melamun, ponselku bordering kembali. Sms lagi ternyata. Rachel nih pasti. Kucek ponselku, ternyata Digo. ‘Deg’. Rasanya hatiku sempat tak berdetak melihat nama itu.

Haii, Di. Tadi Rachel sms aku. Katanya Ramdan mau dateng ke tempat kamu hari ini ya ? Hmm. Aku cuma mau kasih tau, I love you, always and still.

Terhenyak perasaan aku, hatiku seperti jatuh, jatuh ke lubang tanpa dasar. Tak bisa kupungkiri, dia masih bermakna di hatiku. Dengan segala keteguhan dan kesabarannya, aku jatuh cinta, jatuh cinta sedemikian besar padanya sampai aku pun takut kisah ini hanya imajinasi semata. Aku takut. Aku khawatir, ini semua hanya sekedar fatamorgana, euphoria sesaat.

Tiba-tiba tanganku meraih sebuah dompet, lalu kuambil sebuah kertas di selipan kecil. Sudah terlipat jadi 4 bagian.

Dear Digo,
Aku tau aku salah membatalkan rencana pernikahan kita. Aku tak kuasa menahan rasa yang berkecamuk di dada. Aku sayang. I love you so much, but I’m really worry. I don’t know why. Aku khawatir ini semua hanya mimpi, dan ketika kuterbangun sirnalah sudah. Aku takut ketika aku benar-benar bersamamu dalan suatu hubungan, aku menjadi labil. Dan kamu tak kuasa bertahan dengan kelabilanku, dengan emosiku. Dan mungkin saja pada saat itu kamu memilih untuk berpisah. Itu akan lebih menyakitkan daripada perpisahan kita yang sekarang. Aku ingin kamu tau, i fall in love with you, always and still.

Zadiara Nona Putri


Kertas balasan yang kutulis setelah dirimu dengan putus asa pulang setelah berdiri berjam-jam di depan rumah dan mendapatkan kucelan kertas yang kau berikan kepadaku setelah aku batalkan rencana pernikahan kita. Surat ini tak pernah sampai. Sampai di tanganmu, apalagi hatimu. Air matapun menetes setitik demi setitik membasahi meja kerjaku.

Akhirnya jam makan siang, aku berlari menuju ruangan Bian, lalu lanjut menjemput Bita, terakhir Titi. Kami pun duduk di meja yang terletak di sudut favourite kami. Kami pun memesan menu favourite kami, bakwan malang. Yummy. Slurp Slurp. Kuahnya yang gurih menambah kenikmatan di siang hari yang terik. Enak banget dah bakwan malang di kantin kantor.

“Gila..enak banget yah ni makanan.” Kataku sambil menyeruput kuah.
“Huu, dasar lo. Kalo soal makanan, cepet dia nyambungnya.” Celetuk Bian sambil mentoyor
“Eh, Di. By the way, soal lo ama Ramdan, gimana tuh ?” tanya Bita serius
“Yah ga gimana gimana. Ga ada terusannya.”
“Serius lo, mo nolak Ramdan ? Itu kan pilihan nyokap lo ?” Titi pun melanjutkan
“Nih yah dengerin! Pertama, dia itu gebetannya si Rachel. Klepek klepek dia sama Ramdan. Trus, dia ama gw itu kayak air ama minyak. Ibaratnya ni, gw itu keturunan iblis, dia keturunan malaikat. Trus, over all, he’s not interesting. End of discussion!”
“Wow, perbandingan lo berlebihan. Lo bukan iblis kali, dan dia juga bukan malaikat. Okaii!!!” Bian pun nimrung
“Hmm, “ kataku sambil menyeruput sesendok kuah. “Digo sms gw hari ini. ”

Kuambil ponselku, kupilah sms yang tadi baru dikirimkan oleh Digo. Dan kutunjukkan pada mereka.

“Kau tersentuh ?” tanya Titi
“Hmm, sedikit. Udah berlalu biarlah berlalu.”
“Bohong banget lo ga keselek baca sms itu. “ lanjut Bita
“Keselek ? Makanan kali keselek. “
“Eh gw tau persis yah lo tuh masih sayang sama dia. Cuma pura-pura aja lo cuek, padahal mah ngarep.” Tandas Bian dengan suara tinggi
“Lo masih inget kan kalo tiap hari Digo sms kita bertiga cuma sekedar nanyain keadaan lo doank. Inget yah ‘lo doank’. Dia sayang banget sama lo, Di. Lo kenapa sih ga kasih dia kesempatan? ” lanjut Titi
“Well. Enough for today. End of discussion atau gw balik ni ke ruangan ?”
“Kebiasaan banget si lo, ngancem aja bisanya. Huuu. “ kata Bita sambil mentoyor kepalaku.


***

Setelah jam makan selesai, kami pun balik ke ruangan masing-masing. Sesampainya aku di ruangan, kulihat si bos sudah duduk di meja kerjanya. Tapi ada yang lain, terlihat seorang wanita cantik, mulus, nan berkilau. Seorang wanita berwajah oriental. Kulirik sedikit mataku dan kembali kududuki kursi kerjaku. Seketika itu pula, si bos menghampiriku dan menyuruhku berkenalan dengan gadis itu.

“Diar, kenalin ini tunangan saya. Amel.” Kata si bos.
“Haii, Diar.” Kusodorkan tanganku dan menyebutkan namaku.
“Amel, nice to meet you.” Jawabnya sambil tersenyum.

Wow, sempurna. Mukanya tak ada cacat sedikitpun. Manis cantik jadi satu. Aku sebagai wanita saja mengakui kalo gadis ini sempurna. Well, wajar saja jika si bos betah sama dia. Aku aja yang wanita ngiler. .

“Beib, Diar, aku pulang dulu. Masih harus ketemu orang ni.”
“Loh koq cepet banget ? Ga nungguin aku pulang kantor aja ? Nanti kita kan sekalian candle light dinner. Udah lama kita ga makan malem bersama. Mumpung kamu baru sampe ke Jakarta. ”
Entah kenapa mendengar dua ucapan terakhir, berasa obat nyamuk. Dan aku merasa agak tersisihkan.

“Beib, aku masih harus ketemu yang lain dulu. Sorry to say, maybe next time.”
“Okaii, take care.” Jawab si bos setengah tak puas
“love you, beib. See you later, Diar. “
“Yeah, take care Mel.” Kataku
“Aku anterin sampai bawah.”
“Ga usah, aku sendiri aja. Kamu kan banyak kerjaan. Baii. “ kata si wanita berwajah oriental

Keluarlah sang wanita sempurna itu dari ruangan. Dan terlihatlah raut wajah kurang puas dari si bos. Yah, alamat aku deh yang disimber emosi. Berbaliklah si bos langsung ke mejaku, dan langsung menanyakan perihal pekerjaanku. Kukatakan kalo pekerjaan yang dia kasih tadi pagi sudah hampir selesai seluruhnya. Tinggal satu task saja yang belum, itu pun karena menunggu keputusan dari client. Mendengar hal itu pun, dia tak punya alasan sama sekali untuk meluapkan emosinya kepadaku. Dia pun langsung membalikkan dirinya ke meja kerjanya. Dan tiba-tiba ada sebuah Instance Message menghiasai layar notebookku. Dari si bos. Ngapain juga pake YMan segala. Wong meja sebrangan.

Bos : Eh. Diar. Hari ini ada acara ?
Zadiara : Ntar malem pak ?
Bos : Iyah, ntar malem.
Zadiara : Bunda saya dateng dari kampung. Saya mau dijodohin pak. Jadi harus pulang tenggo.
Bos : Beneran kamu mau dijodohin ? Saya kita bercanda. Bilang aja urusan kantor.
Zadiara : Yee, emang mau ngapain si pak ?
Bos : Makan malem. Candle Light Dinner.
Zadiara : Heh ? Parah. Tunangan bapak ga bisa makan malem. Saya yang dapet ampasnya.
Bos : Saya udah siapain dari kemaren buat nyambut dia dateng ke Jakarta. Eh dianya malah ga mau.
Zadiara : Yee, ogah ah saya kalo dapet ampas.
Bos : Udah deh kamu temenin saya aja. Nanti saya anterin pulang.
Zadiara : Jangan!!! Bisa dijitak Bunda saya nanti. Wong saya mau dijodohin, masa dianterin pulang sama bapak.
Bos : Oh ya udah. Nanti saya minta supir saya anterin kamu, biar saya naik taksi pulangnya. Gimana ?
Wew, niat banget nih orang. Sampe mau pulang pake taksi. Lumayan lah dari pada aku ketemu si Ramdan. Mending makan sama si bos.
Zadiara : Okaii pak. Saya kabarin Bunda dulu.

Kukirimkan pesan singkat kepada Bunda. Pertama harus basa basi dulu nih biar dibolehin.

Assalammualaikum, Bun. Udah sampe rumah ? Bunda istirahat dulu aja, biar ga cape. Bun, kayaknya aku pulangnya malem deh. Ada presentasi mendadak sama client. Sambilan makan malem. Ketemu Ramdannya besok aja yah. Maaf yah Bun.

Tak lama kemudian, kuterima balasannya.

Loh emang kamu ga bisa bilang kalo hari ini kamu mau ketemu sama calon kamu nak ?

Yahh, bunda masih ngarep dah. Kukirimkan lagi sms balasan dariku.

Udah bun. Tadi aku udah bilang begitu. Cuma katanya ini tender penting. Aku mesti hadir. Maaf yah Bun.

Sms balasan dari bunda pun dengan cepat masuk ke ponselku.

Ya udah lah kalo emang begitu. Besok aja Bunda suruh Ramdan dateng ke rumah lagi. Kamu hati-hati yah. Pulangnya jangan kemaleman. Jangan lupa berdoa kalo pergi kemana-mana.


Horee, ga jadi ketemu Ramdan hari ini. Sms Rachel ahh, hihihi.

Rachelku sayang, selamat ya!! Hari ini Ramdan punya lo. Gw pulang malem, ga jadi ketemu Ramdan hari ini. Jadi baek baek yah sama dia. Gaetlah hatinya dengan pesonamu (jijay bajai bahasa gw)!!

Langsung kulirik ym ku, dan kuklik nama Bos,

Zadiara : Bos, rebes. Jalan kita ni malem.
Bos : Okaii. Sip. Cepat selesaikan kerjaan kamu. Semakin cepat selesai, semakin cepat kita berangkat.

Gilakk, ni bos ga punya otak apa. Baru aja ngajak aku makan malem, eh ujung ujungnya kerjaan lagi. . Terkadang aku bingung dengan kepribadiannya. Yeps, bosku itu tak punya kepribadian yang pasti. Terkadang ramah, nyebelin, sok ngatur, perfectionist, baik lagi, care, eh eh ujung ujungnya bikin kesel. Stres bener yah jadi manajer. Aku rasa syaraf syaraf otaknya ada yang putus. Atau daya kerja otaknya sudah menurun dimakan umur. Aku rasa dia akan mati muda.

Akhirnya kerjaanku selesai, waktu pun menunjukkan hampir pukul 5.00 sore. Si bos pun segera menghampiri mejaku.

“Diar, dah beres kerjaan kamu ?”
“Udah pak, ni baru beres, bentar yah pak beresin notebook dulu.”

Kumatikan teknologi yang satu itu. Kumasukkah dalam softcase lalu keselipkan lagi ke tasku. Kubereskan barang-barangku yang lain, aku selipkan di case bagian luar tasku.

“Yukk pak, kita cabcus.”
“Sini saya bawain tas kamu.” Katanya mengejutkan

Tumben ni bos, baek. Syarafnya lagi bener kayaknya. Kami melangkah keluar ruangan, menuju meja receptionist di seberang pintu masuk dan pintu keluar. Belum sempat kulewati pintu tersebut, tiba-tiba aku dikejutkan dengan seorang mahluk tak tau diri, Radit. Damn Bastard!!!

“Radit! Ngapain kamu disini ? Mbak, ngapain dia disini ?” Tanyaku gugup sambil menanyakan soal keberadaannya di kantor ini kepada receptionist.
“Ini mbak, saya dari tadi udah larang dia masuk. Katanya dia mau nunggu aja disini sampe mbak pulang.”
“Diar! Aku mau ngomong.”
“ihh ngapain kamu disini ? Sana pergi.” Bentakku

Sambil mencoba melewati pintu keluar, aku mengenyahkan tangannya dari tubuhku.

“Diar, aku mau ngomong empat mata sama kamu. Empat mata.”
“Eh bajingan!!! Jangan pernah sentuh gw lagi yah! Gw panggil security ni.” Kataku mengancam
“Diar, tolong!! Aku minta maaf, aku mau ngomong sama kamu. Sebentar aja.”
“Ihh, sana deh. Ga usah sok minta maaf. Bajingan mah bajingan aja!”
“Diar, kamu kenal sama orang ini ?” kata si bos menengahi
“Gak pak. Dia itu bukan orang baik. Usir aja pak.”
“Kamu ? Mending kamu pergi aja sebelum saya panggil security.” Ancam si bos sambil menodong muka Radit
“Maaf. Saya ga pernah kenal sama Anda. Tapi ini urusan saya dengan Diar. Tolong jangan ikut campur.”
“Eh, jaga yah omongan lo. Ini atasan gw.” Bentakku dengan nada yang lebih tinggi lagi
“Mbak, tolong kamu panggil security!!” kata si bos kepada wanita yang bekerja sebagai receptionist.
“Diar, aku mohon. Gw cuma mau minta waktu lo sebentar. Gw mau minta maaf. Sebentar lagi gw mau menikah. Sebelum gw menikah, gw mau minta maaf dulu sama lo.”
“Ga ada ya, jangan harap gw ngeluarin kata maaf. Makan tuh kelakuan lo. Taiii!!!”

Security pun tak lama datang dan menyeret Radit keluar. Aku pun dengan si bos keluar menuju parkiran basement. Hatiku berdegup kencang. Emosi mulai melanda setiap partikel tubuhku. Sialan!! Kenapa dia bisa tau aku kerja disini. Aku mulai khawatir. Khawatir berlebihan yang sepenuhnya wajar. Bajingan sialan!!! Asu!!! Terus aku mengumpat di dalam hati.

Kumasukkan diriku ke dalam camrynya si bos. Dengan muka tak berwujud bahagia, aku mulai memakaikan sitbelt di badanku. Si bos hanya melihatku dan menatapku dengan penuh keheranan.

“Siapa itu ?” tanya si bos hati-hati
“Bajingan.” Jawabku sekenanya

Dan sepanjang perjalananpun, kami hanya berdiam diri, tak berucap. Di tengah perjalanan, aku mengeluarkan ponselku, kucari nama Digo, dan kukirimkan sms kepadanya.

Digo. Guess what ? Radit dateng ke kantor aku. Mau minta maaf katanya. Katanya dia juga udah mau nikah. Aku kesel banget liat dia. Ngapain si dia dateng lagi. Gimana lagi caranya dia tau tempat aku kerja. Aku emosi ni. Banget!!!

Sms balasanpun masuk ke ponselku.

Tapi kamu ga kenapa kenapa kan ? Kamu sekarang dimana ? Sama siapa ? Hmm, Maybe, he want to confess his mistake and say sorry. Aku tau mungkin ini berat, Di. Tapi akan lebih lega kalo kamu memaafkan dia.

Dan aku pun segera meluncurkan sms balasan.

Confess ?? Telat banget. Ga tau apa perilaku dia tuh kayak Anjing. Orang jahat kayak gitu mah ga usah dimaafin. Keenakan. Aku emosi, sumpah !!! Kamu ga usah deh belain dia. Bikin tambah emosi aja.

Aku lagi sama bos aku. Mau makan malam.

Balasan dari Digo pun seketika muncul.

Okaii. Have fun!! I always love you and still.

Panggilan si bos pun memecah kesunyian, aku yang masih dilanda angin kemarahan, tak bisa berucap banyak, hanya sekedarnya.

“Diar. Kamu masih mau lanjut makan apa nggak ni ?”
“Ga tau pak. Terserah bapak aja.”

Tiba-tiba dia meminggirkan mobilnya ke bahu jalan dan berhenti. Kembali dia hanya menatapku dalam.

“Diar.”
“Kenapa pak ? Koq berhenti ?” tanyaku mulai emosi
“Liat saya!” Katanya sambil meraih daguku dan memalingkan wajahku ke hadapannya
“Kenapa pak?” tanyaku sambil mendelik
“Saya memang ga tau siapa dia. Dan saya ga tau sama sekali apa masalah kalian.”
“Dia bajingan pak. Titik!” jawabku lugas mulai tak bisa menahan torehan air mata
“Iyah, saya tau. Dari tadi kamu manggil dia bajingan. Saya tau kamu emosi. Kalo kamu masih emosi kayak gini, mending saya anterin kamu pulang. Kamu perlu istirahat. “

Air matakupun seketika bertumpahan tak terbendung mengalir di atas pipi. Dan genggaman si bos di daguku pun berlanjut menjadi sebuah pelukan hangat. Hangat, sampai aku pun tak mau melepasnya. Dia tak berucap apapun, dia hanya terus memeluk dan mengusap-usap kepalaku hingga aku merasa nyaman dan tidak menangis lagi.

“Ya udah. Kalo gitu kita batalin makan malamnya, kamu ke rumah saya saja dulu. Bersihin diri kamu, biar ga acak-acakan kayak cewe abis diperkosa.”

Mendengar kata ‘diperkosa’ membuat air mata saya kembali berlinang.

“Loh koq malah nangis lagi ? Maksud saya, mata kamu bengkak. Jadi kompres dulu mata kamu, biar nanti pulang ke rumah ga ditanya-tanyain.”

Aku menurut saja, dan melajulah mobil hitam itu ke daerah kemang. Dimasukkanlah mobil itu ke garasi rumahnya. Lalu kami masuk ke dalam. Dan ada bibi yang dulu pernah kutemui waktu pertama kali aku terdampar di rumah si bos.

“Loh non, matanya kenapa ? Koq bengkak gitu ?”

Aku hanya terdiam dan tak mau menjawab.

“Bi. Tolong bawain irisin mentimun sama bawain es batu sama saputangan ya.”
“Iyah Tuan.” Bibi pun menurut
“Kamu istirahat aja di kamar atas. Ntar saya bawain es sama mentimunnya.”
“Di kamar ?”

Aduuh. Di kamar. Ntar terjadi hal hal yang diinginkan lagi. Aku sedang tak mau menjalani aktivitas malam, have a sex maksudnya. Tubuhku sudah sangat lelah karena menangis. Aku sangat ingin berbaring dan tertidur.

“Iyah di kamar atas, saya ganti baju dulu di bawah. Nanti saya kesana. Masih inget kan kamarnya ?”
“Ohh. “

Kuseretkan kaki ke arah kamar yang dulu pernah kutiduri. Bersih, luas dan nyaman. Kuletakkan brang-barangku di bawah, sebelah meja di samping tempat tidur. Kusenderkan badanku di permukaan tempat tidurnya, kutempelkan kepalaku di atas bantal. Dan memejamkan mata. Tak lama kemudian, kudengar suara pintu dibuka dan ditutup kembali. Kudengar pula suara langkah kaki. Tapi tak kuhiraukan, aku lelah. Mataku pun tak kubuka, dan seketika dinginpun menyerang mataku. Irisan mentimun sudah ada di atas mataku.

“Perih dikit. Tahan ya! Yang penting ga bengkak kan ?” suara si bos berucap

Aku hanya diam tak berkata, dan si bos pun melanjutkan ritual untuk mataku yang bengkak. Aku tertidur. Tertidur pulas. Sampai tak bisa aku dengar suara yang lain. Hatiku hari ini sakit. Lelah. Perlu penyembuhan. Entah kapan datangnya penyembuhan itu. Di saat kuterlelap, aku merasakan sesuatu mendarat di bibirku, kecupan. Tapi aku begitu malas membuka mata. Begitu berat mata ini, sampai aku pun tak kuasa mengangkatnya. Kecupan itu terus menempel erat, dan aku membalasnya. Kecupan itu hangat, dan tak beralih kemana-mana. Hanya di bibir saja, dan sesekali ada tangan mengusap rambutku. Bisa kurasakan belaian lembut tangannya. Lalu kurasa juga tangannya menyentuh alisku dan mengusap kelopak mataku yang dipenuhi irisan mentimun. Beberapa saat kemudian, aku merasakan tubuhnya di atas tubuhku, aku terhenyak, dan lagi-lagi aku tak ingin membuka mata. Terlalu perih. Dan tidak seperti biasanya tubuh pria ini tidak terlalu lama menindihku. Dia menggeserkan tubuhnya ke sampingku, dan kembali mendaratkan kecupan hangat dan sesekali mendekap badanku. Dia sama sekali tidak bermain dengan organ penghasil susuku, ataupun menjilat-jilat organ yang menjadi pintu keluar seorang janin bayi, dia pun sama sekali tidak menghisap leherku sampai bernoda. Dia hanya mengecup dan sama sekali tidak melakukan apapun. Hanya sesekali dia mengusap alis, kelopak mataku, serta rambutku. Aku nyaman kondisi ini meski jantungku berdebar kencang tapi aku tak merasa khawatir sama sekali, aku ingin tertidur.

“Tok..tok..tok, assalammualaikum. Bun.”

Tak lama pintupun terbuka, terlihat tangan berkulit putih, terbalut busana muslim lengan panjang.

“Diar, Alhamdulillah. Akhirnya kamu pulang juga. Bunda panik nyariin kamu. Bunda kirain kamu kenapa kenapa.”
“Iyah bunda, maaf diar ga ngabarin. Udah kecapean abisan.”
“Ya udah kamu istirahat dulu di kamar, mau mandi dulu ga ? Mandinya pake air hangat yah.”
“Iyah Bun, Diar ke kamar dulu ya. Cape.”

Kulaju badanku yang sudah sempoyongan ke arah kamar tidur. Kupaksa diriku untuk mandi. Kubuka pakaianku dan kubalut handuk. Sesampainya aku di kamar mandi, kuguyur diriku dengan air hangat, tak lupa kupakai sabun dan kuoleskan ke seluruh lingkup tubuh, lalu kubilas. Selesai sudah pembersihan diri. Kubasuh diriku dengan handuk dan kupakai sebuah pakaian tidur kebesaran.

Setelah kurapikan diri, kubungkukkan diriku dan kuambil sebuah kotak yang berisi beberapa buku. Buku diary. Sedari ku remaja. Semenjak peristiwa diriku dengan Radit. Setiap hari, aku selalu meluangkan waktu untuk menulis. Sekedar mengadu sakit. Hufft, kugigit bibirku mengingat kejadian bersama Radit. Sakit, tapi aku harus kuat. Kuambil buku yang terletak di paling atas.

Kurebahkan diriku, dan kubuka lembaran kosong,

Dear Diary,

Kemarin aku sial!!! Aku ketemu Radit. Iyah si bajingan tengik itu. Dia datang ke kantorku. Kurang ajar!! Tau dari mana dia kantorku. Tak sudi aku bertemu dia. Dia bilang dia mau minta maaf. Minta maaf ? Telat!!! Banget!!! Sakitku sudah menumpuk, nodaku sudah menyebar. Bajingan sekali dirinya! Tak punya malu!!
Aku masih ingat di sore itu, di saat aku berada di rumahnya. Dia minta tolong menemaninya sampai orang tuanya pulang setelah kami belajar bersama untuk ujian besok. Tapi di hari itu dia jahat !!! Selaput daraku diambil paksa. Kemaluanku dihabisinya, payudaraku habis dihisapnya. Aku marah!!! Benar-benar marah sampai tak sudi aku keluarkan kata maaf!!

Hidupku hancur. Tak tersisa, dan tambah tak tersisa lagi sekarang. Dia orang kuharapkan setiap hari agar cepat mati. Dia kuharapkan menderita seumur hidupnya. Dia kuharapkan masuk ke neraka paling dalam!!! Matilah kau cepat ! Jangan ganggu aku lagi !
Hmm. Kemaren aku dikecup. Aku hanya cerita sama kau saja yah. Kemaren setelah pertemuan aku dengan si bajingan itu, aku dirawat. Dirawat si bos. Iyah, bos yang biasanya menjajahku dengan setumpuk pekerjaan yang menggunung. Kemarin, dia jutru merawatku, menenangkanku, mengecupku, tanpa sedikitpun menyentuhku. Tanpa sedikitpun dia menjilat seperti anjing ataupun menghisap seperti monyet, ataupun mengendus seperti babi. dia hanya sesekali membelaiku, rambutku, alisku dan kelopak mataku. Aku merasa nyaman dan tak merasa khawatir. Tapi ga penting juga aku ceritain. Ada si Amel, dia itu tunangannya. Aku merasa tersisihkan kalo ada dia. Padahal baru ketemu kemarin. Ahh, sudahlah. Matilah saja si bos yang entah maunya apa. Aku jadi emosi ngomongin si amel. Lelah ah, tidur dulu.

“Tok..tok…tok…”

Suara ketukan pintu mengganggu tidur nyenyakku.

“Kak, bangun!! Kak, bangun. Dipanggil ibu. Buka cepetan!”

Dengan nyawa belum terkumpul seluruhnya, aku menggerakkan badan ke arah pintu dan membukanya.

“Apaan si Hel ? Masih ngantuk ni.”
“Ih, kakak. Dipanggil ibu. Ada Ramdan tuh. Cepet, keluar!”
“Ya elah Ramdan doank, lo aja dulu yang nemenin.”
“Disuruuuh ibu. Cepet ihh!”
“Iyah, iyah, bentar, gw ganti baju dulu. Udah lo ke sana duluan aja. Ntar gw nyusul. “

Kuganti pakaianku dengan celana panjang dan kaos berukuran agak besar. Langsung kutuju ruang tamu dengan muka males-malesan. Ruang tamu berukuran kecil. Terdapat satu set sofa untuk 5 orang dan meja kaca persegi panjang.

“Kenapa Bun ?” tanyaku sambil mengambil tempat duduk di sebelah Rachel.
“Ehh, ini anaknya baru bangun. Ramdan, ini anak tante, Diar. Kalo masih inget, kalian udah pernah ketemu pas masih sekolah kan ? Dulu kan kamu sering nganterin ibu kamu ke rumah tante.” Jelas Bunda kepada Ramdan
“Ramdan.” Katanya sambil menyodorkan tangan
“Diar.”
“Hmm, bentar yah Bunda bikin minum dulu. Rachel, bantuin Bunda di dapur.”

Belum sempat Rachel beranjak, aku sudah menarik tangannya.

“Bun, Rachel disini aja. Temenin aku. Aku ogah berduaan.”
“Ihh, jangan. Rachel bantuin Bunda aja di dapur.”
“Bun, aku mau Rachel temenin aku disini atau aku aja yang bantuin Bunda di dapur ?”
“Ya udah, kalian disini aja deh semua. Bunda aja yang buat minum.”

Sama sekali tidak menarik. Pria ini tak ada sesuatu yang spesial. Kupandangi dari ujung kaki hingga ujung kepala. Terlalu biasa!!! Tak ada yang memulai pembicaraan. Rachel pun hanya diam saja. Mungkin dia tak enak, takut dikira terlalu cerewet. Sampai akhirnya, aku tak tahan dan mempertanyakan sesuatu yang harusnya tak perlu dipertanyakan lagi. Mumpung Bunda sedang sengaja berlama-lama di dapur.

“Eh, Ram. Kita lagi dijodohin ya ?”
“Maksudnya ?”
“Udah deh ah, jangan sok lugu gitu. Kita berdua itu lagi dicomblangin ?”
“Sepertinya sih iya.”
“Trus kenapa lo mau ? Emang lo suka sama gw ?”
“Sebenernya saya sih menurut saja apa yang dibilang orang tua saya. “
“Gw ga mau dijodohin, tolong donk bilang ke orang tua gw sama orang tua lo, kalo kita berdua ga mau dijodohin.”

Kusikut kaki Rachel pake kakiku, dan aku isyaratkan agar dia pergi ke dapur. Dan berusaha untuk mengulur waktu ibu di dapur. Rachel pun beranjak dan segera pergi ke dapur.

“Loh saya mau koq.”
“Gw nya kan ga mau.” Kataku tegas
“Yah tapi kan bisa dicoba dulu.”
“Gak pake yee, pokoknya gw ga mau tau, gw ga mau dijodohin sama lo. Apalagi sampe nikah.”
“Ohh begitu, boleh saya tau alasannya.”
“You are not my type. Dan gw ga tertarik!! End of discussion.”

Dia hanya mengangguk kecil dan kami berdua pun terdiam tanpa suara. Lumayan lama, ibu kembali dari dapur bersama Rachel.

“Loh koq diem-dieman ? Masih malu ya ? Ini minumnya, Ram. Diminum dulu. Nah, ini ada kue seadanya. Silahkan dicicipi. ”
“Iyah tante. Makasih. Aduh, ga enak nit ante ngerepotin. ”
“Aduh, anak tante yang ini emang pendiem kalo baru kenal. Jadi maklumin yah.”
“Iyah tante, keliatan koq.”

Sumpahh yaaah!! Jengah banget aku liat pria ini. Entah karena terlalu sopan atau terlalu munafik. Yeah, sesama pesakitan bisa membedakan pesakitan lainnya. Dia tak terlihat baik, terlihat berpura-pura baik. Dan aku muak dengan orang seperti itu. Pembicaraan antara Bunda dan Ramdan membuatku mengantuk. Rachel pun terlihat bosan. Akhirnya aku beranikan diri untuk menyudahinya.

“Bun, aku ke kamar duluan yah. Aku ada kerjaan kantor. Deadline besok.”
“Loh koq Ramdannya ditinggal ?”
“Bunda kan yang dari tadi nemenin. Terusin aja ngobrolnya, aku ke kamar duluan yah.”
“Bun, Rachel juga udah ngantuk. Rachel juga duluan yah ke kamar.”
“Kalo gitu, saya pulang aja tante. Udah malem juga.”

Kepergian aku dan Rachel ke kamar tertunda dengan basa basi bunda dan Ramdan.

“Ya udah deh kalo gitu, eh bentar ini ada sedikit makanan buat di rumah. Seadanya aja.”
“Yah, saya jadi tambah ngerepotin. Makasiih ya tante. Saya pulang dulu yah. Diar, Rachel, pulang dulu ya.”
“Ati-ati yah Ram. “
Selesai sudah basa basinya, dan setelah mobilnya melaju menjauhi rumah, aku dan Rachel pun ngeloyor langsung masuk ke kamarku.
“Eh, kalian berdua ni ga sopan banget sama tamu. Tamu koq ditinggalin begitu.”
“Kan aku tadi udah bilang banyak kerjaan. Udah yah bun ke kamar dulu.”
“Aku juga yah bun. Aku tidur sama kakak.” Kata Rachel yang dengan cepat mengekoriku ke kamar tidur.

Sesampainya kami di tempat tidur, kami langsung membicarakan kejadian tadi tanpa filteran kata sedikitpun.

“Kak, tadi ngomongnya begitu amat si ? Kasian tau. Speechless gitu si Ramdan.”
“Eh, lo tuh adik gw yah. Mestinya belain gw.”
“Yahh, cuma yang tadi itu terlalu rude. Ga bisa yang sopanan dikit apa.”
“eh, dengerin yee. Gw tau lo suka sama dia. Tapi apa lo ga bisa liat ? Dia itu munafik. Pura-pura baik.”
“Ihh tau dari mana lo ? Sotoy ah.”
“Yee, kalo dia bener-bener baik. Dia ga mungkin nolak lo secara kasar dulu.”
“hmm, bener juga si. Tapi kan belum ada buktinya kalo dia bukan orang baik.”
“Ntar juga ketauan, pokoknya gw ga mau pokoknya ama dia. Selesai membicarakan Ramdan. Gw mau tidur. Lo mau tidur sini atau gimana ?“
“Tidur sini. “

Kumatikan lampu, dan kutarik selimut sampai dada. Perlahan kupejamkan mata, dan mulai tertidur.

Sesaat setelah aku mendarat di kantor, diriku seakan mengantuk dan malas sekali menempatkan diri di kursi kantor. Diriku mengalami kenaikan suhu tubuh, sehingga mukaku agak sedikit memerah dan pucat. Apalagi setelah aku membuka pintu ruangan, dan terlihat dua sosok mahluk berjenis kelamin pria dan wanita sedang membahas sesuatu yang sepertinya serius. Amel dan Si Bos. Buseet dah masih pagi buta gini, udah pacaran aja. Mereka sedang duduk di satu-satunya sofa di ruangan kami.

“Pagi pak, Pagi bu Amel.” Sapaku basa basi memasuki ruangan
“Pagii juga Diar. Panggil Amel aja. Ga usah pake ibu.“ jawab Amel.
“Diar..” diriku dipanggil bos

Kuletakkah dahulu tasku, kukeluarkan dan kuhidupkan dulu notebookku.

“Iyah, pak.” Jawabku sambil sedikit berteriak dari meja kerja.
“Sini kamu.” Pinta si bos

Kugerakkan kaki dengan lemas ke tempat si bos dan Amel.

“Kenapa pak ?”
“Kamu kenapa ? sakit ?”
“Ohh, iyah sedikit. Anget doank.”
“Muka kamu pucet. Udah sarapan ?”
“Udah, pak. Di rumah.”
“Udah minum obat ?”
“Udah. Hmm, saya balik dulu yah pak ke meja kerja saya. Bapak lanjutin aja ngobrolnya.”

Sesampainya di meja kerja, aku langsung melakukan kegiatan rutin. Mengecek email, mengerjakan task kantor, mengecek jadwal meeting, dan confirm ke client. Aduh, rasanya mukaku panas. Laya monitor pun tampak buram. Meski mataku yang sudah tampak sayu karena efek pemanasan tubuh, tapi telingaku masih bisa mendengar percakapan antara Si bos dan Amel.

“Kamu bela-belain banget sih sampe angusin tiket trus beli tiket baru.”
“Sorry, ini kesempatan aku, Bi. Kalo review aku bagus disana, produk aku akan dipromosikan ke client lain. Kesempatan kan ga dateng dua kali. Kamu ngertiin dunk.”
“Tapi kan kamu janjinya disini 3 minggu. Ini satu minggu aja belum.”
“Yah, ini tuh urgent banget. Lagian client aku yang itu mendadak, jadinya aku mendadak juga harus kesana. Please understand, sweety!”

Sweety ? Geli aku mendengar percakapan mereka. Bos dipanggil sweety. Katarak kali tuh si Amel. .

“Yeah, tapi ini udah sering banget Mel.”
“Jadi kamu maunya gimana ?”
“Kita intropeksi masing-masing dulu. Sampe kamu mengerti arti komunikasi buat kita itu apa.”
“Loh koq yang dipermasalahin jadi komunikasi ?”
“Yah iyah. Kamu sibuk terus sama urusan kamu. Ga punya waktu buat ketemu, telpon aja susah. Masa kita komunikasi lewat email sama YM doank.”
“Kamu koq jadi mempermasalahkan soal itu si. Dulu dulu nggak masalah perasaan.”
“Yeah tapi kamu selalu mendahulukan kepentingan kerjaan kamu. Udah janji sama aku, tiba-tiba batal.”
“Loh koq kamu jadinya menghakimi aku ?”
“Siapa yang menghakimi ?”
“Ya udah lah, kalo kamu ga bisa ngertiin aku. Kita selesai aja.”
“Selesai ? Maksud kamu putus ?”
“Iyah.”
“Yang aku maksud, kita break sementara. Got it ?”
“Aku maunya kita putus aja lah.”
“Ya udah. Kamu maunya putus. We are done!!”

Amel pun langsung berjalan meninggalkan sofa dan menuju pintu ruangan. Langkahnya tergesa-gesa dan mukanya memerah. Entah marah, entah menahan tangis. Si bos pun langsung menuju meja kerjanya. Raut mukanya tak dapat dideskripsikan. Matilah, aku deh pasti yang kena. Ternyata benar, semua kerjaan dialihkan kepadaku. Dasar tak punya hati!!

Waktupun lama sekali rasanya berlalu hari ini. Semakin siang semakin panaslah suhu tubuhku. Waktunya makan siang pun, aku menyuruh OB untuk membelikan makan siang ke kantin. Tiga sekawan pun akhirnya mendatangiku sehabis makan.

“Diar, lo sakit ya ?” tanya Bita sambil meletakkan tangannya di keningku.
“Iyeeh, masih nanya lagi lo pada.”
“Ga ijin pulang aja?” titi pun menimpali
“Ogah, kerjaan gw banyak. Bertumpuk ni. “
“Yah, tapi kan lo sakit. Gapapa kali. Mau gw yang bilang sama Abi ?” tanya Bian singkat
“Udeh ah ga usah. Lagi sewot dia hari ini.”
“Sewot ? Kenapa emang ?” Bian pun kembali bertanya
“Aduhh gw ga tau. Udah ah jangan tanya-tanya lagi.”
“Yee, lo nya juga jadi sewot gitu. Eh, lo tuh gimana si sama si Abi ?” tanya Bita terlihat sangat penasaran sekali
“Gimana apanya ?”
“Kemaren lusa, lo nginep di rumahnya. Sekarang sewot-sewotan. Bingung gw sama lo.” Lanjut Bita
“Jahh. Lebay lo ah. Wong biasa aja si. Udah ah, gw pusing ni. Balik sana ke ruangan lo masing-masing. Gw mau tidur ni sebentar.”

Seketika itu pula, Si bos memasuki ruangan. Dan Bian langsung menghampirinya tanpa basa basi. Bian memang mempunyai akses bagus di perusahaan kami. Dia sering sekali tanpa sungkan berbicara dengan orang-orang penting di perusahaan kami.

“Permisi, Bapak Abi. Udah maksi ?“
“Eh, Biyan. Koq disini ? Iyah udah, baru aja.”
“Iyah, temen saya tuh lagi sakit. Jadi pada nengokin kesini.”
“Oh, iyah. Tadi pagi juga aku liat dia pucet.”
“Kasian pak. Boleh ga kalo dia pulang cepet aja. Mukanya udah kayak orang mau pingsan gitu.”

Lalu tiba-tiba si bos beralih ke mejaku dan memegang kening dan leherku.

“Kamu mau pulang cepet ?” tanyanya kepadaku.
“Enggak pak. Kerjaannya masih banyak.” Jelasku singkat.
“Diar, tapi kan kamu sakit. Jangan dipaksain!!” kata Bian sambil mendelikkan mata.
“Iyah. Udah kalo ga kuat pulang aja.” Titi dan Bita pun menimpali
“Hmm, gini aja deh. Kalo Diarnya ga mau pulang. Ya udah, ga usah dipaksa. Nanti, pulangnya biar saya yang anterin ke rumah. Kalo perlu ke rumah sakit, sekalian aja pas pulang.”

Seketika itu pula, kami berempat langsung saling melirik satu sama lain.

“Okee kalo gitu.” Tiga sekawan kompak menjawab.
“Diar, kami balik dulu ke ruangan. Cepet sembuh ya say!” lanjut Dian

Setelah mereka bertiga balik ke ruangan mereka masing-masing, si bos pun tak langsung beranjak. Dia melihat ke arahku dan email yang sedang kubuka. Dan dia pun seketika mengatakan hal ajaib yang tak pernah aku dengar sepanjang aku bekerja di kantor ini.

“Diar, task yang belum kamu kerjakan, forward aja kesaya lagi. Biar saya yang kerjain. Kamu tidur aja.”
“Ah, serius pak ?”
“Iyah, kamu forward trus kamu tidur aja sampe jam pulang.”

Lalu dirinya langsung melenggangkan kaki ke meja kerjanya. Dan akupun terpaku setengah tak percaya. Kucubit tanganku untuk memastikan ini bukan khayalan fatamorgana semata yang dikarenakan demam yang melanda badan. Sakit!!! Ini bukan mimpi. Ini nyata. Senangnya. Langsung aku forward semua task yang belum aku kerjakan. Lalu aku langsung mengambil posisi terenak untuk tidur. Selamat Tidur.

Waktupun sudah menunjukkan pukul setengah 6 sore. Aku pun terbangun mendengar ponselku berdering. Tertera nama Bunda di layar.

“Assalammualaikum, halo.”
“Walaikumsalam. Bun, ada apa ?” tanyaku dengan suara yang nyaris menghilang.
“Kamu masih sakit ? Gini, bunda nyuruh Ramdan jemput kamu. Bunda khawatir kamu ga kuat nyetir. Dia udah berangkat ke sana bareng Rachel ama Digo.”
“Sama Digo ? Koq bisa ada digo ? Yahh. Bunda. Aku udah bareng atasan aku. Aku ga enak kalo ngebatalin. Telpon mereka aja Bun. Suruh balik lagi. Gimana ?”
“Ya udah. Bunda suruh adik kamu telpon kamu aja ya.”
“Ya udah deh. ”

Tak lama berselang setelah aku menutup telepon dari Bunda, ponselku kembali bordering. Kali ini, Rachel yang menelepon.

“Kak. Aduuh koq lo ga bilang si mau pulang bareng atasan lo. Kita udah mau sampe ni.”
“Yah gimana dunk ? Lo ga bilang mau jemput gw ?”
“Yahh, lo dah makan belum ?”
“Belum, apa mau janjian makan dulu ? Tapi gw tetep pulang bareng atasan aku yah. Ga enak gw, daritadi dia sudah berbaik hati mengijinkan gw tidur sampe jam pulang.”
“Ya udah deh, daripada balik lagi. Di Sushi Tei aja yah. Tempat Biasa.”
“Bentar, gw tanyain dulu sama atasan gw.”

Kuberlari ke arah si bos dan menanyakan perihal makan, dia pun dengan cepatnya mengiyakan. Tumben, hari ini, dia baik dan penurut sekali. .

“Okaii, dia setuju. Kita ketemu di tempat biasa.”
“Ya udah, cee ya there. “
“Eh bentar-bentar. Lo ngapain bawa si digo si?”
“Yah, itu mah gw sms aja yah. Suseh ni.”
“Ya udah. Cepet lo sms gw. Baii.”

Setelah kami sepakat, aku pun langsung membereskan barang-barangku. Si bos juga sudah terlihat merapikan barang-barang. Setelah dia selesai, dia pun langsung menghampiri. Dan mengajakku langsung keluar ruangan. Belum sempat aku menyentuh gagang pintu ruanganku, telepon di meja kerjaku berbunyi. Huuft, udah jam pulang juga.

“Halo, dengan Diar di sini. Ada yang bisa saya bantu ?”
“Halo. Ibu Diar ya ? Ini bu, ada yang nyariin ibu. Orang yang kemaren lagi.”
“Orang yang kemaren ? Radit maksudnya ?”
“Iyah, dia dari tadi maksa ni bu. Katanya dia harus ketemu sama Ibu. penting.”
“Aduuh, kamu minta security aja. Suruh usir.”
“Udah bu, tapi dia tetep keukeuh. Nungguin ibu di luar pintu masuk.”
“Ya udah saya kesana deh.”
“Oh, baik bu.”

Kututup telepon itu dengan penuh kesal. Kenapa bajingan itu tak mengerti juga. Aku kan sudah bilang tak mau bertemu dengannya. Pasti dia mau meminta maaf lagi ? Memberi dia maaf ? Hell, no!!! Well, I choose to be in hell than give him my sorry. What I should do now ? Sms Rachel. Yeps, sms Rachel.

Rachel, Radit ada di depan kantor gw. Gw agak lama kesananya. Telat mungkin. Nungguin dia pulang dulu. Gw ogah ketemu dia. Kalo ga, lo kesini dulu deh. Usirin tuh si b@ngsat tengil.

Balesan dari Rachel pun dengan cepat aku terima,

Hah ? Radit kesana ? Lagi ? Bonek juga tuh cowo. Ya udah, Kak Digo bilang kita kekantor lo aja. Lo tungguin ya. Ntar kalo udah sampe, gw sms. Eh kak, Ramdan nanyain mulu ni soal Radit. Pusing ni gw.

Tak lama setelah itu, si bos pun bertanya apa yang terjadi.

“Diar, ada apa si ?”
“Radit. Nunggu lagi di depan kantor.”
“Dia dateng lagi ?”
“Iyah. Kepala saya jadi tambah pusing deh ni.”
“Trus kita jadinya gimana ? Mau langsung berangkat aja ? Panggil security lagi.”
“Adek saya jadinya kesini. Sekalian tuh, dia ngusirin si bajingan itu. Kita disuruh nunggu sampe mereka dateng.”
“Oh, ya udah. Tunggu di sini aja kalo begitu. Tapi kamu masih kuat kan, kalo kenapa-napa, bilang yah.”
“Iyah.”
“Diar, boleh saya tau kenapa kamu benci banget sama dia?”
“Sama siapa ? Radit ?”
“Iyah.”
“Dia bajingan.”
“Iyah saya tau dia bajingan. Tapi kenapa kamu bilang dia bajingan ?”
“Hmm. “ Omonganku terhenti seakan tak ingin menceritakan. “Dia seorang pria yang mengambil kegadisan pacarnya secara paksa.”
“Heh ? Kamu diperkosa ?”
“Iyah. mungkin bisa disebut begitu. Yang jelas, selaput dara saya hilang tanpa saya ijinkan.”

Tertunduk aku menceritakannya. Tak bisa kubendung air mata. Pipiku mulai basah dan badanku mulai gemetaran. Beban yang berat terasa bertumpuk di kepala. Sakit kurasakan di bagia dada. Melihat perilakuku, tak kusangka, si bos merangkulkan lengannya di tubuhku yang mungil. Lalu dia mulai mengusap usap kepalaku. Sesaat itu pula, hatiku langsung berdegup tak terkendali. Dan refleks, aku langsung melepaskan rangkulannya.

“Masih di kantor, pak. Lagian, saya nanti ga enak sama Amel. Eh maaf, maksud saya, Ibu Amel.”
“Saya rasa kamu sudah tau, saya sudah tidak punya hubungan apa-apa sama dia.” Jawabnya sambil mendelik
“Saya tau pak, tapi mungkin yang tadi pagi hanya emosi semata. Jadi masih bisa diperbaiki.”
“Gimana mau diperbaiki, saya minta intropeksi, break sementara. Dia minta putus. Cape saya ngadepin dia.”

Aku ngerasa bersalah ? Bersalah ? Aku tak punya salah. Ga enak ? Kenapa harus ga enak ? Ga enak sama Amel ? Kenapa aku jadi ga enak ? Putusnya mereka berdua bukan salahku. Tapi kan belakangan ini aku sering melakukan hubungan fisik dengan si bos. Apa aku merasa bersalah karena aku mulai ada rasa sama pria ini ? ‘Glek’. Si bos tetap mendelik dan entah kenapa aku jadi salah tingkah.

“Jangan sedih lagi yah.” Kata si bos sambil mencolek hidungku dengan jarinya

Sepertinya pipiku langsung memerah, dan aku pun langsung menunduk dan menghindari kontak mata. Huuf, gawat. Aku mulai main rasa. Ponselku berdering kembali. Ada sms masuk dari Rachel.

Kak, gw dah di pintu masuk ni. Kak Digo lagi ngomong sama Radit. Ramdan nanyain mulu ni Radit siapa. Dia sok sok emosi gitu lagi. Lo keluar cepet.

Membaca sms itu, aku langsung keluar bersama si bos. Menuju pintu keluar. Kulihat Digo dan Radit sedang berbicara dengan nada tinggi. Ketika Radit melihatku, dia langsung menuju ke arahku.

“Diar. Aku dari tadi nungguin kamu disini. Aku mau ngomong.”
“Eh lo tuh ga denger yah. Tadi kan gw dah bilang Diar lagi sakit. Mending lo pulang aja.” Digo pun menimpali sambil menjauhkannya dariku.
“Ini urusan gw sama Diar. Lo ga usah ikut campur.”
“Sorry, mending kamu pergi dari sini. Sebelum saya panggil security lagi buat ngusir kamu.”
“Saya tau Anda atasannya Diar. Tapi ini urusan saya sama Diar. Saya hanya ingin bicara empat mata sama Diar. Anda tak punya hak mengusir saya. ”
“Tapi Diarnya ga mau.” Ramdan pun ikut-ikutan menimpali.

Digo dan Ramdan berusaha menjauhkan bajingan itu dariku. Banyak nada-nada tinggi yang kudengar, nada-nada tinggi yang tak beraturan. Membuat kepalaku semakin mau pecah. Melihat mukaku yang semakin pucat, Rachel pun memegangiku.

“Saya punya hak mengusir Anda.” Si bos pun menjawab menggunakan nada tinggi. Dia terlihat lebih emosi.
“Loh memangnya Anda siapa ? Anda kan hanya atasan Diar.” Celoteh bajingan itu dengan bodohnya
“Pertama, kamu sudah bikin keributan di kantor saya. Kedua, saya lupa memperkenalkan diri saya. Saya Abi, pacar Diar, wanita yang dari kemarin Anda usik kehidupannya.”

Mendengar hal itu, semua orang yang terlibat saling mendelik, seraya melirik satu sama lain. Begitu pula aku yang sangat kaget mendengar pernyataan itu. Dan aku pun hanya bisa speechless dan pelan-pelan mencerna kalimat yang bos ucapkan. Tubuhku terasa melakukan pemberontakan. Otakku sudah tak bisa merasa, hatiku sudah tak bisa berfikir. Aku lelah mendengar semua nada-nada sumbang yang memekakkan telinga dan merusak mata. Lalu aku dengar nada-nada tinggi itu semakin melemah, dan aku pun jatuh tak sadarkan diri.

Mataku terbuka. Kulihat lampu berwarna putih dan botol inpus, aku dikelilingi oleh sekatan gorden berwarna hijau. Kulihat banyak orang mengelilingiku. Rachel, tiga sekawan, Digo, Ramdan, Si bos, damn Radit!!! Rasanya ingin sekali pinsan lagi dan tak sadarkan diri sampai si bajingan itu pergi.

“Di..kamu udah bangun ? Aku panggilin dokter yah.” Kata si bos perhatian
Kenapa dengan si bos ? Hari ini dia aneh. Aku jadi berasa pelariannya. Pelarian karena hari ini dia putus dengan tunangannya. Oh iya, aku baru inget dia sudah bertunangan dengan Amel. Tunangan ? Kenapa sih mereka ga langsung merried aja. Tunangan berarti satu tingkat lebih tinggi dari pacaran. Ga penting banget yah. Ga ada tujuannya. Percuma juga tunangan, kalo bisa putus dengan mudahnya. Trus setelah putus, bisa seenaknya aja jadiin aku pelarian ? Ogah!!! Ogah, aku kalo hanya jadi pelarian doank! Iew, emangnya aku ganjelan pintu apa. Loh koq aku jadinya ogah kalo dijadiin selingan ? Ga ada ruginya toh. Sabar…selesain dulu masalah Radit, baru soal bos. Abis itu terakhir baru si bocah munafik itu, Ramdan picik. Cuiih. .

“Kak, lo ga kenapa kenapa kan ?”
“Kepala gw sakit.”
“Gw belum bilang bunda. Ga usah bilang yah, ntar bunda panik. Ribet lagi.”
“Itu si b@ngsat ngapain dia disini ?”
“Hmm, tadi dia maksa mau ikut ke rumah sakit. Trus, setelah kita berembuk. Kayaknya lo emang harus ngomong sama dia deh. Biar masalahnya clear.”
“What ? Trus lo iya-iyain aja ?”
“Yah gw pikir bener juga.”

Lalu dokter pun datang, dan dia pun menjalani instruksi kedokteran. Menanyakan keluhan-keluhan yang kurasa.

“Malam ibu…”
“Malam dok.”
“Udah sadar yah ? Kepalanya gimana ? Masih sakit ?”
“Masih dok. Pusing.”
“Ya udah diperiksa dulu ya.”

Dipasangnya stetoskop dan diperiksalah tubuhku sambil menyuruhku bernafas teratur. Lalu setelah itu, aku disuruh mengeluarkan lidah dan dia menyenter kerongkonganku. Senter pun berlanjut ke daerah mata.

“Hmm, kamu gapapa. Semua masih normal. Kamu lagi ada masalah ya ?”
“Yeah, banyak pikiran.”
“Ohh, kamu ga boleh stres, nanti jadi gampang sakit.”
“Yang bikin stresnya ga tau diri si.” Kataku sambil mendelik ke Radit.

Radit pun tertunduk dan merasa bersalah. Rasanya koq aku jadi ga tega ya ? Koq rasanya aku ini jahat sekali ? Dia kan sudah dengan tulus meminta maaf, terlalu berdosa sekali kalo aku tidak memaafkan. Tapi kan dia jahat ? Dia orang yang membuatku tak bisa mencium surga. Tiketku ke surga hilang ketika selaput daraku dia robek paksa. Apa orang seperti itu pantas aku maafkan ? Tapi apakah aku pantas menghukum dia dengan tak memaafkannya ?

Setelah berbasa basi, dokter pun pergi dengan meninggalkan pesan ke suster untuk mengurusku setelah infusku habis. Dan you know what ? Si bos dengan merasa tidak bersalahnya membelai belai rambutku di depan orang banyak. Digo dan Ramdan hanya terdiam di pojokan sambil terus menatap aneh atasanku. Rachel pun mengerutkan alisnya dan matanya tertuju tajam kepadaku seakan-akan bertanya ‘emang bener dia pacar lo ?’. Dan Radit, sepertinya dia merasa bersalah. Sangat merasa bersalah. Rasanya aku memang harus bicara sama Radit.

“Hmm, Rachel. Tolong bilangin yang lain dunk. Gw mo ngomong sama Radit berdua doank.”
“Heh ? Berdua doank ? Yakin kamu ? “ tanya si bos dengan nada resah
“Iyah. udah gapapa. Kalo ntar kenapa-kenapa, tinggal teriak.”

Setelah semua orang meninggalkanku berdua sama Radit. Radit, pria yang sudah sangat sukses menghancurkan hidupku dan menghancurkan hubunganku terhadap Tuhan dan juga sesama. Dia merupakan bajingan tengik yang kematiannya sangat aku harapkan dan hal itu selalu tertulis pada banyak lembaran di buku diaryku.

“Denger yah. Gw tak pernah mengharapkan sama sekali pembicaraan empat mata ini. Jadi tolong dipercepat. Mau lo apa ?” jelasku sambil menatap si bajingan itu penuh kebencian
“Sebelumnya gw mau tanya sama lo. Orang yang jadi atasan lo beneran pacar lo ?”
“Kenapa emang ? Bukan urusan lo!”
“Gw..sebenarnya gw mau minta maaf dari dulu. Cuma keberanian gw ga cukup buat nemuin lo, Di. Lo udah ngebangun tembok yang tinggi. Dan keberanian gw ga cukup buat masuk ke tembok pertahanan lo.”
“Aduhh lo bertele-tele bener si. Gw bilang percepat!!”
“Iyah, gw jelasin dulu, Di. Akhirnya gw lebih milih diem dan let it flow aja. Dan hasilnya gw akan menikah dalam waktu dekat. Pernikahan gw udah positif. Udah nentuin tanggal, tinggal persiapannya doang.”
“Lantas ?” tanyaku sambil mendelik.
“Gw kebayang lo terus. Tadinya gw fikir karena gw merasa bersalah sama lo. Hmm tapi kayaknya bukan.”
“Trus ?”
“Gw sayang sama lo. Rasa gw sama lo buat gw ragu buat nerusin pernikahan gw. Gw tau gw salah. Banget. Ngerusak hidup lo. Gw bersalah dan gw mau nebus itu semua. Gw ga akan nerusin pernikahan gw sepertinya.”

What the hell? Mendengar semua itu buat aku marah. Emosiku meluap menaiki otak, membuat semua syaraf otakku tak bisa berfikir.

“Gila lo yaaa ? Otak lo udah ga ada ya ? Dasar emang lo yah udah ** SENSOR **, selamanya emang ** SENSOR **.” Kataku seraya menarik urat

Semua orang langsung beralih kepadaku setelah mendengar teriakanku. Mereka semua langsung menahan tubuh dan tanganku.

“Ihhh lepasin. Biar gw pukul kepalanya, biar otaknya waras lagi.”
“Diar. Udah. Kamu kan lagi sakit. Lagi diinpus.” Kata digo mencoba menenangkan

Ramdan mencoba menahan kakiku, karena aku berusaha menendang Radit.

“Lepasinn…pergi lo cepet!!! Ihhh, gw benci banget sama lo. Pergi!!!” teriakku sambil terisak menangis
“Kak. Sabar kak. Jangan teriak-teriak. Ini rumah sakit, Kak.”
“Ihh ngapain lo ngebela dia? Biarin aja. Dia pikir ini sinetron apa. Hah, gampang banget bilang maaf. Trus mau balik lagi sama gw setelah dia nyakitin gw. Heh ? Emangnya gw masih punya rasa sama bajingan tengil kayak dia hah ? Ini bukan sinetron, it’s real. And he hurt me for real. Taii!!!” kesalku
“mending lo pergi aja, dit. Kasian Diar.” Kata si bos
“Iyah, Dit. Mending lo pergi aja deh. Diar belum tenang.” Lanjut Bian menarik tangan Radit keluar
“Gw pulang dulu. Nanti gw balik lagi. Maafin gw yah, Di.” Kata Radit berusaha teguh dengan pendiriannya
“Mati aja loo!!!” kataku emosi
“Udah. Diar nya masih belum bisa diajak ngomong. Lo pulang aja.” Jawab Titi tergesa-gesa
“Diar, tenang. Raditnya udah disuruh pergi. Lo yang sabar yah.”
“Diar, ngucap. Kamu harus sabar.” Lanjut Ramdan makin membuatku emosi

Aku pun terus berserapah, ingin rasanya aku lepaskan inpus ini dan menggampar wajah Radit yang sok minta dikasihani itu. Dan dipanggillah si dokter yang tak tau apa-apa. Dia pun menyuntikkan sesuatu di tanganku. Sepertinya obat bius, dan setelah beberapa menit aku pun tak sadarkan diri.

Kulihat diriku berada dalam taman. Terduduk. Bisa kulihat banyak orang mengelilingiku. Terdapat lingkaran bunga di kepalaku. Hmm, kulihat banyak anak kecil juga mengelilingiku. Aneh! Aku tak kenal mereka. Tapi rasanya tenang. Hanya berseling menit, kepalaku berganti rasa. Mau pecah!!! Aku tersadar, terbangun untuk suatu realita yang tidak diinginkan. Ada seorang yang tak asing tapi sangat tidak diharapkan hadir di tengah-tengah situasi ini. Bunda. Kehadirannya membuat rumit keadaan. Karena aku harus menceritakan kebohongan lagi dan lagi.

“Kamu udah sadar ?”
“Bun. Ngapain disini ?”
“Loh koq kamu nanya begitu ? Kamu itu pingsan, ga sadarkan diri. Wajar kalo bunda disini. Gimana sih kamu. Aneh-aneh aja.”
“Yang lain pada kemana ?”
“Rachel, Digo, Ramdan dan yang lain udah pulang duluan. Katanya kamu disuruh ngabarin kalo kamu udah sadar. Bunda disini gantian jaga. Kalo atasan kamu, tadi di luar, katanya nyari makanan sebentar.”
“Kapan aku boleh pulang ?”
“Tadi kata dokter. Kalo kamu sadar, infusnya udah habis. Kamu udah boleh pulang.”

Datanglah si bos dengan membawa dua bungkus makanan, terjadilah basa basi antar seorang ibu dan seorang atasan. Selesai mereka berdua menghabiskan makanan, tak terasa waktupun sudah beranjak ke pukul setengah 5 pagi. Bundaku pun pamit keluar sebentar untuk melakukan shalat shubuh. Tinggallah aku dan si bos berdua. Sibuk aku mengirimkan sms ke teman-teman. Mulai dari tiga sekawan, Rachel, sampe Digo dan Ramdan.

Dear All. Aku sudah sadar. Baru aja sadar. Thanks for your attention and care.

Sms sudah terkirim ke no mereka masing – masing.
Dan tiba-tiba ponselku berdering. Ada sms masuk, dari Bocah Muna rupanya. Setidaknya nama itu yang tertera di layar ponselku.

Haii, Di. Udah bangun ? Gimana kepala kamu ? Hmm, banyak yang mau aku tanyain ke kamu. Mungkin nanti kalo kamu udah baekan. Take care. Cepet sembuh.

Tak kugubris sms darinya. Males berurusan dengan dirinya. Sejak pertama kali aku bertemu dengannya, sudah tak suka diriku di dekatnya. Melihat aku yang sok sibuk sendiri dengan ponselku, akhirnya memunculkan inisiatif si bos untuk meluncurkan pertanyaan.

“udah bangun kamu ?”
“Udah, pusing banget ni kepala. Rasa mau pecah.”
“hmm, ntar pulang istirahat.”
“iya lah, masa kerja lagi.”
“galak banget si, Di. Masih kesel ?”
“masih lah, udah kesel, dibius pula. Tambah kesel.”
“yah abisnya kamu teriak-teriak di rumah sakit.”
“yah siapa suruh si bajingan itu mincing emosi.”
“yah tapi kan kamu harus jaga emosi.”
“yeee ini orang-orang bukannya ngebelain aku, malah mojokin terus. Setan yee.”
“tuh kan emosi lagi, sabar Di.”
“Ngaku-ngaku jadi pacar segala. Bikin tambah ruwet aja.”
“Yah tapi kan manjur, jadi pada diem. Ga pada berisik lagi.”
“Tapi kan saya jadi pingsan. Lagian bapak ngapain si dari kemaren sok perhatian gitu.”
“Kamu pingsan gara-gara saya ? Sok perhatian ? Siapa ? Saya ?”
“Iyah bapak. Ga pake yaa aku dijadiin ganjelan pintu gara-gara bapak baru putus.”
“Ganjelan pintu ? Saya ga ngerti.”
“Iyah ganjelan pintu. Pelampiasan.”
“Pelampiasan dari Amel, trus saya jadi ke kamu gitu ?”
“Iyah.” kataku sambil mebelalakkan mata
“Kenapa harus dari Amel ke kamu ? Kamu itu beda jauh dari Amel. Gimana bisa jadi pelampiasan ?”
“Yah mana saya tau. Bapak jangan jadinya malah tanya balik.”
“Saya perhatian sama kamu karena saya mau perhatian sama kamu bukan karena saya baru putus dari Amel.”
“Klise, bullshit.”

Kami berdua pun hanya terdiam dan lagi-lagi tidak bersuara. Tanpa mengerti maksud dari masing-masing hati. Setelah sisa infuse habis dan mengurusi segala tetek bengek administrasi rumah sakit. Aku, Bunda pun pulang diantar oleh si bos. Si bos pun langsung pulang dengan alasan masih banyak yang harus dikerjakan. Sebenarnya hari ini hari sabtu, hari libur tanpa hari kerja, mungkin itu hanya alasan agar tak berlama-lama di rumahku. Entah harus senang atau kesal. Sesampainya di rumah, Bunda pun langsung memasak dan anak-anaknya pun langsung menyantapnya. Rachel yang tadinya masih merungkut di tempat tidur pun langsung berlari kea rah meja makan. Lambungku yang sedari tadi sudah mengadakan konser tunggal tak tahan meski sudah diinfus sekian botol. Memang makanan adalah obat stress sementara. . Setelah habis disantap, Bunda menyuruhku istirahat di kamar dan tanpa kuperintah adikku langsung mengekoriku, menunggu bahan perbincangan sebelum aku tertidur.

“Kak, gimana masih pusing ?”
“Masih, minta dijedutin ni kepala.”
“Hmm, kemarin Kak Digo khawatir banget tuh. Trus si Ramdan nanya melulu soal Radit. Lama-lama si Ramdan jadi cerewet. Ilfil gw lama-lama.
“Bagus deh kalo lo ilfil ama bocah muna kayak dia. Otak lo udah mulai waras berarti.”
“Lo koq jahat banget si kak. Oia, dari kemaren Kak Digo khawatir banget sama lo. Trus kita jadi curhat-curhatan gitu tentang lo. Gw tau dia sayang banget sama lo, tapi gw ga pernah tau kalo sayangnya dia buat lo tuh besar banget. Lo kenapa si ga balikan aja sama dia.”
“Gw sama dia itu udah selesai Hel. Mo dipaksain juga gw udah ga bisa. Kami berdua udah selesai dan ga bisa pernah satu.”
“Iyah, tapi kenapa kak ? Lo sama dia kan masih bisa bareng. Toh alasan kalian berdua itu putus bukan karena orang lain kan. Karena diri lo sendiri.”
“Kalo aku bilang selesai yah selesai. Ga pake alasan. Digo juga udah tau soal itu. Soal dia masih sayang sama dia, lah itu urusan dia bukan urusan gw.”
“Jahat banget si lo kak. Dapet pria bener malah disia-siain. Bodoh lo. Sumpah lo bodoh!”
“Kenapa si lo ? Koq malah jadi marah-marah ?”
“Yah abisan lo, pria kayak dia tuh langka, lo tuh harusnya ngerasa beruntung.”
“Lo suka yah sama dia ?” tanyaku sambil mengernyitkan dahi
“Au ah gelap. Pusing gw ngurusin lo.”

Terpaku keheranan dengan tingkah adikku yang terkadang lebih membela orang lain daripada kakaknya sendiri. Males mandi. Kupendam semua rasa yang berkecamuk dan aku pun menarik selimut dan memilih untuk tidur. Terlelap tanpa ingin membuka mata. Tanpa kusadari sebuah sms pun masuk ke ponselku.

Haii, Diar cantik. Udah pulang dari rumah sakit yah ? Cepet sembuh ya. Kalo ada apa-apa, hubungi aku. Take care. Love you. Always and Still.

Masih terpaku pada Microsoft word. Kursor yang menari-nari diatas layar pun bergerak mencari sebuah file yang memang sedang dicari. Di sebuah salah satu drive, terdapat sebuah file bernama ‘Pembuangan Hati’. Dibukanya file itu, dan sudah menunjuk ke halaman 400an. Begitu banyak lembaran file ini, merujuk pada banyaknya kisah yang tertuang. Kisah dari si penulis yang mungkin tak pernah terungkapkan. Dibacanya kembali kisah terakhir. Kisah yang beberapa bulan ini sudah terukir dalam hati. Kisah yang dia hanya tuangkan disini tanpa pernah tertumpah kepada yang lain.

Dear.

Entah apa yang membuat lidahku kelu. Entah apa yang membuat suaraku tak bisa mengeluh. Aku nyaman dengan keadaan yang tidak seharusnya. Seharusnya jika kamu tidak disini, aku mengeluh, tapi diriku malah tak terfikir untuk itu. Aku malah berada di sisi yang lain. Seharusnya yang aku fikirkan, kamu yang seharusnya aku fikirkan. Aku malah memikirkan yang lain. Sungguh berbeda keduanya. Sungguh aku tak mengganti kamu dengan dia. kalian berbeda dan tak bisa saling mengganti. Kamu yang seharusnya bisa mengertiku, kamu yang malah mengakhiri. Dan dia, aku pun tak pernah terfikir akan menimang rasa terhadapnya. Dia, hanya kepuasan dunia semata. Menarik tapi tak bisa diikat. Terbang begitu bebasnya tanpa pembatas. Namun aku semakin ingin memilikinya. Semakin ingin terbang bersamanya tanpa memikirkan pembatas yang ada di sekelilingku. Aku, kamu, dan dirinya. Entah apa yang terjadi di antara kita. Belum ada yang bisa menjawab, yang aku tau, kamu sudah tinggalkanku dan merusak semua ikatan kita. Dia ? Dia, datang tanpa kuundang tapi kehadirannya selalu kurindukan. Zadiara Nona Putri memang tak kan bisa menggantikan seorang Amelia Agustine. Sayangnya Zadiara Nona Putri bisa membuat diriku lupa akan keberadaan seorang Amelia Agustine, membuatku tak pernah ingat kalau dulu aku dan kamu pernah bertunangan dan menggoreskan tinta pada kisah yang sama.

Ditutupnya lagi file itu, dan kembali dia bekerja di ruangan kantornya, bukan bekerja tepatnya di hari sabtu yang seharusnya diisi dengan kegiatan bersosialisasi di luar kantor, hanya mengeluarkan uneg-uneg dan mengatasi kejenuhan yang sudah menumpuk, dan tanpa sadar Amel pun sudah memasuki ruangan tersebut tanpa suara. Amel, wanita yang sudah mengisi hari-hari seorang Abi bertahun-tahun, sudah biasa mengendap ngendap memasuki ruang kerjanya dan mempretelinya.

“Abi.”
“Amel. Ngapain kamu disini ? Kapan kamu dateng ? Kamu bukannya harusnya udah ga di Indonesia lagi ?”
“Hmm, aku ga jadi berangkat.”
“Ga jadi berangkat ? Maksudnya ?”
“Aku ga jadi berangkat ke Jerman. Aku milih tetap disini.”
“Loh kenapa ?”
“Loh koq malah nanya kenapa ? Bukannya seneng malah nanya balik.”
“Hmm, yah ga kenapa-kenapa sih. Aku kaget aja. Koq bisa ?”
“Aku milih kamu, Bi.”
“Milih aku ? Bukannya kita udah selesai ?”
“Kan aku ga jadi berangkat, berarti masalahnya udah selesai.”
“Yah tapi kan kamu yang ngotot mau selesai.”
“Yah, aku tau aku salah. Aku minta maaf. Aku sekarang udah milih kamu.”
“Bukan hanya soal memaafkan dan dimaafkan, Mel. Ini soal commitment.” Jawabnya dengan nada tegas
“Tapi kan aku udah minta maaf. Masalahnya juga udah beres. Apalagi coba yang dipersoalkan.”
“Kamu. Kamu yang jadi persoalannya. Kamu bisa dengan mudah main-main sama commitment kita.”
“Huuf, bentar deh. Ini soal aku atau dia ?” tanyanya menunjuk meja kerjaku.

Meja kerjaku kosong, tak ada penghuni. Aku ? Aku sedang beristirahat di kamar tidurku dikarenakan kemarin hampir 10 jam aku tak sadarkan diri. Dan mejaku itu dengan pasrahnya ditunjuk oleh seorang Amel yang tiba-tiba melibatkan diriku ke dalam perseteruannya dengan tunangannya, hmm mantan tunangannya.

“Maksud kamu apa, Mel ? Koq jadi bawa-bawa dia ?”
“Ini bukan soal aku kan ? Ini soal dia.” Kembali Amel menunjuk ke meja kerjaku

Atasanku yang biasanya pintar menjawab, hanya terdiam tanpa mampu membalik kata.

“Aku kemaren kesini pas jam pulang. Kata sekretaris kamu, kamu nganter dia ke rumah sakit.”
“Trus ?”
“Katanya ada yang ribut di depan, trus kamu bilang kamu pacarnya dia.”
“Kata siapa?”
“Kata sekretaris kamu. Aku tau kamu bukan pacarnya Diar. Yah jelas bukan. Cuma masalahnya kenapa kamu sampe segitunya, sampe ngaku-ngaku pacar dia. Aku tau kamu, Bi. Kamu ga pernah ngurusin permasalahan orang, apalagi cuma bawahan.”
“Jangan percaya kata orang. Gosip.”
“Bukan masalah gosipnya, masalah kamunya.”
“Udahlah, Mel. Aku lagi kerja. Tolong kamu jangan ganggu aku dulu.”
“Aku ga pernah mengerti apa yang udah terjadi antara kamu dan dia. Tapi aku itu tunangan kamu. Dan dia cuma asisten kamu. Keputusan aku tetap, ga berubah, tetep di sisi kamu. Aku pulang.”

Rasa itu semakin berkecamuk di dadanya. Rasa khawatir akan rasa yang tak pernah ia kira akan berkembang. Sebenarnya dia pun tau, memang bukan soal Amel. Ini soal dirinya. Dia hanya mangatasnamakan Amel atas kegundahan hatinya. Dia tau dia salah, dia tau dia sendiri yang merusak semua commitment yang dibuat, meski Amel lah yang memutuskan tetapi dia sama sekali tak mau menggunakan kesempatan untuk kembali berkomitmen dengan tunangannya. Dia tak bisa mengelak dan sama sekali tak bisa memilih. Dia korban dari sebuah rasa dan sadisnya rasa itu tak pernah dia undang tapi selalu berbekas kehadirannya.

Terbangun kembali. Huuft kenapa aku harus terbangun kembali di malam hari setelah masalah yang datang menghampiri, sepertinya ringan tapi sangat berhasil merusak isi kepala dan hati. Sabtu malam, seharusnya diisi dengan gelak tawa setelah lima hari berkerja tanpa henti. Rutinitas yang selalu kujalani sesaat setelah mataku terbangun dari tidur.

Mengecek ponsel. Sudah kubaca sms dari seorang Digo. Digo ? Entah apa yang bisa aku deskripsikan tentangnya setelah banyak hal terjadi pada diriku. Dia, pria yang dulu pernah bernaung di dalam hatiku, mungkin sampai sekarang masih berbekas manis tapi diriku terasa tak punya daya untuk melanjutkan rasa dalam bentuk nyata. Sudah hampa. Hampa tak berasa. Hanya terkenang dan selalu terkenang tanpa ingin kuwujudkan.

Ternyata ponselku dipenuhi oleh sms-sms dari Titi yang mengatasnamakan tiga sekawan dan Ramdan. Hell yeah, Ramdan.

Diar, gimana keadaan ? Are you all right ? Besok ada acara di club yang biasa, ikutann yukk cin, daripada lo tua di kamar, mending jalan aja yukk. Soal nyokap lo, bilang aja nginep di rumah gw, ntar gw yang ijinin. Bilang aja acara kantor. Hihihihi, ditunggu confirmnya. Baii. ‘Tiga sekawan’

Sms selanjutnya dari seorang bocah muna, you know lah who. Bibirku agak tersungging membacanya.

Malam. Hmm, ada waktu malem ini ? Gw mau ngajakin lo keluar makan malem. Ada yang mau gw tanyain.

Lumayan lama untuk diriku memutuskannya. Aku butuh Rachel. Kudatangi Rachel yang sedang stuck di meja makan, sedang mencari-cari cemilan.

“Rachel, Si bocah muna ngajakin makan malem. Gimana ni ? Ladenin apa nggak ?”
“Hmm, ladenin aja kak. Lumayan..makan malem gratis.”
“Jaaah, ade ape lo ? Tumben, biasanya lo ga rela gitu kalo gw sama Ramdan. Punya gebetan baru lo ya ? Siapa ? Digo ya ?”
“Ihhh, apaan si lo ? Mau tau aja. Gw ilfil ama tuh bocah. Gw liat dia di tempat clubbing.”
“Sssstttt..jangan kenceng-kenceng ngomongin clubbing. Digorok bunda lho ntar.”
“Iyeh iyeh, ibu lagi pergi juga, ke rumah uwak. Eh tapi gw beneran lho, gw ilfil sama dia.”
“Tuh kan apa gw bilang. Emang dasar dia bocah muna. Lo liat dengan mata kepala lo sendiri ?”
“Iyah, gw liat. Yah meskipun jauh sii. Penerangan juga lagi ga bagus. Cuma gw yakin koq itu dia. Mantan gebetan gw, yah masa iyah gw salah.”
“Kapan lo clubbingnya ? Kan ada bunda ? Koq bisa cabut ?”
“Yee, Rabu kemarenn. Lo sii stress jadi ga sadar diri. Hahahahah, gw bilangnya ada reunian trus pulangnya kemaleman. Jadi nginep di tempat temen. Eh bunda kan mau balik tau besok.”
“Koq lo langsung bilang ke gw ngeliat si Ramdan ? Bunda mau pulang besokk ? Asiik bisa ikut clubbing sama tiga sekawan kalo begitu. ”
“Yaaah gw pikir lo mana peduli soal tuh bocah. Lagian gw liat lo akhir” ini stress, liat aja tuh muka lo, tambah tua. Iyah, kata Bunda tadi. Kayaknya gara-gara dia pikir lo sama si Ramdan udah lumayan akrab. Eh, clubbing ? Ikut dunk.” Dengan gayanya Rachel yang super hebohh sendiri
“yeee gw sih stress tetep cantik, emangnya lo. Sial, darimana gw akrabnya. Iyah, tinggal ikut si. Eh jadi gimana ni ? Gw iyain apa nggak ni si Bomun ?”
“Apaan tuh Bomun ?”
“Bocah Muna. .”
“Iyain aja, lo kulik kulik dah tuh soal dia. Kalo sampe kita nangkep basah tuh cowo lagi ngebadung, gw mau mencak-mencak.”
“Ngapain lo mencak-mencak ?”
“Yee, dulu kan dia nolak gw gara-gara gw badung. Eh taunya dia sendiri begitu. Ihhh, gw sebel.”
“Ihh najis luh kayak ababil.”
“Biarinn. . udah sana lo siap-siap ketemu Bomun.”

Sampe akhirnya atas pertimbangan dari Rachel, aku pun mengiyakan ajakannya.

Hmm. Makan malem ya ? Boleh deh. Tapi jangan kemaleman!!! Jemput setengah jam lagi. Gw mau mandi dulu.

Setelah bersiap-siap mandi, aku memilih memakai pakaian sangat santai untuk makan malam kali ini. Kalo kalian tanya, aku niat apa nggak buat makan malem. Jawabannya yah ga niat sama sekali. . Dengan sangat malas, aku menyusuri kamar dan beralih ke ruang tamu, sudah ada Ramdan disitu dengan setelan pakaiannya yang rapi. Haduuh, hari ini kupermalukan dirimu. Dilihatnya diriku hanya dengan kaos belel dan celana jeans compang camping, rambut terurai tak disisir, serta muka yang seadanya, dahinya langsung mengernyit seakan tak percaya akan pemandangan yang dilihatnya.

“Kamu ? Santai banget.”
“Loh cuma makan sama kamu kan ? ngapain rapi-rapi.”
“Ohh ya udah deh, tau gitu aku santai aja tadi.”
“Lah siapa yang nyuruh rapi ?”
“Kita berangkat sekarang yuuk takut kemaleman.”
“Hayuuk.”

Melaju diriku dan dirinya ke sebuah restoran sushi di Jakarta. Kami tak banyak berbicara, apalagi aku yang sejak tadi hanya autis memegang ponsel. Setelah berbasa basi memesan makanan, akhirnya Ramdan pun meluncurkan pertanyaan yang semenjak tadi dia simpan.

“Gimana keadaan kamu ?”
“Baik.”
“Hoo, hmm ada yang mau aku tanyain sama kamu ?”
“Apa ?”
“Radit itu siapa ?”
“Bukan siapa-siapa.”
“Dulu pernah punya hubungan ?”
“Pernah.”
“Trus kenapa kamu bisa emosi banget sama dia ?”
“Kenapa kau kepengen tau ?”
“Pengen tau apa yang sedang terjadi dan sudah terjadi di hidup kamu.”
“Penting ?”
“Penting.”
“Alasannya ?”
“Kamu keberatan menjawab ?”
“Hmm, iyah. Tergantung alasannya.”
“Aku disuruh Bunda kamu jagain kamu. Sekarang, gimana saya bisa jagain kamu kalo aku ga ngerti apa-apa tentang kamu.”
“Aduuh, kenapa jadi pake aku kamu si. Jijik ah gw. Emang lo dah dapet ijin dari gw ?”
“Hmm, kan udah dapet dari Bunda.”
“Mau lo tuh apa si ? Pengen tau banget urusan orang.”
“Dia pernah nyakitin lo ?”
“Pernah.”
“Nyakitin apa ?”
“Bukan urusan lo. Udah ah gw bête ni, balik aja deh gw.”
“Yahh jangan balik dunk. Makanannya belum dateng, masa udah mau balik.”
“Gw bete dengerin lo bahas-bahas ginian. Siapa lo ? Hidup gw yah hidup gw, hidup lo yah hidup lo.”
“Iyah. iyah. duduk lagi deh. Sayang sushinya ntar siapa yang makan.”
“Makanya lo jangan bawel.”
“Iyah. udah ah duduk lagi.”

Makanan yang ditunggu-tunggu pun datang. Sashimi dan sushi. Hmm yummy, makanan terbaik sepanjang masa. Wuihh, suasana pun mencair karena makanan sudah tersaji. Dasar yah emang, leleh diriku kalo soal makan. Di tengah-tengah perbincangan kami soal makanan, mulutku pun tak sengaja berceloteh dengan gamblangnya.

“Eh, Ram. Lo pernah nolak adik gw ya ?”
Masih kuingat ekspresi mukanya waktu itu, makanan yang ada di mulutnya seperti ingin dia muntahkan.
“Iyah.”
“Kenapa lo tolak Rachel ?”
“Hmm, alasan pribadi.”
“Iyah apa alasannya ?” tanyaku menyudutkan
“Hmm, dia bukan wanita baik-baik.”
“Gw juga bukan wanita baik-baik.”
“Iyah sih. Entah deh.”
“Ga masuk alasan lo nolak Rachel.”
“Loh wajar kan aku cari yang baik.”
“Gw bukan orang baik. Jadi tolong bilang Bunda, batalin aja deh jodoh-jodohannya.”
“Kamu kenapa si Di ? Kayaknya dari tadi mojokin aku banget ?”
“Ihh siapa yang mojokin, kenyataan. Lo nolak Rachel, harusnya lo nolak gw juga dunk. Kita berdua tuh sama kelakuannya.”
“Udah ah ga usah dibahas, kita makan aja. Masih mau nambah dessert ga ?"
“Mau. Gw mau makan es krim.” Jawabku dengan lugunya

Akhirnya perbincangan kami setelahnya hanya berkutat seputar makanan dan tempat makan. Ramdan terkesan menghindari perbincangan soal Rachel. Aku pun semakin penasaran dan dia sudah masuk daftar blacklistku. Ramdan, seorang pria yang bawel, tidak menarik, dan selalu ingin tahu urusan orang. Parah!!! Tak ada yang menarik dari pria ini.

Kami pun melaju dari restoran sushi ke sebuah pom bensin tengah kota. Seperti biasa, diriku yang sering sekali kebelet buang air kecil kalau sedang di jalan memaksa Ramdan untuk berhenti sejenak di pom bensin terdekat. Dia pun parkir di sudut dekat toilet, depan circle K. Aku pun langsung berlari bergegas menuju toilet, dan melakukan proses buang air kecil, atau lebih sering kusebut pipis dengan lancar.

Ketika kurapikan diri dan keluar dari toilet, kulihat ada seorang wanita yang sedang berbicara serius dengan Ramdan. Siapa yah dia ? Aku sengaja tidak langsung menghampiri. Hmm dari cara mereka berbicara, kelihatan sekali ini bukan sekedar basi basi obrolan sederhana, mereka berbicara serius dengan tingkat obrolan yang tidak simple. Kuamati dengan seksama, terlihat sekali kalo Ramdan seakan-akan ingin dengan cepat mengakhiri pembicaraan mereka, dan sang wanita dengan tegas mendesaknya. Pertanyaan yang langsung mengambang di otakku, mereka punya hubungan apa ? Bukannya aku merasa tersisihkan. Of course, sama sekali tidak. Aku hanya ingin tau. Loh koq aku jadi sok tau ? Loh koq aku jadi bertingkah yang sama dengan apa yang dilakukan Ramdan. Well, maksud aku mengulik tentang kehidupan Ramdan itu karena aku harus punya pembelaan yang kuat di depan Bunda kenapa aku tidak mau djodohkan dengan Si Bocah Muna itu. Dan aku juga harus punya kartu As pria itu agar dia mau membatalkan perjodohan ini, jadi kan aku tak perlu repot-repot menjelaskan kepada Bunda. Licik yah otakku. Huuf, terkadang kita memang harus licik di dunia yang serba licik. Cuma orang licik yang bisa bertahan di dunia yang picik. .

Aku pun langsung mengambil inisiatif untuk menghampiri mereka. Melihatku, Ramdan terlihat kaget sekali, beda dengan ekspresi sang wanita yang sepertinya penasaran setengah mati. Bisa kudengar pembicaraan mereka.

“Itu siapa kamu ? Kamu koq tega banget si sama aku ?”
“Bukan siapa-siapa. Aku harus pergi. Besok aja ketemu lagi.”
“Susah banget sih cuma mau nemuin kamu doank ? Sekarang, giliran ga sengaja ketemu, kamu malah sama wanita lain. Kamu ga kasian apa sama aku ?”

Mendengar percakapan mereka yang semakin serius, aku memilih untuk masuk mobil.

“Hmm, gw di mobil aja deh. Lo berdua kalo mau ngobrol. Ngobrol aja dulu.”

Mereka pun kembali ke pembicaraan serius di tengah-tengah hilir mudik kendaraan yang mau mengisi bensin. Sampai akhirnya mereka berdua pun terlihat berpisah dengan muka yang sangat tidak menyenangkan. Sang wanita memasuki mobil miliknya, dan Ramdan juga masuk ke dalam mobil. Otakku berusaha mencerna, mencari celah kemungkinan diriku bisa bertanya, hmm rasanya tak mungkin, harus mengulik sendiri nih tanpa bertanya. Setelah kejadian tadi, pembicaraan terputus seketika. Diriku sendiri tak berani memulai percakapan, kami mengunci mulut kami sampai mobilnya terparkir di depan rumah. Setelah berpamitan dengan Bunda yang sudah pulang sedari tadi, dia pun pulang.

“Rachel mana, Bun ?”
“Di kamar sii dari tadi, kayaknya lagi nulis-nulis, ga tau nulis apaan.”
“Bunda besok mau pulang ?”
“Iyaah, kasian papa kamu disana. Lagian Bunda liat kamu udah akrab sama Ramdan.”
“Yeee, sotoy deh ah si Bunda. Ngapain si Bun jodoh-jodohin anaknya segala. Aku tuh bisa cari sendiri tau. ”
“Huuu, bunda ga pernah liat tuh kamu bawa cowo selain Digo. Bunda tuh khawatir. Anak cewe bunda koq belum punya pasangan serius, padahal umur kamu kan udah hampir 25.”
“Yeee, ga ngaruh kali sama umur.”
“Kamu ga lesbi kan ?”
“Yah nggak lah. Apaan si bun, anak sendiri dituduh lesbi. Aku normal tauuu.”
“Heheheh, kirain. Kan bunda nanya doank.”
“Aku mau ke Rachel ahh. ”

Bergegas aku dengan cepat ke kamar Rachel. Tanpa mengetuk pintu, aku langsung masuk ke kamar Rachel.

“Rachel….”
“Eh, dasar lo ngagetin aja. Ga sopannn!!!”
“Lagi ngapain lo ?”
“Ihh sana ah, jangan liat-liat. Dasar lo!”
“Ihh lagi ngapain si ? Curcol lo yaaa ??”
“Mauu tauuu aja.” Rachel dengan raut mukanya yang menyebalkan
“Eh eh, gw mau cerita nii.”
“Cerita apa ? Ramdan ya ?”
“Iyah.”
“Dia nanya-nanya Radit deh pasti.”
“Bener banget, gw udah kesel banget tuh tadi. Udah mau pulang. Untung makannya sushi.”
“Dasar lo ah, lumer deh kalo sama sushi. Trus apa lagi ceritanya.”
“Oh iya, tadi kan gw kebelet pipis tuh di pombensin…”
“Yah lo mah kebiasaan banget sii. Bikin malu gw lo mah.”
“Yee dengerin dulu bloon. Ada cewe, kayaknya sii entah papasan, entah sengaja nemuin. Mereka berdua ngomong gitu, kayaknya sii dari raut mukanya serius.”
“Siapa tuh ? Cewenya kali ?”
“I think so. Gw kan abis dari toilet trus langsung nyamperin ke arah mobil. Cuma gw pikir kalo gw di luar, gw kayak nguping. Padahal emang bener sii gw mau nguping. Hahahahaha.”
“Cumii, gila lo ah.”
“Yeee abisan kan emang bener. Akhirnya gw masuk mobil tuh. Tapi masih denger gw, mereka kenceng si ngobrolnya. Agak emosi gitu. Dari omongannya sih, jelas banget mereka punya hubungan.”
“Ah serius lo ?”
“Iyah, serius. Kenapa lo ? Cemburu ya ?”
“Ihh sapa juga yang cemburu. Kalo dia punya cewe, nah lo gimana ??”
“Yee, gw malah bersyukur. Jadi kan gw ga jadi dijodohin sama dia. Gw harus dapetin kartu As dia. Gimana yah caranya ?”
“Hmm, lo kulik aja dari dia ?”
“Ahh ogah gw, ntar gw dikira sok tau lagi. Pengen tau urusan orang. Gengsi gw, gw kan ngomelin dia mulu gara-gara dia pengen tau urusan orang.”
“Hahahahha, masih punya malu toh. Ya trus gimana dunk ?”
“Hmm, oia kayaknya cewenya sii bukan cewe baik-baik juga deh.”
“Sotoy deh tau darimana lo ?”
“Iyaah, dari pakaiannya minimalis. Yahh, lo tau lah, pasti doyan clubbing.”
“Hmm, emang cewenya pake apa ?”
“Pake mini halter neck.”
“Hmm kayaknya sih tuh cewe ga jauh beda sama kita. Yahh emang bener dah namanya, Bocah Muna.”
“Dasar Bomun!!! Sebel gw sama dia. Eh lo koq ga sedih lagi sii soal dia. Ada rasa lo yaa sama Digo ?? Bilang ah. .”
“Ihhh gitu deh, apaan sih kak. Jangan aneh-aneh deh.”
“Heheheh, bener yah. Muka lo merahh tuh.”
“Sotoy dehh, udah ah apaan si. Wong Digo sayang sama lo juga. Punya lo lah dia.”
“Haahaha, dasar nih si eneng. Udah lalu biarlah berlalu. Eh, udah deh ngaku aja, ntar gw kasitau tricknya.”
“Jaah pake trick segala. Belagu luu.”
“Yeee, seriuss ni gw.”
“Emang apaan tricknya ?”
“Pengen tau kan lo ?? Ngaku dulu suka. Heheheh.”
“Udah deh kasih tau aja.”
“Iyahhh, traktir tapi yaa..Sushi. Heheheh…”
“Cumii, udah ah cepetan kasitau.”
“Hmm, Digo itu tipe pria yang melindungi sekali. Jadi dia tuh luluh sama cewe-cewe lemah. Biasanya sih gitu. Makanya lo kalo di depan dia, ga usah sok kuat. Ntar dia ilfil sama lo. Hihihihi.”
“Hoo gituu, coba ah tricknya.”
“Well, ada yang beralih hati nii. Dari Bomun, eh ke Digo. .”
“Ihh, ssst diem-diem aja lo ah.”

Begitulah perbincangan kami di sabtu malam. Setelah puas berbincang, kami pun bersiap-siap untuk menarik selimut dan pergi tidur. Semoga besok indah.

Pagi kecil. Bangun trus cepetan mandi. Aku jemput pagi ini, kemaren kamu kan janji ngajarin aku ngaji. Malahan ga ada kabar. Jadi sekarang kamu mandi, trus aku pinjem seharian.

Taraaaa, ini mimpi apa bukan si ?? Si bos ngapain sms sok akrab begini. Hiiii, merinding jadinya. Lagi kesurupan kali nih. Bangun tidur langsung aku cek ponsel, eh ada sms dari si bos. Biasanya kan dia sms soal kerjaan, koq jadi baik hati begini ? Yang lebih anehnya lagi, setengah tak percaya kakiku sudah berlari ke kamar Rachel. Mencari-cari adikku yang memang hanya satu.

“Rachel..rachel..banguun.” kataku sambil mendorong dorong badan Rachel.
“Apaan sih kak ? ganggu aja. Masih ngantuk ni, gw tadi udah solat shubuh. Jadi gw mau tidur lagi.”
“Bukan itu…cepet banguun. Baca deh sms gw.”
“Aduuh, ganggu aja deh lo ah. Awas yah kalo ga penting!”

Kuberikan ponsel kramatku ke Rachel, kutunjukkan sms dari si bos. Damn, reaksi dia biasa aja dong. Padahal aku berharap reaksinya luar biasa.

“Kenapa emang sama ni sms ?”
“Jahh, lo liat dunk siapa yang ngirim. Bos gw !!!”
“Nah trus kenapa deh ? Ada yang salah gitu ?”
“Yah aneh dunk say. Biasanya kan di otak dia cuma kerjaan. Ini sms sok manis begini.”
“Jahhh, kenapa lo yang heboh dah.”
“Siapa yang heboh ? Gw ? Nggak biasa aja.”
“Koq sampe bangunin gw segala. Hoooo, suka lo yaaaaaa ? Ada rasa yaaa ?”
“Ihhhh sudi gw sama dia. Dia tuh udah punya tunangan. Namanya Amel. Tapi kemaren ini sempet putus. Tau deh udah balikan lagi apa belum.”
“Kepengen tuh mereka ga balikan lagi. .”
“Emangnya gw sejahat itu apa ?”
“Yahh emang lo jahat kan ? Hehehehe, udah ah gw mau tidur lagi.”
“Eh jangan tidur dulu. Gimana nih gw ? Siap-siap ?”
“Siap-siap ? Apaan sih ? Ga ngerti nih gw.”
“Siap siap mau dijemput, dudul. Gimana ni ?”
“Ohhhh kepengen toh dijemput. Ya udah gih mandi. Buruan. Jangan ganggu gw yaks. Ngantuk ni.”
“Huu dasar!!!”

Entah ada angin apa, aku langsung mengambil handuk dan bergirang ria di kamar mandi. Loh koq aku girang ? Girang ? Gara-gara dihubungi si bos ? Gara-gara mau pergi sama si bos ? Sudah ada rasakah ? ‘Glek’. Amel. Tiba-tiba di otakku teringat Amel. Bagaimana dengan Amel. Arteri di tubuhku terasa buntu. Terasa sekali aku menjadi iblis di tengah mereka berdua. Iblis ? Aku kan hanya menghasut, tidak memisahkan. Loh itu jahat kan ? Kalo aku yang jadi Amel, aku pasti tak rela. Kembali berfikir ulang, arrgh yang penting hari ini jalani dulu. Soal Amel, lihat takdir lah. .

Hmm, sudah setengah jam lebih aku di kamar mandi. Setelah merasa kedinginan, akhirnya aku keluar dan mulai memilih-milih pakaian. Aku memilih menggunakan dress kemben berwarna berwarna pink dan jaket kulit berwarna hitam. Cihuui, sambil menghadap kaca, aku memoles sedemikian rupa, dan selesai. Ternyata, si bos sudah datang dan menunggu di ruang tamu. Well, aku tak sadar ternyata daritadi kamarku sudah diketok-ketok Bunda. :.

Keluarlah aku dengan anggunnya, dan taraaaa. ‘Glek’. Amel ? Kenapa dia ada di ruang tamuku ? Ingin rasanya aku berteriak keheranan. Tapi ekpresi muka rasanya harus tetap dijaga.

“Haii..berdua toh. Silahkan diminum sirupnya! Bentar yah, aku pakai sepatu dulu.”

Setelah beres merapikan diri, aku pamitan kepada Bunda. Kami berdua pun berpamitan cukup lama, karena malam ini Bunda akan pulang ke Palembang. Karena aku takut tidak keburu pulang, jadi pamitannya sekarang aja.

“Bunda, aku pergi dulu ya. Ati ati yah ntar pulangnya. Kabarin kalo udah sampe sana.”
“Iyah, kamu juga yah ati-ati disini, jagain tuh adik kamu. Jangan suka pulang malem.”
“Hmm iyah, nanti aku awasin terus dia. Heheheheh. Bunda dianter Rachel kan ke bandara ?”
“Iyaah, ntar biar Rachel sama uwak yang nganter Bunda ke bandara.”
“Ohh ya udah, aku pergi dulu yah Bun.” Kataku sambil cupika cupiki pipi bunda.
“Rachel, ntar kalo ada apa”, kabarin.” Lanjutku ke Rachel
“Iyeeeh, udah cepet lo ah pergi, masih ngantuk nii.”
“Ehh, Rachel, kamu ga boleh gitu sama kakak kamu. Dia kan mau pergi.” Kata Bunda mengomeli Rachel

Setelah itu, Si bos dan Amel pun pamit, dan sekarang kami sudah ada di dalam camry hitam. Entah aku mau dibawa kemana. Aku pun tak punya keinginan untuk bertanya. Sudah setengah hati aku pergi. Amel di kursi depan dan aku di kursi belakang. Aku pun mencari pelampiasan. Kuambil ipod putihku, kunyalakan, dan kudengarkan dan kunaikkan volumenya. Sambil memegang ponselku, iseng aku kirimkan sms ke tiga sekawan.

Haii All, pagi ini pada kemana ? Guess where I am ? Di mobil camry hitamnya si bos bersama dia dan tunangannya, Amel. Suck!!! Jalan aja yuuk. Sekalian ntar malem berangkat bareng ke club.

Sms terkirim ke tiga sekawan. Balesan pun datang. Titi.

Hmm, kita lagi sama Bian di apartemennya. She is crying. Ga tau ni, dia ga mau cerita. Lo kesini dunk. Siapa tau sama lo dia mau cerita. Kita pada bingung ni.

Hah ? Bian menangis ? Kenapa ? Ada masalah kah ? Kayaknya hari jumat, bae-bae aja. Aduuh gimana ni. Mau kesana, tapi lagi sama si Bos, ada Amel pula.

Aku ga enak kalo kesana sekarang, udah diboyong nih gw. Hmm siangan deh gw kesana, kira kira urusan beres, gw langsung melaju kesana. Tungguin yaa. Suruh tidur aja dulu. Hmm, dia lagi ada masalah ga sama Bobby ?

Aduh, kepengen liat Bian. Hmm, aku tanyain aja deh ni sebenernya mau kemana sih.

“Hmm, bos. Sebenarnya kita mau kemana yah ?” tanyaku ke si bos.
“Kita mau belajar ngaji. Bukannya kamu mau ngajarin ngaji ?” kata si Amel main potong
“Ohh, belajar ngajinya dimana ?”
“Di rumah Abi.” Lanjut Amel
“Ohhh gitu.” Kataku agak gondok melihat tingkah Amel
“Emang kenapa, Di ? Kamu ada acara ?” tanya si bos
“Hmm, aku mau ke tempat Bian. Anak-anak pada disana. Ada urusan.”
“Ohh, ya udah, abis ngaji, kita kesana.” Jawab si bos
“Lohh kita ikut ke sana ? Ngapain ?” tanya Amel seperti tak mau kalah
“Yahh, sekalian aja nganter Diar, dia kan ga bawa mobil.” Jawab si bos tegas

Amel pun terdiam. Sepertinya hatinya sedang berkecamuk, ekpresi mukanya seperti mau menelan tubuhku utuh. Entah kenapa aku merasakan aura persaingan. Padahal kan diriku tak pernah merasa bersaing. Yeaah, dia yang merasa tersaingi. Setelah lama berdiam diri dalam mobil. Akhirnya sampai pula di rumah si bos.

Ponselku pun didatangi sms dari Titi kembali.

Ga tau ni, bocahnya ga mau ngomong sama sekali. Cuma nangis doank. Ya udah, lo usahain cepet yah. Kasian nih dia. Kita tungguin.

Sepertinya masalah serius, setau aku sih begitu. Kalo Bian sampai menangis, berarti ada yang salah. Dia tipe orang yang jarang menangis kecuali masalahnya sudah tidak bisa dia tangani sendiri. Di rumah si Bos pun, sudah tersuguhi makanan kecil dan minuman kaleng. Dan aku sudah disuguhi suguhan menarik, pemandangan antara Amel dan si bos. Haiih, sialan. Ini terlihat seperti seorang wanita yang dengan sepenuh tenaga berusaha menarik perhatian sang pria. Tapi sang pria tidak meladeni sama sekali. Mereka udah balikan ? Ah bukan urusan aku. Tapi aku kesal. Kenapa hari ini ada harus ada Amel sih ? Sumpah, aku muak. Aku, Diar, sangat tidak suka sekali kalah, kalah dalam persaingan, meskipun aku pun tak tau tujuan sebenarnya dari persaingan itu sendiri, meskipun aku tak tau apa yang diperebutkan, meskipun aku juga tak terlalu ingin dengan apa yang diperebutkan, tapi aku suka dengan kemenangan.

Kira-kira setengah jam kemudian, aku berinisiatif untuk memulai ritual mengaji. Ambil wudhu terlebih dahulu dan aku pun mengambil mukena yang memang disediakan oleh si bos untukku karena aku memintanya. Tak sopan rasanya jika mengaji dengan pakaian terbuka aurat.

“Loh kamu ngapain, Di ?”
“Mau ambil wudhu.”
“Emang mau shalat ?”
“Lah kan mau ngaji, harus ambil wudhu dulu lah.”
“Oooh, gitu. Ya udah aku ikutan deh ambil wudhu.”

Setelah kami bertiga mengambil wudhu, berpindahlah kami ke satu ruangan yang terlihat sangat jarang sekali dipakai. Seperti mushola, tapi tercium sekali bau debunya. Ada beberapa sajadah disana yang sudah dibentangkan, lalu ada juga karpet yang melapisi lantainya. Dan ditengah-tengahnya ada 2 meja kotak berkaki rendah. Kami bertiga duduk di karpet itu dengan masing-masing sudah memegang Al-quran. Aku pun memulai pelajaran mengaji tersebut dengan mengucapkan basmalah. Tak kusangka mereka berdua belum terlalu hapal huruf-huruf hijaiyah. Akhirnya aku mengajari mereka benar-benar ilmu dasar, seperti layaknya belajar iqro.

Tak terasa, sudah hampir dua jam berlalu, waktupun sudah siang. Sudah jam 1an. Bibi pun datang dan bilang kalau makan siang sudah tersedia, kami bertiga pun makan. Yang terlihat sibuk berbicara hanya Amel. Aku berasa seperti nyamuk yang sedang menaungi mereka. Lambungku menolak makanan yang sudah tersaji di meja makan, mulut ini seperti tak mau menelan. Makanan yang masuk pun jadi seadanya.

“Diar, kamu koq makannya cuma sedikit ? Ga suka yah sama makanannya ?”
“Hmm, suka koq. Emang lagi ga bisa makan banyak.”
“Masih sakit yah ?”
“Mungkin. Hmm, saya abis ini mau langsung pamit yah. Mau ke tempat Bian.”
“Ohh, ya udah ntar saya anterin kesana.”
“Ga usah, pak. Saya naik taksi aja.” Jawabku sambil tersenyum kecut melihat muka Amel.
“Hmm, ya udah kalo nggak, kita anterin dia aja, Bi. Diar kan udah ngajarin ngaji, gapapa. Ga usah malu-malu. Nanti pulang dari sana sekalian kita jalan, Bi.”

Si bos pun hanya terdiam mendengar semua ocehan Amel.

“Ga usah, pak. Saya biar naik taksi aja. Tadi saya sudah pesen taksi koq.”

Setelah selesai makan siang, aku pun mengambil wudhu kembali, shalat zuhur. Setelah itu, aku pun langsung merapikan diri dan barang-barang karena taksi yang kupesan sudah datang.

“Hmm, pak. Aku pulang dulu yaa. Taksinya udah dateng.”
“Bener ni, kamu ga mau aku anter ?”
“Iyah, gapapa. Naek taksi aja saya pak. Makasii yah semua makan siangnya.”
“Oia, hati-hati kamu, Di.” Sahut Amel
“Iyah. Makasii Mel. Pak. Semua, duluan yaah.”

Kulaju diriku ke dalam taksi. Bergegaslah sang supir taksi ke daerah yang aku sebutkan. Tujuan selanjutnya, apartemen Bian.

Ti, Tha, gw lagi di jalan kesana. Lo semua masih disana kan ? Setengah jam lagi gw sampe kayaknya.

Terkirim smsku ke Titi dan Bitha. Dan balasan pun langsung aku terima, Bitha.

Kita masih disini. Bian ga mau tidur. Ya udah kita tungguin deh.

Sekitar setengah jam setelahnya, aku pun sampai di pelataran parkir apartemen Bian. Kubayar taksi yang mengantarku, langsung diriku menuju kamar dimana Bian tinggal. Kuketuk pintunya, ada Titi yang membukakan pintu.

“Haii, mana Bian ?” kataku to the point
“Ada tuh say di kamar. Sesengukan, abis nangis.”
“Dia ga mau ngomong sama sekali ?”
“Nggak, gw udah worry banget. Mukanya itu udah pucet.”

Kutuju kamarnya, dan kulihat Bian sedang bersender di bawah tempat tidurnya dengan muka pucat dan mata yang sudah basah didera air mata.

“Lo kenapa ? Cerita yah sama kita.”

Mendengar pertanyaan dariku, Bian malah tambah menangis. Nafas yang putus-putus dan air mata yang terus menerus mengalir.

“Lo kenapa si ? Ada masalah sama Bobby ?”

Kembali Bian menggeleng.

“Ya udah cerita ada apa ?” tanyaku dengan nada yang meninggi.

Akhirnya Bian mengucapkan satu kata.

“Hamil.” Hanya kata-kata itu yang terucap
“Hamil ? Siapa ?”
“Gw hamiil.” Jawabnya mempertegas setiap pertanyaan kami.

Air matanya kembali keluar dari matanya yang sudah kelelahan.
Kelelahan bersedih, tampak ingin istirahat.

“Lo hamil ? Serius ? Sama siapa ?” Titi pun tak sabar langsung mengeluarkan pertanyaan bertubi
“Sama Bobby ?” Lanjut Bitha
“Bukannn, Doni.” Kembali dia menyebutkan sesuatu yang membuat kita bertiga kebingungan
“Doni ? Doni mana ?” tanyaku merasa tak kenal baik dengan nama ini.
“Donii….” Kembali Bian sesengukan “Doni, client kita yang dulu. Yang pernah dateng ke kantor.”
“Hah, Doni yang tinggi berisi dulu, yang rambutnya klimis itu ?” Bitha langsung melesat dengan pertanyaan fisik
“Iyaa. “ jelas Bian.
“Bentar deh, lo yakin itu anak Doni, bukan Bobby ?” tanyaku
“Ga tauu, gw bingung. Mumet banget otak gw. “ kata Bian kembali dengan menangis
“Bobby dah tau ?” tanya titi
“Yaa belum lah, makanya gw depresi berat.”
“Perasaan jumat lo belum depresi deh.” Kataku kalau tak salah ingat
“Iyaah, gw kira gw cuma telat menstruasi doank, tapi koq udah kelamaan, gw cek akhirnya tadi pagi. Eh garisnya dua, gw positif. Gimana dunk ? Aduuh. Sakit kepala gw.”
“Lo terakhir ML sama Bobby kapan ?” tanyaku meneliti
“Kemaren. Yah pokoknya sesering Bobby maen ke sini, sesering itu lah gw have a sex sama dia.”
“Emang lo ga pake kondom ?” tanya Bitha
“Aduuh, Tha. Lo kan tau, kita-kita tuh mana pernah pake kondom. Kalian juga kan begitu.”
“Kayaknya kita udah harus mulai biasakan membawa kondom deh.” Kata Titi
“Aduuh apaan si Ti. Gituan dibahas, ga penting. Yang penting, Bian hamil anak siapa ?”
“Kalo sama Doni, kapan ?” tanya Titi
“Gw cuma sekali doank, beberapa minggu yang lalu pas dia ngambil berkas ke apartemen gw. Aduuh, kenapa gw bego bangett sih, ngapain coba gw have a sex sama dia. Bikin ruwet aja.”
“Yah berarti masih ada kemungkinan itu anak Bobby. Gimana cara taunya ni ?” lanjut Bitha
“Gini aja deh. Bian, lo istirahat dulu aja. Muka lo udah pucet gitu. Ntar, kalo lo udah tenang. Kita bicarain lagi. Kita semua nginep aja disini dulu, jagain Bian.”

Mereka semua pun mengiyakan, kami biarkan Bian beristirahat di tempat tidurnya. Sementara kami hanya terpukau dengan pengakuannya. Kami, yah kami memang wanita nakal, kami pun merasa sombong karena sex adalah sesuatu yang sudah sangat berdampingan dengan kami. Kami pun tak pernah merasa membutuhkan alat kontrasepsi, yah karena kenikmatan. Atas dasar kenikmatan yang lebih, kami tak menyukai kondom. Selama ini, kami pun tak pernah menyangka kalau satu dari kami akan mendapatkan diri kami hamil di luar nikah. Kami merasa pintar. Pintar menyiasati. Tapi Tuhan memang punya cara tersendiri untuk menegur kesombongan kami. Yang terjadi, terjadilah.

Ponselku berdering. Ketika kami sedang mencoba tertidur dan mengumpulkan tenaga untuk nanti malam. Ada dua sms masuk.

Kecil. Maaf yah tadi soal Amel. Dia tiba-tiba dateng dan kepingin ikut. Hmm, cantik kamu hari ini. Saya dalam perjalanan ke Apartemen Bian. Kamu tunggu saya disana ya.

Kak, gw lagi nganterin Bunda ni ke bandara. Gw minta dianterin Digo. Hihihi. Gw pinjem Digo yah malem ini. Nanti, kayaknya mau sekalian makan malem. Gw ga jadi ikut ke club. Baii.

Pada waktu yang hampir bersamaan, ada sebuah sms masuk. Bukan ponsel Diar kali ini. Tapi Ponsel Ramdan, di tempat yang berbeda, di kamar seorang Ramdan.

Ram, bisa tolong anterin aku ke dokter kandungan sore ini ? perut aku sakit banget, janinnya mulai bergerak. Aku ga kuat nyetir.

Dilihatnya ponsel itu, dan diketiknya beberapa kalimat yang terdengar pahit dan dibalasnya ke nomor pengirim pesan.

Aku kan udah bilang gugurin aja.

Kami sudah berkumpul kembali ke sebuah ruangan, ruangan yang tidak begitu besar. Tapi cukup untuk kami berempat. Terdapat double bed di tengahnya, disanalah kami biasa selalu tertawa dan menangis bersama. Dan hari ini, kembali kami berbicara tentang masa depan. Masa depan salah satu sahabat kami, Bian.

“Hmm, gimana keadaan lo ? dah baikan ? Pusingnya dah ilang ? tanya Titi was was
“Nih lo sambilan makan, biar perut lo ada isinya.” Kataku
“hmm, jadi keputusannya gimana ni ?” tanya bitha serius.
“Dari lo maunya gimana, Bi ?” tanyaku lebih serius
“Yahh, gw bingung. Ga mungkin banget kan gw gugurin ini anak. Yang bikin gw bingung ngambil keputusan itu karena gw bingung ini anaknya siapa.” Jelas Bian dengan muka yang sangat lelah
“Iya lah ga mungkin, mau jadi pembunuh lo.” Kata titi sambil mentoyor kepala Bian.
“Gini lho. Kita masih belum bisa mastiin itu anak siapa. Tapi yang jelas, Bobby harus tau soal ini.” Kataku tegas
“Bobby ? Gw takut banget ngomong ke dia. Gw bilangnya ini anaknya dia ?”
“Yahh jangan.” Lanjut Bitha dengan cepat memotong omongan Bian
“Iyah, lo bilang aja yang sejujurnya. Kita bantuin deh ngomong pertamanya. Tapi ntar lo tetep harus ngomong sendiri sama dia.” Kataku pelan-pelan
“Hmm, lo harus nanggung resikonya. Moga aja pacar lo itu bijak. Jadi ga maen hakim sendiri.” Lanjut Bitha
“Yah tambah bagus lagi, kalo dia mau langsung tanggung jawab.” Potong Titi
“Sekarang tinggal gimana elonya. Kapan mau kasih tau dia ?”

Tiba-tiba di tengah obrolan, kami kedatangan tamu. Siapa yah ? Jangan-jangan Bobby.

“Bobby bukan ? Aduhh gimana nih, gw belum siap kasih taunya.” Kata Bian gelagapan
“Jangan dibuka dulu deh. Kita siapin dulu apa yang mau kita omongin.” Kata Titi
“Iyah bentar yahhh.” Kataku berteriak dari dalam.

Ponselku kedatangan satu sms, dari bos.

Kecil, aku udah di depan pintu kamar Bian. Lagi pada sibuk yah ?

“Hah ? Itu bukan bobby. Bos gw.”
“Si Abi ? Ngapain dia kesini ?” tanya Bian
“Hmm, gw lupa tadi dia sms, mau kesini. Gimana nih ? Dia aneh akhir-akhir ini. Ntar deh gw ceritain.” kataku gelagapan
“Ya udah suruh masuk aja. Siapa tau bisa bantuin kita.” Kata Bitha

Bitha pun langsung melesat membukakan pintu sebelum kami memutuskan akan membiarkannya masuk atau tidak.

“Bentar yah, Pak Abi. Lagi pada di kamar tuh.” Kata Bitha ramah
“Iyah, saya tunggu di sini aja.”

Bitha langsung masuk ke dalam kamar.

“Gimana nih ? Dia mau kita masukin kamar atau kita yang keluar ?” tanya bitha bisik-bisik
“Keluar aja lah, ga enak ntar. Dia kan bos gw. Ada Amelnya ?” Kataku risih
“Nggak ada, dia sendirian.” Jelas Bitha
“Ya udah, hayuuk lah kita keluar.” Kata Titi
“Eh bentar, biar Diar dulu deh yang keluar. Bilang aja gw lagi ada masalah.” Potong Bian
“Kalo dia tanya masalahnya apa ? Gw jawab apa ?” tanyaku bingung
“Yah jawab aja deh, gw hamil.” Jelas Bian tegas
“Serius lo ? Itu kan Abi, satu kantor.” PotongTiti
“Dia ga comel koq.” Jawab Bian singkat

Aku pun keluar ka arah ruang tamu, dan kutemui atasanku yang akhir-akhir ini makin tak bisa kuduga tingkahnya.

“Eh, pak. Amel mana ?”
“Hmm, dia udah aku suruh pulang.”
“Ohh emangnya dia ga ngambek kalo bapak sendirian kesini ?”
“Dia ga tau koq.”
“Ohh, ga tau toh. Mau dibuatin minum apa ?”
“Air putih aja. Ga dingin. Haus banget ni, di luar panas banget.”
“Oh, bentar. Diambil dulu.”

Kulangkahkan kakiku mengambil sebuah gelas dari sebuah rak dekat meja makan, dan kuisi dengan air putih penuh segelas. Lalu kukembali ke tempat dimana atasanku berada.

“Ini pak, silahkan minumnya!”
“Makasih yah, Di. Yang laen pada kemana ?”
“Hmm, di kamar pak. Bian lagi ada masalah, jadi pada diskusiin di kamar.”
“Loh masalah apa ? Serius yah masalahnya ?”
“Iyah, sangat.”
“Kalo boleh tau, masalahnya apa ? Siapa tau aja saya bisa bantu.”
“Hmm, Bian. Bian hamil.”
“Hamil ? Dia belum menikah kan ya ?”
“Iyah belum.”
“Trus udah bilang cowonya ? Cowonya mau tanggung jawab ?”
“Nah itu dia masalahnya, kita ga tau pasti itu anaknya siapa.”
“Maksudnya ?”
“Maaf banget ni yah tapi sebelumnya. Ngomongnya agak blak-blakan. Bian itu kan emang sering have a sex sama pacarnya. Tapi beberapa minggu yang lalu, dia have a sex sama satu cowo. Sama cowo itu sekali doing, tapi kan masih ada kemungkinan, itu anaknya.”
“Oh. Rumit juga yah. Trus udah ada hasil diskusinya ?”
“Hmm, aku sih bilang yang penting pacarnya harus tau dulu keadaannya. Yah beresiko juga sih. Apa boleh buat tapi harus dilakukan.”
“Hmm, jadi bahan pelajaran juga.”
“Iyaah.”
“Kalo bisa jangan ganti-ganti pasangan.”

Jangan ganti-ganti pasangan ? Nah dia sendiri padahal sering bawa wanita ke kamarnya ?

“Hmm bukannya bapak sering ganti-ganti pasangan ? Maaf maksud saya, bukan pasangan hidup, tapi pasangan have a sex.” kataku seceplosnya
“Heh ? Hmm, saya baru ML sama dua orang koq.”
“Heh ? Dua orang ? Koq saya kurang percaya yah ?”
“Sama Amel dan kamu.”
“Lah kata pembantu yang di rumah bapak, bapak kan sering bawa wanita ke kamar. Ga mungkin ga ML kan ?”
“Saya memang bawa wanita-wanita itu ke kamar, tapi terkadang saya ilfil di pertengahan. Jadinya yah tidak berlanjut.”
“Hmm, bisa ilfil yeeee kalo udah sama-sama telanjang bulat ??” tanyaku meledek

Si bos hanya tersenyum dan kembali mendelikkan matanya kepadaku membuatku menatapnya keheranan.

“Sebentar yah pak. Saya ke kamar dulu. Manggil yang lain.”

Kubawa diriku cepat ke dalam kamar. Dan kuminta mereka bertiga untuk beralih ke ruang tamu. Aku pun menjelaskan bahwa si bos sudah tau soal keadaan Bian. Setelah itu, kami berlima pun termasuk si bos sudah mengambil posisi terenak di ruang tamu yang bertema lesehan tersebut. Aku yang duduk di sebelah si bos agak mengambil jarak. Entah akhir-akhir ini aku sedikit salah tingkah dengan tingkah si bos. Sudah kusiapkan segala cemilan dan minuman di meja tamu. Dan kembali perbincangan serius dimulai.

“Kamu hamil, Bi ?” tanya si bos memulai pembicaraan
“Iyah, Bi. Tolong disimpen sendiri aja yah. Jangan sampai bocor ke yang lain.”
“Oh, iyah tenang aja itu mah. Jadi kapan pacar lo dikasitau ?”
“Hmmm, pengennya sih cepet. Gw gelisah banget soalnya. Tapi gw juga takut, takut Bobbynya emosi. Gimana yah baiknya ? Gimana dunk ?” tanya Bian panik
“Udah. Tenang dulu. Mau gw bantuin nyampein ke pacar lo ? Gw kan cowo. Cowo ke cowo kan lebih enak nyampeinnya.”
“Tapi kan lo ga kenal cowo gw, Bi.”
“Hmm, ditemenin Diar aja.”
“Loh koq jadi saya yang nemenin bapak ? Tanyaku protes menghindari si bos
“Iyah, Di. Lo aja. Kan udah deket sama Abi.” Potong Titi
Mataku langsung mendelik menatap Titi.
“Iyah, kamu kan asisten saya. Jadi saya ditemenin sama kamu aja.” Si bos ikut menjelaskan
“Huuf, ya udah deh. Terserah. Maunya kapan ? Hari ini ?” kataku sambil memonyongkan bibir karena terpaksa mengiyakan.
“Hari ini sanggup ga, Bi ? tanya Bitha mengkonfirmasi
“Sanggup tapi gw masih takut.” Jelas Bian pelan
“Ya udah malam ini aja gimana ?” saran si bos
“Iyah deh, Bi. Biar sekalian, lo juga ga tambah makin takut jadinya.” Kata Titi mengiyakan
“Terserah kalian deh. Gw udah mumet.”
“Ya udah, gw sms yah Bobbynya ni yaa. Pake nomor gw aja.” Kataku meyakinkan
“Iyah. lo punya kan nomornya.”
“Punya.”

Bobby, ini gw, Diar. Ada yang mau gw omongin soal Bian. Bisa kita ketemu malam ini ?

Balasan pun segera masuk ke ponselku

Oh, Diar. Apa kabar ? Soal Bian ? Dia sakit ?

Kubalas smsnya dengan hati-hati.

Hmm. Something like that lah. Tapi bukan itu juga sih. Gimana, bisa ga ntar malem ?

Kutanyakan perihal ketersediaan waktu untuk bertemu nanti malam. Semoga bisa nanti malam.

Bisa koq. Tapi maleman yah. Ngelembur soalnya. Jam 9an paling. Dimana ?

Kupilih restoran steak yang dekat dengan apartemen Bian lalu kukirim dengan segera sms balasannya.

Di café yang deket apartemen Bian bisa ga ? Gw lupa namanya ? Resto steak itu lho.

Kami semua menunggu balasannya. Bian pun terlihat cemas dan gelisah. Terlihat sekali dari cara dia mengepal tangannya

Oh iyah. Gw tau. Ya udah. Sekalian aja abis itu gw nginep di tempatnya Bian.

‘Glek’. Dia ingin menginap di kosan Bian setelahnya. Kami berlima tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi nanti malam. Hatiku juga tak bisa meramalkan akan terjadi hal yang baik. Kami pun hanya bisa menarik nafas, dan melapangkan hati.

Okaii, jam 9 yah di sana. Aku sama bosku.

Langsung masuk sms balasan dari Bobby

Okaii, cee you there.

“Dia mau nginep. Aduhh, gw takut. Gimana kalo nanti dia emosi ? Lo semua harus temenin gw disini.”
“Iyah kita semua nginep deh disini. Demi lo.” Kata Bitha menenangkan
“Diar, ntar lo harus kabarin situasinya.” Pinta Bian panik
“Iyah, ntar gw langsung kabarin. Eh tapi ntar gw ga bisa nginep nih, besok kan kerja.”
“Kita semua juga kerja kalii.” Kata Titi sewot
“Yah tapi gw ga bawa ganti.” Jelasku
“Nanti saya anter kamu ke rumah aja dulu, ambil ganti, trus kesini lagi.” kata si bos kepadaku.
“Tuh ya udah, begitu aja.” Kata Bitha

Aku hanya mengangguk kecil. Dan berusaha tersenyum di tengah semua keribetan ini.

“Hmm, bos ikut nginep ?”
“Ikut. Ikut aja. Kalo Bobby emosi, kan ada yang jagain.” Pinta Bian memelas
“Ohh, saya sih terserah aja. Kalo nginep, saya tidur di sofa aja.”
“Tenang, kita semua juga pada tidur di ruang tengah. Ada kasur lipet koq.” Jelas Titi
“Hmm, oh iyah. Itu kandungan lo harus diperiksain ke dokter lho. Jangan lupa.”
“Ribet banget sih. Gw malah panik soal ntar malem.” Kata Bian seperti orang kebingungan
“Lo sih ga pake kondom, jadi ribet nih.” Celetuk Titi
“Udah ah jangan bawa” tuh kondom. All of us never use that.” Kata Bian mempertegas
“Saya juga ga pake kondom pas sama Diar.” Celetuk si bos

Mendengar perkataan itu, tanganku spontan mencubit si bos dan mataku langsung mendelik. Semua gestureku menyuarakan ‘jangan bahas-bahas soal kita’.

“Loh masih punya hubungan ?” tanya Titi penasaran sambil menunjuk kami berdua.

Aku langsung membelalakkan mata ke arah Titi.

“Gak penting deh.” Kataku
“Abi, masih punya hubungan sama Diar ?” tanya Bian seakan melupakan masalahnya
“Well, as you see.” Kata si bos mengambang
“Well, as I see. You are with Amel.” Lanjutku agak menyindir
“Aku udah putus, Di.” Jelas si bos
“Putus sepihak.” Lanjutku kembali dengan kesal
“Iyah sepihak dari akunya. Tapi kan awalnya dia yang minta.” Jelasnya berusaha menahan kesabaran
“Jadi gengsi karena Amel yang minta putus ?”
“Yah bukan gitu juga, Di.”
“Trus kenapa putus ?” tanyaku sambil menatap kedua matanya
“Karena kamu.” Jelasnya tegas sambil membalas tatapanku dalam
“Bullshit!” kataku sambil memalingkan muka
“Yahh, udah jangan berantem dulu. Masih harus ketemu Bobby kan ? .” kata Bitha nyengir

Aku pun hanya memandang kesal ke arah Titi yang membahas-bahas soal aku dan si bos. Aku pun lama menatapnya dan berbicara tanpa membuka mulut, hanya menggunakan ekspresi muka.

“Iyah, Diar. Soal lo dan Pak Abi. Cuma Tuhan dan lo yang tau. .”
“Sial.” Kataku

Tiba-tiba si bos meluncurkan tangannya kepalaku, mengelus-ngelusku lalu mendekatkan keningnya ke mulutnya, dikecuplah keningku. Semua mata di ruangan itu terbelalak. Dan lagi-lagi aku hanya bisa mendelik dan mengerutkan alis. Damn!!

Sudah tepat jam 9, kami menunggu Bobby datang. Di sekeliling kami sudah berbalut suasana romantis yang dipadu dengan irama musik klasik. Kalo bukan karna tujuan kami berada disini, pasti kami sudah terbuai. Sayangnya, kami disini untuk sesuatu yang sangat serius. Bobby pun datang, tak lama dari pukul 9 malam. Kami mendadak kaku, dan tak mengerti harus memulai dari mana.

“Haii, sorry telat. Baru berangkat jam setengah 9 soalnya ada kerjaan yang belum selesai.” Jelas bobby tergopoh-gopoh
“Ohh iyah gapapa. Pesen minum dulu kali yee. Cape banget kayaknya lo.” Kataku berusaha menutupi kekakuanku
“Oh iyah bener. Gw aus banget, pengen minum. Kalian udah pesen ? Eh, pacar baru lo, Di ?”
“Udah koq, belum dateng tapi. Sekalian aja lo order. Kenalin, bos gw, Abi.”
“Bos apa bos ?”
“Bos! ” kataku tegas dengan senyum terpaksa

Kami bertiga pun memesan makanan dan Bobby pun tak lupa memesan minuman. Hmm, cukup lama kami menunggu sambil mengobrol basa basi sampai pesanan datang. Setelah pesanan datang, aku dan si bos hanya saling melirik. Mulut kami berdua seperti tak bisa bergerak, seperti tak ada katup yang bisa membukanya. Ketika Bobby menikmati santapan pertama dari hidangan yang sudah tersedia, dia pun kembali menanyakan perihal pertemuan kali ini.

“Hmm, jadi mau ngomongin apa ni ? Koq kayaknya penting banget.” Tanyanya
“Biar bos gw aja yah yang ngomong. “ kataku agak gugup
“Okaii. Ada apa sih ? Kayaknya serius banget.” Kata Bobby sambil menyantap dengan nikmat
“Jadi gini. Pertama sorry mungkin lo nganggap kita berdua cuma orang luar yang mencampuri urusan lo sama Bian. Tapi sebagai pria, gw mohon banget lo jangan emosi.”
“Hmm, yah nggak lah. Kalian kan temen Bian juga. Masa gw marah. ” katanya masih sambil tersenyum
“Yang mau kita berdua sampein sama lo ini serius dan gw harap lo jangan potong sampe gw selesai jelasin.” Kata si bos dengan nada serius
“Hmm, aduuh sebenernya ini ada apa si ?”
“Bian. Bian. “ si bos pun terdiam sejenak dan melirik ke arahku “Bian hamil.”
“Hamil ? Serius ?” tanya Bobby memastikan.

Garpu dan sendok yang ada di tangannya pun terjatuh dari tangannya. Dia terlihat pucat tetapi masih bisa menahan emosinya.

“Koq Bian ga bilang langsung sama gw ?”
“Hmm, dia takut sama lo. Takut lo ninggalin dia.” Kataku melanjutkan
“Yah, gw pasti tanggung jawab lah. Masa gw tinggalin begitu aja.” Jawabnya yang terkesan santai.

Bisa kulihat gemetar tubuhnya, mungkin dia merasa ini terlalu cepat. Melihatnya gemetar menahan emosi, aku pun tambah gemetar lagi. Karena dia belum mengetahui semuanya. Hanya sebagian yang baru kami sampaikan.

“Ada lagi yang perlu lo tau, dan ini mungkin akan mengguncang diri lo.” Kata si bos hati-hati
“Hmm, Bobby. Gw tau lo sayang banget sama Bian. Gw cuma bisa bilang sayang lo lagi diuji.”
“Hmm, masih ada lagi yang mau kalian sampein ?”

Kami hanya terdiam, dan memandangnya lirih.

“Masalahnya beberapa minggu lalu, Bian pernah tidur sama cowo dan cowonya bukan lo. Dia khilaf.” Kataku sambil menggigit lidah sendiri

“Hah ?” Katanya sambil mendelikkan mata.
“Bob, sabar. Bentar jangan emosi dulu.” Kata si bos berusaha menenangkan, melihat mukanya sudah sangat merah
“Hmm, orang itu namanya Donny, salah satu client dari kantor kami.” Kataku agak pelan
“Doni ?” kata Bobby dan si bos bersamaan.
“Doni, yang tinggi berisi, rambut klimis ?” tanya si bos berlanjut.
“Iyah bos.”

Terlihat nafas Bobby menjadi lebih cepat, mukanya hanya mengeluarkan ekspresi emosi. Mukanya merah, badannya gemetar. Dan dia mengepal erat tangannya.

“Jadi itu anak siapa ?” tanya Bobby dengan penuh emosi
“Kita belum bisa pastiin Bob. Harus tunggu anaknya lahir sepertinya.”

Kataku sangat pelan dan tak memandangnya sedikitpun
Terdengar deru nafasnya, berat dan semakin berat. Kepalan tangannya semakin kencang. Terlihat gelisah sekali.

“Gw mau ngomong langsung sama Bian. Bian di apartemen kan ?”
“Iyah, dijaga Titi dan Bitha.” Kata si bos
“Gw mau kesana, sekarang!!”

Segera Bobby menuju mobilnya tanpa peduli dengan makan malamnya, dia langsung melarikan mobilnya ke apartemen Bian. Dan kami berdua langsung mengejarnya dan mengirimkan sms kepada Bian.

Bobby ngotot ke tempat lo. Aku sama si bos juga menuju kesana.

Yang kami rasa saat ini hanya resah. Aku pun terus berceloteh terus untuk menaikkan kecepatan mobil si bos agar kami bisa menyusul Bobby. Suasana malam yang seharusnya haru biru dengan hinar binar masyarakat Jakarta malah terasa mencekam dan mengesalkan. Akhirnya kami sampai di pelataran parkir apartemen Bian, dan si bos langsung dengan cepat memarkirkan mobilnya di depan lobby. Kami berdua pun langsung berlari menuju lift dengan sangat tergesa-gesa dan sampailah kami tepat di depan pintu kamar apartemen Bian. Diriku kaget sekali mendengar suara bentakan dari dalam yang sudah pasti suara Bobby.

“Gw harap lo berdua keluar, gw mau ngomong berdua sama Bian.” Terdengar bentakan Bobby terhadap Titi dan Bitha
“Hmm, iyah sabar Bob. Ini semua kan bisa dibicarakan.” Lanjut Titi sudah terpancing emosi

Kudengar kata-kata Bian tak terdengar sama sekali, namun suara isak tangisnya sangat terdengar. Titi dan Bitha pun akhirnya keluar. Dan kami berempat pun hanya bisa mendengar percakapan Bobby dan Bian dari luar karena pintunya dikunci dari dalam.

“Pukul aku. Pukul aja. Aku udah siap nerima semua resikonya.” Teriak Bian sambil menangis
“Kamu tega banget sih, Bi. Gw percaya banget sama lo. Lo..! Lo malah ngancurin hubungan kita begitu aja. Siapa itu Doni ? Hah ? Dia lebih dimana dari aku hah ?”
“Aku khilaf..waktu itu semua terjadi cepet banget. Aku juga ga ngerti. Tapi aku bener-bener ga punya perasaan apa-apa sama dia.”
“Yah tapi lo tidur sama dia!!! Anjing!!!”
“Iyah aku salah, aku salah ga jaga kepercayaan dari kamu. Tapi tuh aku sayang banget sama kamu. Aku rela nanggung semuanya sendiri.” Bian mencecer kata demi kata tanpa berfikir dan sambil menangis
“Aaargh!!!” teriak Bobby
“Maafin aku udah ngecewain kamu.”

Tak lama setelah itu yang terdengar hanya rintihan dan tangisan serta terasa sekali aura kemarahan meski mata tidak melihat. Terdengar suara ‘Prang’, ‘Prang’, dan kembali lagi suara ‘Prang’. Semua benda dibanting oleh Bobby sepertinya.

Mendengar semua percakapan yang sudah tak wajar itu, kami semua panik dan berusaha membuka pintunya dari luar.

“Bobby buka. Buka, Bob.” Kataku memaksa sambil menggedor-gedor pintu
“Aku kecewa dan aku butuh waktu sendiri!” kata Bobby pada Bian

Tak lama, terdengar Bobby berusaha membuka pintu dan langsung bergegas pergi meninggalkan Bian dan kami semua. Bian pun hanya tergeletak di lantai dengan posisi berlutut sambil menangis. Kami semua hanya bisa memeluknya dan mengantarkan dia ke tempat tidur agar dia bisa beristirahat. Diriku pun sudah tidak bernafsu mengambil pakaian kerja ke rumah. Yang perlu diketahui adalah kami semua sudah tidak berhasrat untuk bekerja besok. Dan akhirnya yang sanggup kami lakukan adalah hanya mengambil dua buah kasur lipat berukuran besar, kami tarik benda itu ke ruang tengah, dan kami bentangkan. Kami terlentangkan tubuh kami termasuk si bos di kasur itu dan kami bergegas tidur. Sebelum kami tertidur, si bos berbuat baik kembali.

“Besok kita semua ga usah masuk kerja, biar saya yang minta ijin ke kantor.”

Karena Aku, Titi dan Bitha sudah terkulai lemas, kami pun hanya mengangguk pasrah. Aku yang tidur di sebelah si bos pun sudah tak peduli dengan letak tidur kami. Semakin malam, mata kami semakin mengantuk. Bian pun sudah tak terdengar lagi tangisnya. Aku pun sudah memejamkan mata dan setengah tersadar. Tiba-tiba kurasakan sebuah tangan memelukku dari belakang. Si bos ? Dan terdengar sayup-sayup.

“Kecil. Good night, sweet dreams.”

Kehangatan. Kehangatan itu kembali aku rasakan. Hangat yang sama yang pernah kurasakan tempo hari. Badanku tiba-tiba menghangat, seperti memunafikkan diri dengan keadaan. Ingin kumiliki kehangatan ini tapi tak mau dikatakan merebut sesuatu yang bukan milikku. Ingin kulepas tapi ingin kudekap. Semakin menghangat dari kaki sampai ke otak, tak terasa bulir-bulir air mataku jatuh mengantarku tidur ke dunia mimpi, dunia tanpa rasa sakit.

Ponselku tanpa kuketahui berdering, sms masuk.

Kak, lo dimana ? Pas gw pulang tadi, ada cewe di depan rumah. nyariin lo. Dia sampe nungguin depan rumah. Ga tau siapa. Namanya Kinar. Katanya ada perlu penting. Lo pulang apa nggak ?
Oh iyah, sukses ni dinner ama Digo. Hihihihi, rela kan lo kak!

Terbangunku dari tidur nyenyak dan keluarku dari dunia mimpi yang begitu menyenangkan. Mataku masih separuh terbuka ketika kusadari tangan si bos masih melingkar di pinggangku. Gila!!! Dia koq tak kesemutan yah. Kuberusaha melepaskan rangkulannya, tetapi belum kuterlepas, dia sudah menarikku kembali mendekati tubuhnya. Kalo Amel menyaksikan ini, bisa ada kasus pembunuhan terjadi nih. Dengan sedikit paksaan, aku keluar dari pelukannya. Belum ada yang terbangun, aku pun langsung menduduki sofa ruang tamu, mencari-cari setengah nyawaku agar kokoh terbangun. Setelah semua nyawaku sudah terkumpul kembali, aku langsung menuju dapur. Benda yang paling kurindukan sehabis bangun tidur adalah kulkas. Makanan oh makanan. Dimana kalian ? Sepertinya di dalam kulkas. Kutemukan ada susu dan beberapa bahan makanan. Kuambil susu, dan kutarik gelas dari dalam lemari. Tak lupa cemilan kuseret serta menemaniku bersantai di pagi hari.

Ketika diriku masih berada dekat dengan kulkas dan lemari, ada seseorang yang memelukku dan membuatku hampir membuang jantungku sendiri.

“Kecil, tuangin aku susu juga dunk.” Kata si bos manja
“Bapak!!! Hampir aja jantung saya copot. Apaan sih pak ? Ini lepasin dunk.” Kataku sambil mencoba melepas rangkulannya.
“Kamu kalo kaget lucu deh. Kayak anak kecil.” Katanya santai membiarkan mukanya tepat di depan mukaku sambil mencubit daguku.
“Bapak, kenapa sih ? Ganjen amat dari kemarin.” Kataku sedikit risih
“Loh aku kan ga ganjen, cuma minta dituangin susu.”
“Minta aja sama Amel sana.”
“Kamu ngambek gara-gara Amel ? Marah yah gara-gara kemarin Amel ikut ?”
“Ihh peduli amat. Ga ngaruh, saya kan asisten DOANG!!!”
“Amel itu udah ga ada apa-apa lagi sama saya. Dia dulu tunangan saya, sekarang udah bukan.”
“Peduli amat. “
“Harus peduli loh kamunya.” Kata si bos sambil terus menatap mataku
“Loh kenapa ? Peduli koq maksa.”
“Soalnya saya kan peduli sama kamu.”
“STRESS!!!” kataku sambil memiringkan jari telunjuk di kening
“Eh bentar..mau kemana ?” tanyanya sambil menarik tanganku
“Mau ke meja makan.”
“Susu buatku mana ?”
“Nih susunya, tuang sendiri!”

Aku pun langsung melaju ke meja makan, menikmati susu dan cemilan. Si bos kenapa sih ? Kayaknya akhir-akhir ini otaknya sedang tak beres. Semakin berani dia menggoda. Sial!!! Rasanya gemas mau balik menggoda. Loh ? Yah daripada bingung digodain terus mending godain balik. Tapi Amel, Amel, Amel lagi yang membuat sikapku tertahan. Rasanya jiwa malaikat dan iblisku sedang bertengkar. Hmm, semenjak peristiwa pembantaian seksual bersama si bos, aku sudah tak pernah tidur dengan pria lain. Mungkin aku harus tidur dengan pria yang lain agar aku cepat-cepat ilfil dengan pria yang notabene nya adalah atasanku.

Setelah beres di dapur, si bos pun datang dan duduk tepat di sebelahku.

“Masih mikirin Amel ?”
“Ihh siapa yang mikirin sih ? Udah sana bapak ga usah gangguin aku!”
“Sini…ngadep kesini.” Katanya sambil memalingkan mukaku ke hadapannya
“I’m into you. Jadi Amel ataupun yang lain ga usah dipikirin. Selamat menikmati kebersamaan kita.”
‘Glek’, aku speechless. Help!!! I don’t know what I have to say.
“Maksudnya you are into me ?”
“Ya Allah, keciiil. Masa kayak gitu harusnya dijelasin. Ihh kamu lucu banget sih.” Katanya gemas sambil mencubit pipiku

What ? Ada yang bisa jelaskan ? Aku sudah punya kesimpulan tapi takut salah tangkep. Does he really like me ? Kenapa diriku harus merasa repot dengan pernyataannya. Harusnya kan aku santai. Jangan ditelan pakai hati. Jadi pake apa dunk ? Haduuh, jadi belibet gini. Mukaku menghangat dan memerah. Urat malu yang dulu sudah kebas sekarang tumbuh lagi. Arrgh, kenapa harus malu atas pernyataan pria ini. Dia hanya atasan, tak lebih. Ingat, Amel. Harus berbuat baik. Baik ? Penting nggak sih berbuat baik ? Baik kan tidak harus melelehkan diri sendiri. Tapi juga tak boleh menyakiti orang lain. Lalu yang benar seperti apa ?

Ternyata sedari tadi Titi dan Bian melihat aksi kami berdua. Titi pun tiba-tiba menyeletuk sambil mengerutkan dahi.

“Lo berdua jadian ?” tanya Titi sambil menunjuk ke arah kami berdua bergantian
“NGGAK!!!” kataku tegas
“Hmm masa ? Tapi dari kemaren sikap lo berdua tuh kayak pasangan yang baru jadian.” Lanjut Bitha
“Sok tau lo pada. Siapa juga yang sudi??”
“Nah kalo lo Di, kayak kesenengan tapi ga mau ngaku. “ tuduh Titi
“She’s mine.” Kata si bos sambil mengelus-ngelus kepalaku.
“He’s HERS!!!”
“Lucu ya, liat Diar kalo lagi begini.” Lanjut Bian
“Maksudnya ?” tanyaku singkat
“Kalo lagi jatuh cinta. ” Lanjut Titi lugas

Si bos, Titi dan Bian dengan puas tertawa. Aku hanya bisa meraut mukaku kesal. Aku hanya bisa berusaha mengalihkan pembicaraan yang terdengar bodoh ini.

“Hmm, Bitha mana ?” tanyaku
“Masih tidur.” Kata Titi
“Kuat banget yah dia tidur.” Lanjut si bos
“Diar sukses nih mengalihkan pembicaraan. . “ kata Bian menyindir
“Sial, gw serius cumii. Lo gimana ? Masih mikirin Bobby ?”
“Yah mikirin, tapi percuma kalo dia lagi emosi kayak gitu. Udah gw sms, ponselnya mati.” Kata Bian cemberut
“Dia lagi butuh waktu sendiri berarti. Cowo kalo lagi kesel. Jangan diganggu, semoga dia termasuk pria yang bijak. Kalo dia emang pria, pasti dia menghubungi lo.” lanjut si bos
“Hope so.” Kata Bian singkat dengan penuh pengharapan.

Tiba-tiba terdengar suara teriakan Bitha menghampiri.

“Diar, ada telepon ni dari Rachel. Nih ponsel lo.” Teriak Bitha sambil memberikan ponsel ke tanganku

“Halo.”
“Halo, kak. Cewe it dateng lagi nih. Mau diapain nih ?”
“Heh ? Cewe ? Cewe yang mana ?”
“Cewe yang tadi malem. Yang gw sms ke lo.”
“Ohh, belum kebaca smsnya. Sorry yeee, baru bangun nih gw. Belum ngecek sms. Ada apaan emang ?”
“Aduuh, rebet dah. Lo baca dulu smsnya. Ntar gw telepon 10 menit lagi.” kata Rachel terburu-buru

Kubaca sms yang tadi malam masuk ke ponselku. Kinar ? Who’s Kinar ? As I remember, I don’t know any person who called Kinar. Penting ? Aku saja tak mengenalinya, bagaimana dia bisa menyebut kata ‘Penting’. Karena aku yang semakin penasaran, aku langsung memutuskan untuk menelpon Rachel secepatnya.

“Halo. Rachel ?”
“Iyah, ini gw. Udah baca ? Mau diapain nih ? Bawel bener orangnya. Udah gw bilangin lo ga ada. Ngotot!!”
“Hmm, gw ga kenal sama yang namanya Kinar. Yakin tuh orang cari gw ?”
“Bentar, gw tanya dulu sama orangnya.” Kata Rachel berniat memastikan
“Kak, nih orangnya mau ngomong sama lo.” Kata Rachel sambil memberikan telepon pada Kinar.
“Halo, Diar ?”
“Iyah, ini kinar yang mana ya ?” tanyaku sambil mengerutkan dahi
“Yang ketemu di pom bensin tempo hari. Lo bareng Ramdan waktu itu.”
“Ohhh, yang berantem sama Ramdan itu ? kataku makin lama makin pelan
“Hmm, iyah. Gw cewenya Ramdan.”
“Cewenya Ramdan ?” tanyaku sedikit meninggi

Kudengar pertanyaan yang sama dari Rachel di ujung sana dan juga semua orang yang ada di sekelilingku saat ini. Pacar Ramdan ? Bagus, dia sudah punya pacar. Aman, bisa batal perjodohan. .

“Oh, gitu. Trus ada hal penting apa ?”
“Gw mau ngomong sama lo, face to face. Ga bisa lewat telepon. Bisa ga ?”
“Kapan ?”
“Sekarang.”
“Gw lagi di apartemen temen gw, lo samper aja kesini kalo mau. Ntar gw sms deh alamatnya ke no lo.”
“Hmm, boleh deh. Nomor gw 0817-XXXXXX.”
“Iyah langsung gw kirim.”
“Gw tungguin yah, kalo dah ada alamatnya, gw langsung kesana.”
“Sip.”

Kututup panggilan ponsel tersebut, aku langsung mengirimkan sms yang berisi alamat dan no kamar serta lantai apartemen Bian. Terkirim, dan tak lama setelah itu, beberapa sms masuk ke ponselku.
Makasih, gw langsung ke tempat lo sekarang. Nanti gw hubungi kalo udah sampe lobby.

Ada satu lagi sms dari Rachel, hmm pasti dia penasaran.

Kak, cewe itu cewenya Ramdan ? Asu banget emang tuh cowo ya. Kak, kalo nanti ada acara labrak-labrakan, gw siap membantu dengan senang hati. Kabarin gw, jangan sampai nggak. Awas lo jangan sampe lupa!

Membaca sms dari adikku tersayang membuat ingin tertawa cekikikan. Orang yang dulu suka setengah mati sama Bomun, sekarang nafsu bener mau melabrak. . Orang-orang di sekitarku cuma heran melihat tingkahku yang terlihat girang.

“Siapa yang telpon, Di ?” tanya Titi penasaran
“Kinar.”
“Cewenya Ramdan ?” lanjut lagi pertanyaan dari Bitha
“Yoi.”
“Koq lo kayaknya girang bener ?” tanya Bian heran sambil mengerutkan alis
“Kalo dia punya skandal, berarti perjodohan bisa dibatalkan. .”
“Bagus deh kalo batal.” Celetuk si bos

Mendengar pernyataan terakhir dari si bos membuat kami semua memalingkan muka ke arahnya. Maksudnya apa coba ? Haiyaaah, semakin saja Titi memfitnah bahwa kami berdua benar-benar menjalin skandal bukan hanya menggunakan kelamin kami, hati pun sudah kami pakai.

Kami, empat sekawan. Dari mulai Bian, Titi, Bitha dan aku sudah kenal permainan kelamin sedari dulu. Kami tak pernah menyesalkan hal itu sama sekali. Benar kami memang pendosa, dan kami pun tak pernah menyangkal hal tersebut. Tapi dibalik semua itu, kami selalu menemukan hati, hati yang tulus. Titi yang menemukan hati seorang Vito, Bitha yang menemukan hati seorang Gilang, Bian yang menemukan hati seorang Bobby, dan Aku yang mungkin dulu sudah menemukan hati seorang Digo. Permainan kelamin kami, bukan sekedar pertemuan kelamin biasa. Kami mencari hati, hati yang benar-benar menyayangi kami walaupun kelamin kami yang dulu pernah dicicipi oleh beberapa lelaki lain. Kami juga mengerti mungkin untuk beberapa orang, cara kami salah. Cara pandang setiap orang memang berbeda. Biarlah kami yang sudah tercemplung dalam butiran dosa mencari pintu sendiri agar hati kami bisa terketuk dan menjadi manusia baik dengan cara kami sendiri.

Kira-kita 1 ½ jam kemudian, sms dari Kinar pun masuk.

Gw dah di lobby. Ngomongnya di lobby atau di tempat temen lo ? Kalo di tempat temen lo, gw langsung naek ke atas nih.

Lo naek aja deh, ngomongnya di tempat temen gw aja. Gw belum mandi soalnya, males keluar.

Gw udah sampe di depan kamar temen lo.

Tak lama setelah itu, Kinar pun tiba di depan pintu. Dan aku pun dengan cepat langsung membukakan pintu untuknya dan mempersilahkannya duduk di ruang tamu. Setelah itu pamit ke belakang untuk membuatkan minuman. Dengan cepat, kubuatkan minuman dan kembali ke ruang tamu. Temanku yang lain termasuk si bos, aku minta untuk tunggu saja di belakang. Hmm, tapi aku tau pasti mereka akan ikut mendengarkan dengan lancang.

“Maaf lama, ini minumnya. Silahkan diminum!”
“Iyah, makasih.”
“Hmm, ada perlu apa ya ? Kayaknya penting banget.”
“Memang penting banget buat gw. Sebelumnya maaf, karena mungkin gw lancang. Gw cari tau tentang lo, rumah lo, tapi hal ini memang harus gw lakukan. Gw yakin kalo lo jadi gw, pasti lo melakukan hal yang sama.”
“Hmm, bisa dipersingkat ga ? Gw males kalo kepanjangan.”
“Sebelumnya lo tau gw cewenya Ramdan ? Karena gw tau soal lo sama Ramdan. Soal perjodohan.”
“Ohh, baru tau dari lo, bukan dari Ramdan. Perjodohan ? Gw emang dijodohin sama dia. Tapi ga penting juga, gw nya juga ga mau.”
“Hmm, gw juga yakinnya Ramdan emang ga kasih tau lo, dia udah punya cewe.”
“Hmm, ga penting juga sih, dia cerita juga, ga bakal gw dengerin. Trus ceritanya lo kesini mau kasihtau gw supaya gw ga deket-deket dia lagi, karna lo cewenya ?”
“Sebenarnya maksud gw lebih dari itu. Gw kesini bukan karna hubungan gw dengan Ramdan yang semakin renggang karena lo, tapi demi bayi yang ada di perut gw sekarang.”
“What ? Bayi ? Lo hamil ?”
“Iyah, gw hamil anaknya Ramdan.”
“What ! What the fuckin’ he is ! Speechless gw, sumpah!”
“Tadinya dia janji mau nikahin gw, asal gw diem-diem aja. Hmm, cuma makin kesini, malah semakin menghindar, sekarang dia malah beralasan ga bisa nikahin gw karna dijodohin sama lo.” Katanya seraya matanya makin berkaca-kaca
“Anjing!!! Lo ga bohong kan ?”
“Ngapain juga gw bohong. Kalo lo mau, gw mau koq di-USG.” Katanya sudah mulai terisak-isak
“Trus, lo maunya gimana ?”
“Gw mohon lo bantuin gw soal ini. Soal perjodohan lo sama dia sama soal bayi ini.” Katanya sambil memohon
“bocah itu harus bertanggung jawab atas lo dan batalin soal perjodohan dia ama gw. Asli, gw kesel banget. Lo pulang aja dulu deh, secepatnya gw bakal ngomong sama Ramdan. Lo tunggu aja kabar dari gw.”
“Gw mohon banget dan gw harap lo bisa bantu masalah gw.” Katanya memelas
“Ya udah, lo tunggu aja kabar dari gw. Hubungin gw aja kalo bocahnya macem-macem.”
“Makasih, Diar. Gw pulang dulu. Gw tunggu kabar dari lo.” Sahutnya lemas

Langsung diriku mengirimkan sms kepada Rachel, seraya Kinar membereskan diri di toilet.

Rachel, denger yah si Bomun sekarang bukan hanya munafik, tapi bajingan tengik. Kinar hamil anaknya dia, dan dia ga mau tanggung jawab.

Ah, serius lo ? Kak, tungguin gw kalo mau labrak dia. Asu emang tuh bocah, nyesel gw pernah punya hati buat dia. Kabarin gw terus soal Ramdan!!!

Kuantar Kinar sampai lobby, dan nafasku terengah-engah seperti balapan dengan waktu. Aku marah, emosi, kesal, dan tak menyangka. Kakiku melangkah begitu cepat ke tempat Bian, dan aku langsung mengambil segelas air putih untuk menenangkan pikiran. Semua orang disini mengeliliku, tapi tak ada yang berani menanyakan perihal pembicaraan tadi. Mereka hanya berucap ‘Sabar’ sambil mengelus-ngelus punggungku. Si bos pun mengusap-ngusap kepalaku dengan lembut. Mereka semua tau, aku sudah mau meledak, tinggal tunggu saja pemicunya, Ramdan, Matilah kau!!!

Sebuah kertas yang sudah tak beraturan bentuknya dijatuhkan ke lantai. Jika waktu berjalan mundur, bisa dilihat seorang pria yang sedang prustasi dan berujung rapuh. Pria yang beberapa menit yang lalu menuliskan uneg-unegnya di sebuah kertas.

Kinar ? Kinar. Kinar! Menyusahkan. Perusak masa depan. Entah dari mana, aku bisa berujung seperti ini dengannya. Kami berdua bertemu di sebuah klub. Aku yang sudah biasa bermain di dalam suasana remang-remang seperti tak pernah menganggap serius suatu hubungan yang berawal di dunia malam. We have a sex without commitment. But when she’s pregnant ?

Sebelum dia dinyatakan hamil, dia adalah sosok gadis yang mandiri, penyayang, cantik tentunya. Setelah dia hamil, dia ketergantungan sekali kepadaku. Aku itu ayah dari anak yang dikandungnya, harusnya memang aku bertanggung jawab atasnya bayi dan ibunya. Tapi sama saja itu dengan merusak masa depanaku. Aku itu pengusaha. Tak pantas rasanya aku menghamili anak orang. Bisa marah besar orang tuaku yang agamis itu. Seharusnya aku pulang membawa laba yang besar agar bisa mengembalikan modal orang tua, malah aku mambawa anak dan ibunya.

Bagaimana bisa aku menghadapi tekanan yang nantinya akan bertambah besar ? Perjodohan ? Perjodohan mungkin bisa menyelamatkanku. Aku tak mengerti kenapa aku mau dijodohkan ? Apakah agar Kinar tidak menyalahkanku karena aku tidak mau bertanggung jawab ?

Sebenarnya aku ada keinginan bertanggung jawab atas Kinar dan bayinya, tapi tekanan masa depan merapuhkanku.

Iman ? Imanku sudah kabur entah kemana. Tak betah iman berada di hatiku, hatiku terlalu kotor apalagi otakku. Iman tak pernah berteman dengan kebiasaanku minum, merokok dan main perempuan.

Tak perduli lagi aku dengan iman, yang penting masa depanku harus terselamatkan.

Pria ini sudah menghamili satu wanita, Kinar. Jiwa iblisnya dan malaikatnya sedang berperang dan belum ada yang mengalah diantara keduanya. Masih beradu kuat. Akhirnya peperangan itu ditunda, karena sang majikan memilih untuk kabur ke dunia mimpi.

***

Dipandangnya kembali beberapa fotonya yang masih dia simpan di bagian bawah lemari. Masih dia ingat, dulu dia sering kali mengintip pria itu dari ruang tengah ketika sang pria mampir ke rumah bersama ibunya. Masih diingat dulu dia sering kali beralasan agar bisa melewati rumah pria itu agar punya harapan melihatnya, melihat wajahnya. Dia pun dulu tak pernah marah atau merasa terinjak injak ketika pria itu dengan teganya menolak perasaannya dengan alasan dia bukan wanita baik-baik. Dia juga merasa kecewa sekali ketika tambatan hatinya dijodohkan dengan kakaknya sendiri, tapi dia tak pernah kecewa sebesar kecewanya saat ini. Mengetahui sang pria ternyata tidak lebih dari sekedar pria bajingan membuat dirinya merasakan marah. Dirobek-robeknya foto itu dan juga semua tulisan yang berisi tentang pria itu yang sudah sejak lama menginspirasi hidupnya, kini sudah tak berarti. Hanya menjadi sekumpulan robekan tak berguna. Tak layak tinggal di kotak berharganya lagi.

Kini di kotak berharganya sudah ada yang menempati. Sedari kemarin, tempat sang pria sudah bergeser oleh pria yang lain. Pria yang dulu kakaknya sayangi, pria yang dulu pernah menyayangi kakanya dengan tulus. Dan sekarang dia berharap pria itu menyayanginya sama dengan dulu pria itu menyayangi kakaknya. Yah, Digo memang telah menggeser Ramdan di hati Rachel, dan Rachel berharap bisa melengserkan posisi kakaknya di hati Digo. Ironis bukan ?

***

Diar ? Entah apa yang terjadi beberapa akhir ini ? Aku bahagia tanpa kehadiran tunanganku. Bahkan mungkin lebih bahagia. Melihat dia yang suka bertingkah tak terkendali dan di luar logika membuat diriku terkadang tak mengerti kenapa hati ini begitu tertarik. Padahal dia berbeda sekali dengan Amel. Amel yang anggun, cantik, dan bermanner. Diar ? Emosi penuh yang jelas, cuek, cablak, undescribed lah. Tapi dia penuh semangat dan mengebu-gebu. Tentunya dengan senyum yang sangat sumringah, dan cemberutnya yang bikin gemes.

Yang paling aku pertanyakan, kenapa baru sekarang aku sadar kalo wanita yang bertempat di depan meja kerjaku semenarik ini? Pertemuan kelaminkah yang mempertemukan hati ?

***

Diar, wanita yang selama ini aku jaga di dalam hati. Yang selalu kukejar, mungkin hingga kini. Entah apakah dirinya masih bisa kugapai kembali ? Hatiku berharap tapi…seperti tak ada pengharapan. Apakah sekarang titik dimana aku harus menyerah dan membiarkan dia bahagia dengan pilihannya. Apakah aku memang harus mengganti pandanganku ke matahari yang lain ? Mungkin iya, ini titik dimana aku harus menyerah dan merelakan dia dengan yang lain. Dia sudah mulai kuat, dan dapat berdiri tanpaku.

Rachel, dia sudah semakin besar. Semakin mengerti arti hidup. Dia mengambil porsi hariku beberapa minggu terakhir. Terkadang aku tertegun menghadapi tingkahnya, yang semakin mirip dengan kakaknya. Terkadang aku juga tertawa kecil dalam hati melihat dia dengan cueknya berkata apapun yang dia suka. Terkadang aku juga suka tak bisa berbuat apa” ketika dia bertengkar dengan kakaknya. Dia sudah menggeser kedudukan kakaknya sedikit demi sedikit. Dan tanpa sadar, aku pun jadi sering menuliskan namanya, meski hanya seberkas coretan.

Setelah kemarin beristirahat di kediaman Bian. Hari ini, kami semua sudah bekerja kembali. Termasuk Bian. Bian cukup tenang hari ini, mungkin kemarin dia hanya panik soal Bobby. Bobby pun belum menghubunginya sama sekali. Aku masih bisa melihat Bian terus menunggu Bobby, dia selalu memegang ponsel, melihat ponsel, dan berakhir dengan tampang kecewa. But life must go on. All of us have to come back work.

Si bos mendatangi mejaku. Semoga bukan urusan kerjaan.

“Diar.”
“Iya pak.”
“Nanti siang kita lunch bareng yah.”
“Yaaah, saya sama anak-anak di kantin makannya.”
“Ya udah saya ikut.”
“Bapak mau ikut makan di kantin ? Kantin lho pak ?
“Iyah, di kantin. Saya juga denger kalo kalian mau makan di kantin.”
“Bapak kan ga pernah makan di kantin.”
“Yah, makanya saya mau ikut. Sekali-kali makan di kantin.”
“Ohh ya udah kalo begitu.”
“Kamu masih emosi sama Ramdan ?”
“Ga usah ditanya itu pak, jawabannya pasti iya.”
“Sabar aja, jumat nanti kita semua temuin dia. Kamu jangan hubungin dia dulu.”
“Iyah pak. Kalo kemaren saya ga dibujuk-bujuk, pasti udah abis dia kemaren.”
“Yahh kalo kemaren, terlalu mepet. Mending didiskusiin dulu, kita kumpulin semua. Baru kita sidang rame-rame.”
“Yoa, pokoknya saya kumpulin tenaga dulu buat jumat. . “

Kemarin, setelah Kinar pulang. Emosiku langsung naik dan dengan segera tentunya ingin sekali mencabik-cabik Ramdan dan menghabiskan setiap tetes darahnya. Namun anak-anak termasuk si bos membujukku agar aku bersabar dan menunggu waktu yang tepat untuk berbicara. Kata mereka, lebih baik dikumpulin dulu semua orang yang terlibat, baru disidang. Jadi tak ada yang bisa mengelak. Then just enjoy the show.

Dan sesaat aku sedang berenang dalam paper work, ponselku kemasukan sms masuk.

Diar, gw mau ngomong sama lo. Serius. Jangan bilang yang lain, apalagi Bian. Kapan ada waktu ? kalo bisa secepatnya.

Bobby ? Ada apa yah ? Mulutku susah sekali berdamai dengan kemauan Bobby. Aku ingin segera memberitau Bian. Sabar. Akhirya aku berusaha dengan segenap otak untuk menahan keinginanku itu.

Kubalas dengan cepat smsnya.

Besok aku bisa, malem ini sih bisa, tapi mau istirahat. Capeee beraat!!
Tak sampe 5 menit sms balasan pun masuk.

Oh ya udah besok, di rumah lo aja yah, jam setengah 9. Dah sampe rumah kan ? Kemaleman ga ? Smsin alamat rumah lo !

Kusetujui ajakannya dan aku langsung mengirim sms balasan disertai dengan alamat lengkap rumahku. Ada apa ya ? Sudah punya keputusankah dirinya ? Semoga dia tak memilih meninggalkan Bian ? Kasian, Bian tak punya siapa-siapa di Jakarta. Ibu dan kakaknya berada di Padang. Ayahnya sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu. Dia juga jarang komunikasi, paling jika ada event tertentu, seperti lebaran. Selain itu, never. Hanya basa-basi saja antara ibu dan anak, tidak ada keinginan untuk menghapus rasa rindu. Rasa rindu ? Rasanya dia pun tak pernah punya rasa kangen kapada keluarganya.

***

Makan siang pun tiba. Waktu ini selalu kunantikan setiap hari. Waktu tersebut layaknya penyelamatan siaga satu untuk perut yang lagi meringkih kelaparan dan juga pelarian terhadap kerjaan yang menumpuk. Marii kita makan, Bon Appetit !!

Sesaat di meja makan andalan, meja yang selalu dengan senang hati mendengarkan semua keluhan para empat sekawan. Oh, ada yang baru hari ini. Si bos ikutan makan di meja ini. Pantesan meja ini jadi sedikit centil. Aku sudah sangat jelas sekali memesan semangkok bakwan malang dan sebotol Aqua berukuran sedang. Bian dengan gado-gado dan es teh manisnya. Titi dengan pecel ayam dan teh botol. Bitha dengan soto betawi dan es teh manisnya. Si bos dengan ketoprak dan teh botolnya. Woww, yummy. Kami semua makan dengan lahap, sambil menyelingi dengan beberapa obrolan santai sedikit berat.

“Sejak kapan lo makan disini ?” tanya Bian setengah menyindir Abi
“Sejak hari ini. Gimana keadaan lo ? Banyak makan sayur biar cukup gizi, bayem deh kalo ga salah yang bagus.”
“Jyaah, heran gw, Diar sama lo tuh pinter bener ngeles yah. Thanks for your care. Sumpah, berasa pegel banget kalo bangun tidur. Trus gw jadi parnoan, takut kepeleset lah, takut kecapean lah.”
“Baguus...auramu sudah keluar berarti. Kalo mau beli perlengkapan ibu hamil kasitau gw yaaaa!!!” kataku mencoba memelankan suara.
“Dasaar, adanya perlengkapan bayi tauu, bukan perlengkapan ibu hamil !!!” kata Bitha sambil menjitak
“Diar, diar, diar. Besok kita nginep tempat lo yaaa...berempat. okaaii!!” kata titi semangat
“Eh, besok ga bisa. Ada urusan. . Lusa aja yaa ? Sekalian ngomongin acara sidangnya si Bomun.”
“Yaaa, emang ada acara apa sih ? Penting banget emang acaranya ?” tanya Bitha
“Eh bomun apa sih ? Ramdan kan ? Itu kepanjangan dari apa sih ?” tanya Bian
“Kecil, semangat banget sih ngelabrak Ramdan. Huu, jewerr ah.” Kata si bos sambil menjewer telingaku
“Awww, sakiiit tauuu. Ga usah jewer jewer deh, jewer sana telinganya Amel.” Kataku sewot kepada si bos
“Iyah, aku ada acara. Besook, mau ngajar ngaji. . Iyahh Bomun itu bocah munafik, ramdan kan gayanya doang alim, hatinya sih nol!!! Yah ga penting juga sih kelakuannya, cuma ga ngakunya itu lho.” Kataku mencoba membohongi karna sudah ada janji dengan Bobby
“Loh bukannya harusnya kamu ngajar ngaji kemaren ?”
“Iyah, kan kemaren ga bisa, di rumah Bian kan. Jadi diundur besok. .” Kataku meragu

Meragu ? Karna diriku memang susah sekali berbohong. Lidahku bisa saja berbohong, tetapi ekspresi muka yang meragu memberikan sinyal yang kuat bahwa aku berbohong. Aku lebih memilih berbohong di telepon atau di sms daripada harus berhadapan langsung. Sungguh sangat tidak dipahami, di dalam hidupku yang hampir semua bagian diliputi berbagai kebohongan, justru aku lah yang tidak bisa berbohong.

“Ohh gitu, yahh masih lama bangeeet lusa.” Kata Bitha sedikit merengek
“Iyah, ya udah deh, biar yang digosipin makin banyak.”

Kulihat Bian selalu memegangi ponselnya sambil terus melirik. Dia menunggu Bobby dan aku merasa sangat bersalah sekali karna tidak memberitaunya kalo Bobby menghubungiku. Dan disampingku seorang Abi juga memegangi ponselnya, terlihat mengetik beberapa kata. Dan terlihat seperti malas melakukannya.

Ponselku berdering, sms masuk.

Diar, tepat bulan depan aku menikah. Aku mau ngomong sama kamu. Kita bahas masalah ini sampat tuntas. Please !!

Heh ? siapa yah ini ? Aku tak merasa kenal dengan nomornya. Kubalas sms sekedar basa-basi.

Ini siapa ya ?

Tak lama ada sms masuk, dari nomor yang tadi

Radit

“Radit ?” kataku setengah tak percaya
“Radit ?” tiga sekawan serta si bos pun mengikuti dengan limbung
“Dia sms gw dung !! Tau dari mana di nomor gw. Sial!!!”
“Sabar. Dia sms apa emangnya ?” tanya Bian
“Iyahh, jangan marah-marah dulu, Di.” Kata si bos sok tenang

Kutunjukkan sms terakhir yang dikirimkan Radit kepadaku. Sambil posisi tangan akan segera membalas smsnya. Lalu tiba-tiba tiga sekawan memberikan ide cemerlang. Kenapa tak sekalian saja aku suruh datang di hari jumat. Marahnya sekalian, Ramdan dan Radit terlampaui.

Dari mana lo tau no gw ? Jumat, jam 10 di Little Baghdad, Kemang. Ga pake ngaret!!!

Dengan cepat, sms balasan pun masuk. Dengan malas diriku membaca jawaban dari seorang Radit.

I’ll be on time

Sialan, padahal aku sudah sedikit lupa kalo Radit sudah merasa eksis di hidupku. Kenapa sering kali orang yang benar-benar sudah tidak diharapkan, malah datang. Padahal dulu ketika diharapkan, seingatku tak tampak sedikitpun batang hidungnya. Asli, aku terkadang jengah sekali dengan permainan ini, permainan dunia, permainan Tuhan. Kenapa yah sang pemilik semua alam semesta tidak sekalian saja membuat seseorang menang atas permainannya atau sekalian saja game over, selesai!!! Kenapa harus ada kondisi dimana kita selalu berharap tanpa ada kejelasan yang eksplisit ? Apakah manusia memang dilahirkan untuk berharap ? Ada beberapa orang yang tak tahan dengan kondisi pengharapan kosong memilih untuk meng-gameoverkan diri. Siapa yang pantas disalahkan ? Yang menciptakan permainan ? atau manusia itu sendiri karena terlalu lemah dan tak bisa bertahan. Yang jelas, bagi diriku, aku tak akan menyerah sampai akhir permainan. Aku tak ingin kalah, aku mau memegang piala di akhir dan tersenyum bangga.

Tak lama kemudian, si bos pun langsung buru-buru pamit dengan alasan yang tak jelas, kami pun juga bubar jalan dikarena waktu makan siang akan segera habis. Setelah sholat zuhur, diriku kembali ke ruangan. Taraaa, sudah ada pemandangan tak mengenakkan. Baru saja kuinjakkan kaki di ruangan, sudah ada dua pasang bola mata menyorotiku dengan seksama. Aku hanya melihat bola mata tersebut dan memilih untuk duduk anteng di kursi kerjaku, sambil menenggelamkan diri di depan notebook. Dan tiba-tiba aku mengapung kembali setelah mendengat bentakan keras dari si bos.

“Mau kamu apa sih ? Ngancem ?” bentak si bos
“Koq malah kamu yang marah sih ? tanya Amel membalas
“Aku tuh kerja. Kamu dari kemarin sibuk masalahin itu. Ganggu aku tau ga ? Lagian juga aku bukan siapa-siapa kamu lagi.”
“YA UDAH KALO KAMU MENGHINDAR TERUS BIAR AKU LANGSUNG TANYAIN SAMA ORANGNYA.”

Kudengar langkah kaki bergegas semakin terdengar. Semakin mendekat dan terus mendekat sampai akhirnya terpaku di depan mejaku.

“Diar, no ponsel lo berapa ?”
“Heh ? Eh, buat apa emangnya ?” kataku sedikit gagap
“Kalo ada perlu bisa langsung calling.” Jawabnya tegas tanpa nada
“Oh, 0856-XXXXXXXX. Ada apa yah emangnya ?” Kataku cepat pura-pura tak mengerti.
“Kamu punya hubungan apa sama tunangan aku ?” tanyanya kepadaku
“Dia atasan aku. Udah itu doang.” Kataku innocent
“Dia perhatian sama kamu ?”
“Perhatian soal kerjaan. He’s a workaholic. ” Kataku sambil dag dig dug seraya tersenyum terpaksa.

Sepertinya mendengar jawabanku, Amel semakin kesal dan tambah menjadi-jadi. Dia mungkin mengharapkan jawaban yang tergesa-gesa dan raut muka yang panik. Untung kepiawaianku dalam mengolah kata bisa membantu.

“Amel, apa-apaan sih ? Ga usah bawa-bawa dia!” kata si bos sambil menariknya.
“Loh siapa yang bawa-bawa ?? Kamu yang bawa-bawa!!”
“Loh koq aku yang bawa-bawa ?”
“Iyah kamu yang bawa-bawa dia dalam kehidupan kita. “
“Kita udah ga ada hubungan apa-apa lagi.” Kata si bos dengan nada yang makin tinggi
“Tuh kan kamu ? Lebih mentingin orang lain daripada aku, lebih mentingin dia daripada aku.” Kata Amel terbata-bata sambil menunjuk diriku

Aku ? Koq aku ? Sepertinya semua orang di luar ruangan pasti tau sedang ada adegan action disini. Sepertinya sebentar lagi aku bisa menjadi korban main hakim sendiri yang dilakukan oleh sepasang muda mudi yang sedang melakukan aksi saling mencerca.

“Mentingin dia daripada kamu? Sadar ga dulu kamu lebih mentingin karir kamu daripada aku ? HAH!!!”
“Sekarang kan aku udah ikutin apa maunya kamu. Kenapa sih malah selalu nyalahin yang dulu-dulu. Aku sekarang lebih mentingin kamu, malah ga dihargain.”
“Sekarang udah telat !!! Ngerti ? Penghargaan kamu saat ini udah ga berarti. Aku mau kerja. Bisa tolong keluar ?”
“Kamu ? Kamu ?” sahut Amel seraya menarik nafas dalam. “Aku pulang.” Kata Amel dengan langsung melangkah keluar ruangan

Aku berusaha untuk pura-pura tidak mendengar apapun. Aku lebih memilih untuk tidak terlibat, walaupun aku sebenarnya terlibat secara tidak langsung. Kuambil headset dan kupasangkan di kedua telingaku, menaikkan volume, dan mendengarkan musik. Aku tak peduli. Tak usah peduli. Itu urusan mereka dan bukan urusanku. Meski dari tadi mukaku selalu jadi sasaran empuk telunjuk seorang wanita yang sedang dilanda badai emosi dan tekanan jiwa.

Si bos langsung keluar dan sudah pasti merokok. Ah, aku ingin merokok juga. Tapi begitu kulihat email yang menumpuk, aku lebih memilih menyelesaikan pekerjaan. Arrgh, pasti kejadian tadi akan menjadi perbincangan hangat di kantor, hangaaat sekali, sampai-sampai aku akan merasa gerah dan kepanasan.

Tak terasa sudah mau jam pulang. Aku dan si bos hanya berdiam dan tak berkata. Asli, tuh orang tak membahas apapun, minimal minta maaf keq. Tunangannya sudah menunjuk-nunjuk mukaku tanpa izin. Ditambah lagi, besok aku akan masuk hot news dan menjadi topik pembicaraan utama, bukan sebagai korban, tapi orang ketiga di dalam hubungan atasanku dengan tunangannya. Padahal itu semua fitnah tak berujung. Aku ? Kapan aku pernah menjadi orang ketiga diantara mereka ? Aku hanya menyelipkan kelaminku di antara kelamin mereka, dan tak pernah bermanja-manja dengan Sang Pria. Kami benar-benar hanya menyelipkan sepotong kelamin diantara kelamin yang lain. Orang ketiga ? Orang ketiga itu sering kali diungkapkan untuk orang yang mengganggu hubungan percintaan sepasang kekasih. Aku tak mengganggu, buktinya si bos tak merasa terganggu. Aku justru yang merasa terganggu karna kelakuan si bos akhir-akhir ini. Dan aku tak bisa dibilang pengganggu, yang mengganggu itu kelamin kami yang pada saat itu tak sengaja bertemu dan menyukai satu sama lain dan hatiku pun tak merasa adanya bahan kimia yang meletup antara kami. Tak pakai hati! Rumusan kimia yang sering kali disebut dengan sayang, bukan berbumbu oleh kedua kelamin beda jenis kelamin, tapi harus berbumbu hati beda jenis kelamin. Sok tau ! Manusia tidak bisa menjadi profesor dalam soal hati. Karena profesor hati itu Tuhan kita sendiri, karena hanya Tuhan yang bisa membolak-balikkan hati.

Oiya, hampir aku lupa mengirimkan sms kepada Kinar.

Kinar, bisa ketemu gw jumat ini ? jam 10, di Little Baghdad, Kemang. Ramdan wil be there. Okaaii!

Tak lama kemudian sms balasan datang,


Okaii. Semoga semua lancar. Semoga dia mau mengakui gw dan anak gw. Makasihh ya, Di.

Membaca sms itu, aku hanya bisa berkata dalam hati. ‘Huuff, semoga saja’. Ketika aku merapikan barang-barangku, dan bergegas mau pulang. Ada sms mengguncang ponselku, Digo ?

Diar, tau Rachel kemana ? Aku di rumah kamu, mau ajak Rachel makan.


Heh ? Digo mau ajak Rachel makan ? Tumben, wew reaksi kimia sudah terjadi ni.

Harusnya sih Rachel ada, dia ga bilang kalo dia mau pergi. Tanya aja sama bibi. Tumben nih ngajak Rachel makan. Ehem ehem, selamat yaa.

Digo, digo, digo. Pria yang bertahun-tahun selalu menatap dan tertuju padaku. Sekarang sudah beralih, meski belum sepenuhnya. Entah harus sedih atau bahagia. Dia satu-satunya orang yang sampai sekarang masih tulus menyayangiku. Entah harus menyesal atau bersyukur, karena aku melepaskan pria yang berhati malaikat bagiku. Mungkin dia memang turun ke bumi untuk adikku, bukan untukku. Mungkin dia hanya diuji hatinya oleh Tuhan agar menjadi malaikat berhati suci dan bersih, ujian yang mengharuskan dia menyayangi diriku dengan sepenuh hati dan setelah itu mengikhlaskan hatinya untuk melepaskanku. Setelah lulus, maka dia akan dikirim ke manusia yang memang ditakdirkan untuk dia jaga, Rachel.

Bibi juga ga tau Rachel kemana. Tadi katanya langsung ngeloyor pergi. Ponselnya mati. Hmm, koq perasaan gw bilang kalo dia ngambek yah, Di ?

Rachel ngambek ? Ngambek soal apa lagi dia ? Ga mungkin ah, tapi ga mungkin juga dia pergi ga bilang-bilang. Ponselnya mati pula. Apa bener dia ngambek ?

Ngambek ama siapa ? Ama lo ? Ga lagi berantem kan ?

Kutunggu balasan dari Digo.

Ga, tadi pagi masih idup ponselnya. Apa ngambek sama lo lagi kayak waktu itu ?

Ngambek sama aku ? Kayaknya ga mungkin, kami tak bertengkar.

Masa sih ? Kayaknya nggak deh, orang ga berantem sama sekali. Lo pulang aja deh dulu. Nih gw dah mau pulang ke rumah. Ntar, gw tanyain temen-temennya. Ntar gw kabarin.

Tak lama setelah kubalas sms Digo, masuklah sebuah sms ke ponselku.

Yowes, tolong dikabarin yah Di. Ntar dia keluyuran lagi malem-malem.

Khawatir ? Digo khawatir soal Rachel. Sudah pakai hati. Pakai hati ? Rachel sudah mulai merambah di hatinya, bagaimana denganku ? Sudah tergeserkah ?

Ciee, yang khawatir.

Langsung kuberlari keluar ruangan, kusapa si bos seadanya untuk pamit pulang. Setelah kejadian tadi, dia sama sekali tak berinteraksi. Peduli amat ah!!! Kutuju mobilku, kulaju ke rumahku, akhirnya setelah beberapa jam bernaung dengan kemacetan di jakarta, sampailah aku ke rumah. Kubuka pintu pagar, kurapatkan mobil masuk ke garasi. Kubuka pintu depan, kulihat sekeliling dalam rumahku, hanya ada bibi yang baru selesai sholat.

“Rachel, kemana Bi ?”
“Ga tau non. Tadi langsung pergi ga bilang, buru-buru gitu perginya.”
“Ohh, ya udah deh Bi, siapin makanan yah. Aku laper. Aku beresin badan dulu.”
“Baik non.”

Kumasuki kamarku, ahh langsung aku merebah di tempat tidur idamanku. Enaknya, melepas lelah. Menggeliatkan badan setelah seharian menghadapkan wajah ke layar notebook. Ganti baju, ah. Kuraih lemariku, dan memilih setelan kaos dan celana pendek andalan. Mengambil handuk dari rak bawah lemariku, eh koq kotakku terbuka setengah. Kukeluarkan kotak itu dan kulihat buku diariku tak tersusun rapi. Dan diary yang seharusnya ditumpuk dipaling bawah kini sudah berganti posisi ke paling atas. Ahh, Rachel ? Rachel baca diaryku ? Buku diaryku yang paling bawah soal Digo. Damn, i know it!!!
Lupa aku mengganti pakaian kerjaku dengan kaos dan celana pendek yang sudah kupilih, aku langsung menuju telepon rumah dan menelepon Digo.

“Digo ?”
“Iyah, gw nih. Diar ? Gimana Rachel udah pulang ke rumah ?”
“Belum, dia ngambek kayaknya.”
“Ngambek gara-gara apa, Di ?”
“Gara-gara gw dan tulisan gw kayaknya. Udah dulu yah, mau telponin temen-temennya ni.”
“Hah ? Tulisan ? Tulisan apa ?
“Ada deh ah, pokoknya tulisan.”
“Ohh ya udah aku bantuin deh cariin. Makasih, Di!”
“Makasih kenapa ?”
“Makasih udah ngabarin. Baii Diar. Nanti aku kabarin juga.”

Hmm, ada yang aneh dengan bahasa Digo yang sedemikian singkat. Dan tidak mengkhawatirkan aku sama sekali. Ohh, ini toh rasanya. Dulu ketika seorang berlaku setia dan selalu diriku yang terlihat, aku memilih untuk menjauh dan buang muka, lain lagi rasanya ketika orang itu berlaku tak peduli dan melupakan, rasanya kehilangan. Pantas, di dunia ini banyak sekali seorang mantan yang mengganggu hubungan mantan kekasihnya dengan pasangannya yang sekarang ketika dia sudah berpindah ke lain hati. You know what i mean. Aku bukan mahluk rendah seperti itu, bagiku mantan hanya seorang mantan. Tak lebih dari masa lalu, karna aku sudah buat dia berlalu dari hidupku.

Kuhubungi teman Rachel satu persatu, tak ada yang tau keberadaannya. Rachel, dimana dirimu ? Menurutku, dia akan mendatangi Digo seperti dulu. Tapi tetap saja aku sebagai kakaknya tak tenang. Terus aku menghubungi orang yang memang mengenal Rachel, tapi nihil. Sampe akhirnya aku mendapat telepon dari Digo.

“Halo, Diar.”
“Iyah, ada kabar ?”
“Rachel baru dateng. Dia ga mau ngomong sama sekali. Gimana ? Lo mau kesini ?”
“Hmm, ada di tempat lo. Ya udah biarin aja dia disana dulu. Sampe tenang. Gapapa kan kalo dia di tempat lo ?”
“Gapapa sih, nanti biar gw tidur di sofa.”
“Ya udah, makasih yah. Jagain adek gw ya!”
“Iyah, Diar. Kapan sih gw ga jagain adek lo. ”
“Iyah deh, tauu. Ya udah, ntar kalo kenapa-kenapa kabarin ya.”
“Iyah.”
“Baii, Digo.”
“Baii, Diar.”

Benar seperti apa yang kuduga, dia memilih Digo untuk menyamankan diri. Aku tau setelah membaca buku diaryku, dia akan bimbang untuk meneruskan perasaannya dengan Digo atau berhenti. Aku tau dia takut kecewa. Kecewa atas pria. Sama sepertiku terhadap Digo dulu. Memang kami para wanita suka sekali menghindari kekecewaan, lebih senang main aman dan melarikan diri. Kami berdua dibesarkan dengan agama yang kuat tapi nyatanya iman kami rapuh, hati kami pun rapuh. Rapuh dan merasa takut hati ini akan luluh lantah berantakan.

Kubiarkan Rachel bersama Digo, dan aku menyelesaikan pembersihan diriku yang tertunda. Kuambil handuk dan kumasuki kamar mandi yang menjadi tempat paling menyenangkan untuk menangis. Kubasahi diri dengan air mengalir dan kusabuni setiap lekuknya. Kubilas dan kuhanduki. Aku berjalan melangkah menjauhi kamar mandi itu, dan mengambil pakaian yang memang sudah aku siapkan. Kupakai kaos dan celana pendek itu. Tak lupa aku mengenakan underwearku. Setelah itu, aku bersantai, sambil mendengarkan lagu yang melantun dari dvd playerku. Tak lama, aku ambil buku diaryku dan kutulisi. Kutuliskan semua yang ingin aku tulis.

Dear Diary,

Aku sudah pulang dari tadi, tapi aku harus mencari Rachel. Rachel hilang lagi, tapi sekarang sudah kutemukan. Guess where ? Digo’s apartement. Digo juga sedikit menghilang, entah menghilang atau aku yang merasa kehilangan. Dia bukan lagi Digo yang dulu. Yang selalu mengucapkan kata-kata manis untukku, yang selalu menungguku walau aku tak menunggunya. Aku seperti anak kecil yang kehilangan penggemarnya.
Diary ? Saudarimu tadi diintip adikku. Iyah, kakakmu yang menyimpan kenanganku dengan Digo. Tergambarkan aku yang memang sangat menyayangi Digo. Tergambar, aku masih memberi hati walau kami sudah berpisah.

Rachel bimbang, bimbang untuk melengserkanku di hati Digo. Bimbang apakah dia mampu ? Bimbang apakah kakaknya benar-benar sudah lupakan Digo ?
Aku sudah lupa ? Bagaimana aku bisa lupa ? Dia orang yang pertama yang menyayangiku dengan tulus. Dia orang pertama yang tak peduli betapa buruknya diriku. Dia orang pertama yang kusayangi dengan setulus hati. Bagaimana aku bisa lupa ? Aku sendiri pun tak kan mau melupakan itu.
Diary, sebentar lagi aku akan menjadi The hottest employee bulan ini karena sudah menjadi orang ketiga diantara si bos dan Amel. Padahal aku kan ga ngapa-ngapain. Kelaminku memang ngapa-ngapain tapi kan aku nggak. Bayangkan saja, diriku dari tadi ditunjuk-tunjuk oleh jari telunjuk Amel. Bohong sekali kalau karyawan lain yang di luar ruangan tak mendengarnya. Suaranya tak bisa dibilang kecil, suaranya membentak. Dan tak ada yang minta maaf. Padahal aku kan korban. Korban kambing hitam atas masalah yang tidak dipelopori olehku.

Aku kesal minggu ini, hari ini tambah kesal. Ingin cepat-cepat jumat. Akan kuluapkan semua kekesalanku kepada Ramdan. Ramdan, kau sudah menjadi mayat berjalan. Tinggal tunggu saja ajalmu menjelang.
Di dalam alunan musik, diriku memaksa tubuhku untuk tidur. Tidur. Tidur agar terlelap di dunia yang tak nyata dimana aku bisa berimajinasi sesukanya.

Beberapa jam kemudian, bibi membangunkanku ada seorang yang datang dan menunggu di luar. Dengan setengah hati, aku membangunkan diriku dari tempat tidur empuk kesayanganku, merapikan diri, dan beralih ke luar rumah. Ternyata ada seorang pria yang sedang bersender di mobilnya. Bos ?

“Bos ? Ngapain kesini ?” tanyaku kaget

Dia langsung menarik tanganku serta badanku masuk ke dalam mobil. Masih memakai celana pendek, kaos, dan tanpa berbalut alas kaki.

“Ikut aku.”
“Kemana ? Aduuh si bos ada” aja deh. Ga pake sendal nih.”

Dia hanya menatapku tajam dan kembali larut dalam arus jalanan di jakarta. Saat ini, aku tau dia sedang galau. Biasanya kalo si bos lagi ribet sama urusan kantor, dia cuma menatapku seperti saat ini, seperti menggaungkan ‘ga usah banyak tanya’.

“Bos, kita emang mau kemana ?”
“Jangan panggil aku bos lagi. Panggil Abi. Ini bukan kantor!”

Galak sekali dirinya. Tatapan tajam yang tak pernah kulihat. Aura emosi dan bimbangnya kuat sekali. Diriku sampai tak berani untuk bergerak meski hanya menggerakkan lidah. Aku hanya terpaku dalam kursiku dan terpaut pada trotoar pinggir jalan. Kami memasuki jalan tol dan baru kusadari mobil ini akan melaju ke arah bogor. Bogor ? jauh banget. Mau protes, tapi takut.
Aku hanya pasrah menerima perlakuan si bos yang makin tak tentu arah. Aku layaknya anak kecil yang tak tau mau dibawa kemana, dan tak ada bayangan apapun mau melakukan apa. Setelah beberapa jam baru sampai kami di tujuan. Macet yang mendera dan hawa aura yang tidak menyenangkan membuat perutku sakit. Kami sampai di sebuah villa dengan pemandangan yang wow. . Diterangi oleh terangnya lampu-lampu berwarna kuning, cantik sekali sebuah pemandangan hijau yang terhampar. Tapi tetap saja yang kurasa hening, di otakku tak tersisa sama sekali ilmu untuk mencerna ini semua.

“Bagus yah, Di.”
“Iyah, bos. Cantik.”
“Abi. Bukan bos.” Katanya tak suka dengan panggilan bos.
“Iyah, Abi.” Kataku singkat agak sedikit takut.

Melihatku diam tak bicara, melihatku berbicara singkat, melihatku berbicara tak cerewet seperti biasa membuat dia sadar kalau aku sedang merasakan takut dan tak nyaman. Membuat hatinya tergerak mengeluarkan sebuah jaket dari mobilnya dan memakaikannya di bahuku. Dipeluknya aku dari belakang. Aku terhenyak, diriku merinding. Rasa ini ? Rasa ini tak aku inginkan kembali. Merasa terharu dan inginkan saat ini tak hanya sampai disini.

“Cantik, kayak kamu.” Katanya masih dengan memeluk diriku dan mencolek hidungku.
“Bos. Eh, maksud aku, Abi. What it means ?” kataku sedikit terbata-bata
“I’m into you.” Katanya singkat sambil terus merapatkan badannya
“Amel ?”
“She’s nothing now.” Katanya ketus.

Mendengar nama Amel, dia seperti terguncang. Dia langsung membalikkan badanku menghadapnya.

“Aku tau aku itu pernah punya hubungan khusus sama dia. Tapi itu udah lewat, Di.”
“Kamu sedang emosi sepertinya, kita pulang aja. Kalo sudah tenang, bicarakan hubungan kalian. Jangan bawa-bawa aku.”
“Hubungan apa sih, Di. Aku udah ga ada hubungan apa-apa lagi.”
“Pertunangan!!!”
“Udah berapa kali sih, Di, aku bilang sama kamu. Sekarang kamu lebih berarti. Dan ga usah ungkit-ungkit Amel!”
“Apa alasan kamu ? Apa alasan kamu tinggalin Amel ? Apa alasan kamu pilih aku ?”
“Aku putus dari Amel, karna ada yang tidak bisa dia berikan ke aku.”
“Apa?” tanyaku membentak
“Waktu dan penghargaan.”
“Maksudnya ?”
“Dia ga pernah ada buat aku. Yang dia pentingin, kerjaan dan karir. Padahal aku udah luangin waktu aku buat dia. Aku juga sibuk, tapi aku selalu luangin waktu kalo dia lagi ada di Jakarta. Dia ga pernah sedikitpun menghargai apa yang udah aku lakuin buat dia. Aku udah siapin makan malam, liburan, dan mungkin masih banyak lagi. Tapi apa ? Dia segampang itu bilang putus.”
“Itu kan bisa dibicarain. Kalian masih bisa balik lagi koq.”
“Udah telat, Di. I’ve already found you before she realized what i’ve done for her.”
“Kenapa pilih aku ? Pelampiasan ? Ganjelan pintu ?”
“Bukan, Di.” Si bos langsung membentak dan menunjukkan muka serius dan tidak main main.
“Kalo bukan, kenapa ?”
“Aku tau kita pernah have a sex. Mungkin kita bisa dibilang dekat gara-gara itu. I have a lot of nice moment when i have a sex with you. Nyaman. Itu yang aku rasain. Dan semakin kesini, kamu itu menarik. Aku bahkan suka senyum” sendiri kalo aku ingat kamu. Hal hal kecil seperti itu yang tidak aku dapatkan dari Amel. Nyaman. Kepenatan tiba-tiba hilang kalo liat kamu cembetut sama sekarang dan ketawa kayak orang gila. Betapa liarnya tingkahmu membuat hariku semakin berarti. ”

Air mata ? Air mata ? Air mata ini keluar. Jangan keluar. Jangan keluar. Tak kuat kutahan. Runtuhlah sudah. Runtuhlah sudah hatiku. Aku benci rasa seperti ini terulang lagi. Aku benci keinginanku untuk memiliki timbul kembali. Tanpa sadar tanganku sudah tergantung di lehernya. Kupeluk tanpa banyak basa basi.

Kelelahan diriku menangis membuat si bos memutuskan untuk beristirahat sejenak di dalam villa. Kami tidur satu ranjang. Dia dengan posisi duduk terus mengelus keningku, sementara aku tertidur pulas. Aku nyaman. Tak ada kelamin sama sekali. Kelaminku pun bahkan mengakui kalau sekarang dia nyaman meski tak bertemu kelamin beda jenis kelamin. Kelamin pun tertidur mengikuti jejakku.

Sampai akhirnya kuterbangun, jam pun menunjuk pukul 3 pagi. Pulanglah kami ke jakarta dengan rasa yang berbeda sekali ketika kami pergi. Rasanya nyaman, kami pun riang. Bercanda tawa tanpa takut yang terasa. Saling menyindir satu sama lain. Dan kemudian menyanyi bersama mengikuti lagu yang sedang diputar di radio. Indah. Tak terasa, sangat tidak terasa sama sekali, ketika mobil si bos sudah menongkrongi pagar rumahku. Kami berdua pun keluar, saling mengucapkan salam perpisahan hangat. Dan mendaratlah bibir seorang Abi di bibirku, dengan bodohnya aku membalas kecupan yang terasa begitu hangat. Terasa begitu berarti. Terasa begitu riang.

“Abi ?” sahut seorang wanita

Kulihat ada seorang wanita yang sedang berdiri lunglai di luar rumahku di depan sebuah mobil yang jelas sekali bukan mobil si bos. Kulihat lagi dengan penuh seksama, kulihat lagi dengan mata polos tak berkedip

“Amel ?” kataku kaget dan sekujur tubuhku seakan kaku
“Abi ? Kamu ? “ sahut Amel tak percaya apa yang terjadi sambil terisak menangis.
“Amel ? ngapain kamu disini ?” tanya si bos dengan nada tinggi
“Aku ngikutin kamu. Ga penting juga kamu nanya gitu. Kamu tega banget sih sama aku. Apa maksudnya kecupan tadi ? Jawabbb!!!” Katanya kembali sambil terisak.

Tak lama kemudian ada sebuah mobil lagi terparkir di depan rumahku. Digo membawa serta Rachel keluar dari mobil. Mereka tampak bingung tak menyangka. Tapi aku tau di dalam otak mereka sudah terekam reka adegan yang mereka buat sendiri.

“Aku pilih Diar, Mel.” Kata si bos tegas tanpa ragu.

Mendengar semua pengakuan si bos, semua orang tersentak, termasuk aku. Aku tambah membekukan diri. Larut dalam perasaan bersalah. Entah bersalah, entah tak mau disalahkan. Entah apakah aku bersalah atau tidak. Aku merasa berada di ambang batas salah dan benar. Aku merasa salah karna pertemuan kelaminku dengan kelamin si pria ketika dia masih bersama tunangannya. Aku tidak merasa bersalah karna aku sama sekali tak bersikap persuasif, aku justru tak pernah menghasut atau mengganjenisasi diriku agar sang pria tertarik padaku.

“Tapi...tapi aku kan..aku kan...aku kan tunangan kamu.”
“Dulu iyah, sekarang nggak lagi.” Kata si bos dingin
“Gimana aku kasih tau ke keluarga aku, Bi ? HAAAAH ?”
“Biar aku kasih tau, kamu tenang aja soal itu.”

Tiba-tiba badan Amel langsung beralih kepadaku yang sudah tampak dingin membeku tak bisa berkata apapun. Rachel langsung menghampiriku dan memegangiku. Dan dalam hitungan detik, telapak tangan Amel sudah mendarat di pipiku membuat sekujurnya merah.

“Kamu ? Lacur kamu. Beraninya kamu merusak hubungan kami.” teriak Amel
“Eh jangan asal ngomong yah sama kakak gw. Lo tuh yang lacur. Dasar ga tau diri ribut di rumah orang. Cowo lo aja yang emang demen sama kakak gw, kenapa kakak gw yang disalahin ?” teriak Rachel tak terima

Dengan cepat pula, telapak tangan Abi sudah mampir di pipi Amel dengan lancarnya.

“Pulang!!! Ini bukan salah Diar. Jangan bawa-bawa dia. Kita itu putus gara-gara sikap kamu, Mel. Bukan gara-gara Diar.” Teriaknya dengan penuh emosi.

Beberapa tetangga yang mendengarnya, langsung keluar rumah dengan segera. Mungkin mereka terganggu karena ada keributan atau mereka hanya mau melihat pertunjukan yang sedang terjadi.

“Pulang, kamu!” kata si bos sambil menarik Amel keluar dan menyuruhnya masuk mobil dan menungguinya sampai dia menyalakan mesin mobil dan melaju. Setelah kira-kira setengah jam, dia bergelut dengan Amel, melajulah mobil tunangannya dengan kecepatan tinggi. Lalu dia menghampiriku, memelukku dan berkata ‘Maaf’.

“Maaf. Kamu ga usah masuk kantor hari ini. Istirahat aja ya.”

Sama seperti yang sudah”. Air mataku tak bisa berhenti, menangis terus, membuat kaku diri ini. Aku tenggelam di peluknya tanpa peduli apa kata orang sekitar. Tanpa peduli dengan pandangan orang di sekelilingku. Bahkan aku tak perduli dengan kehadiran Digo. Setelah lama dan kelelahan, aku memutuskan untuk segera pergi tidur, dan si bos pun pamit pulang dan menitipkan diriku kepada Rachel. Digo pun pamit pulang setelah Rachel membawa masuk serta diriku ke dalam rumah.

Setelah kubersihkan diri lalu beranjak tidur, Rachel pun menemaniku tidur di kamarku. Sebelum kami berdua memejamkan mata, aku bertanya satu pertanyaan kepadanya. Pertanyaan yang mungkin sedikit sentimentil namun berarti.

“Hel, lo kenapa ngambek ?”
“Udah ga ngambek lagi koq.”
“Soal Digo.”
“. Iyah tapi udah gapapa sekarang.”
“Gara-gara baca diary gw ?”
“Iyah, tadinya. Trus gw dateng ke Digo. Trus dia kelabakan liat gw ngambek. Gw dimasakin makanan deh. Langsung seneng lagi gw. Lo kenapa tadi ?”
“Ga kenapa-kenapa.”
“Ga kenapa-kenapa koq nangis. Dulu terakhir kali gw liat lo nangis pas sama Digo. Lo suka beneran yah sama bos lo ?”
“Ga tau. Iyah kali. Udah ah ngantuk.”
“Bos lo kayaknya baik. Meski sedikit nakal. . But i think he’s really into you.”
“Masa ? Lo liat dari mana ?”
“Yah gw liat ngapain juga dia lebih milih lo daripada Amel. Udah jelas-jelas Amel cantik, semampai, tipe-tipe cewe cantik yang kerjaannya ga jauh” dari salon. Yah kalo dia milih lo, berarti beneran sayang. .”
“Cumiii, serius dikit napeee.”

Mendengar jawaban itu, aku langsung menarik selimutku dan bersiap untuk tidur. Merampungkan semua pemikiranku agar tak terpecah menjadi kepingan kecil. Memberikan hati kepada seorang pria kembali sama saja bersiap untuk hukuman mati. Rasanya hati dan otak akan segera meledak. Tinggal tunggu waktu. Waktu yang setiap saat terus terhitung mundur. Bahkan untuk menulis saja aku sudah tak sanggup. Rasanya sesak dan penat. Di saat aku memejamkan mataku, di saat itu pula, air mataku kembali jatuh.

I'm not supposed to love you, I'm not supposed to care, I'm not supposed to live my life wishing you were there. I'm not supposed to wonder where you are or what you're doing, but I can't help it, cause I'm in love with you.
God, please make me survive this time.

***

Ditelusurinya tempat tidur itu, dilihatnya foto-foto yang terpajang rapi di kamarnya yang luas. Fotonya berdua dengan seorang pria. Pria yang sudah lama menjadi tunangannya. Pria yang dia pikir akan menjadi pendamping hidupnya selamanya. Sejenak dia pun berpikir, hidup ini tak ada yang tau kecuali Tuhan. Padahal pernikahannya sudah di depan mata, bisa hancur dalam sekejap. Matanya tak bisa menahan butiran air mata yang sudah kering terkena AC mobil. Dan sekarang lebih mengering karna terkena AC kamarnya yang semakin dingin. Dia tau tak pantas dia menyalahkan seorang bawahan yang mungkin memang tak mengerti apa-apa. Dia mengerti sekali kalau ini yang akan terjadi. Dia peka sekali bahwa tunangannya diam-diam tertarik. Tapi dia sangat tau sekali, mereka putus bukan karna hal itu. Dia sendiri yang memutuskan kasihnya. Hanya karna karir yang dia pikir yang terpenting dalam hidupnya. Padahal dulu sang pria selalu ada untuknya, selalu khawatir atasnya, tapi kini sepertinay sosok itu akan segera menghilang. Menangis lagi dirinya di sudut tempat tidurnya. Dia cerna bebereapa kalimat yang tiba-tiba mengalun dalam aliran darahnya. Beberapa kalimat yang membuat dia merasa hancur tak berbentuk.

If I hadn't met you, I wouldn't like you. If I hadn't liked you, I wouldn't love you. If I wouldn't love you, I wouldn't miss you. But I did, I do and I will. Yeah, you’ re not mine again. I don't realize how much i care about you until you don't care about me. And I know i've never felt pain until I’ve felt love. Nothing hurts more than realizing you meant everything to me, but i meant nothing to you. Trying to forget someone i love is like trying to remember someone i never knew. And sometimes i think i've gotten over a person, but when i see them smile i suddenly realize i'm just pretending i'm over you to ease the pain of knowing that you will never be mine.

Suck of anything. The problem is not about lost. Missing you isn't the hard part, knowing I once had you is what breaks my heart. I can't talk to you anymore, it's not that I am mad at you, it's just that when I talk to you I realize how much I love you and when I realize how much I love you, I realize I can't have you and that makes me love you even more.

Dia arahkan badannya ke arah kumpulan foto-foto mereka berdua.

“Arrrrrrrrrrrrrrgh.” Teriaknya sambil memberantaki kumpulan foto tersebut dan terduduk diam dan menangis.

Dipandanginya semua pigura beserta foto yang terserak di lantai. Semuanya tercerai berai, sama seperti kondisi hatinya yang saat ini sedang berserakan entah kemana.

Terbangun aku agak siang daripada biasanya. Matahari sudah naik, tapi diriku belum beranjak sama sekali dari tempat tidur. Rabu, hari dimana aku tidak masuk kantor lagi. Sepertinya akhir-akhir ini sering sekali aku tidak masuk kantor. Semenjak kelamin si bos dan kelaminku bertemu, banyak hal terjadi begitu ekstrim dan cepat. Like global warming which destroy and create everything in that moment. Duduk aku di sofa ruang tengah, menatap beberapa media surat kabar yang mengabarkan banyaknya bencana alam, dari mulai banjir, gempa, sampai gunung merapi. Sungguh sadis pembalasan sekitar, sungguh ironis pembalasan Tuhan. Pembalasan Tuhan ? Apakah benar ini pembalasan Tuhan ? Atau cara Tuhan untuk mencuci hati kita agar kembali bersih agar manusia bisa merasakan dosa ? Apakah kejadian-kejadian yang akhir-akhir ini menimpaku merupakan cara Tuhan agar aku kembali merasa berdosa ?

Dosa ? Aku mengerti dengan sangat jikalau aku berdosa, aku memang penuh dosa. Dosaku sudah menghitam dan tak bisa memutih kembali. Dan aku rasa setiap manusia mengerti kalau dirinya berdosa, hanya mereka mengabaikannya. Seperti aku yang mengabaikan setiap kebaikan yang ada.

Ternyata Rachel sudah bangun, dia sedang membuat iring-iringan cemilan di tangannya. Disenderkannya badannya disampingku.

“Udah bangun lo kak ?”
“Udah, sini..bagi dunk gw cemilannya.” Kataku sambil menyosor bungkusan cemilan di pangkuannya.
“Sedih amat lo kak ?”
“Cape gw. Mata gw ni berat banget tapi ga ngantuk.”
“Ya iyalah, lo abis nangis sesenggukan gitu kemaren.”
“Cengeng yah gw. Gw aja jijik kalo liat gw nangis.”
“Itu berarti lo sayang, udah mau setingkat Digo berarti. Hahahaha.”
“Ngaco lo. Si bos koq disamain sama Digo sih. Kalah jauh. . . Gw udah ga ada rasa lagi lho ma Digo, lo jangan jealous yaks. “
“Masih ada kali dikit. Cuma kan sekarang teralihkan. . Dont worry, Digo itu emang harus diperjuangkan. Asal lo nya ga minat ngambil balik dia lagi aja. .”
“Yah nggak lah. Udah pusing gw dicaci Amel. Masa gw mau dicaci lo juga. Hari ini mau kemana lo ?”
“Ga tau tadi Digo sms gw, katanya mau maen kesini.”
“Ohh, gw ngapain ya ?”
“Yah lo di rumah aja.”
“Ntar gw jadi obat nyamuuk.”
“Ya elah yah nggak lah, udah lama banget kan ga ngumpul. Lo sambil smsan aja sama si bos.”
“Ga pake yeee gw sms dia. Ogaah!!!”
“Ya elah udah pengakuan hati juga, masih pake malu-malu anjing lagi. ”
“sial lo ah. Udah sana lo mandi, bau!!!” ledekku sambil menutup hidung.
“enak aja, belum mandi juga wangi tauu.”

Kuangkat diriku ke ruangan tempat tidurku, kududuk di kursi tempat aku berhias setiap hari. Kutatap cermin dan kupegang kelopak mataku yang lebih besar daripada biasanya. Perih, perih rasanya. Entah mata entah hati. Terbangun dengan amnesia sepertinya lebih mudah kujalani daripada harus melalui ini. Setelah berpuluh-puluh menit merenungi diri di depan cermin, beranjaklah diriku mengambil sebuah handuk dan memasuki kamar mandi, menanggalkan helai demi helai pakaianku, lalu membasahinya dengan air. Lama kubasahi tanpa kusabuni, hanya untuk meredam semua yang ada di hati. Sampai akhirnya kulitku mengkerut karna terlalu lama bersentuhan dengan air. Baru setelah itu kusabuni dan kubilas hingga bersih. Kuhanduki sudut demi sudut tubuh ini dan kulingkarkan di dadaku. Kukeluar dari ruangan itu menuju sebuah lemari. Kuambil underwear dan sebuah dress. Kupakaikan pada tubuhku. Kembali ku ke depan cermin, kubersihkan wajah ini dan kuoleskan pelembab. Lalu kusisiri rambutku yang tampak kusut . Tak juga lupa kupakai pelembab bibir di bibir yang sudah dehidrasi.

Aku dekati lemari yang biasa menemaniku di dalam kamar, kuambil sebuah kotak tepat di bagian bawah. Beberapa buah buku, buku diary yang berisi soal Radit dan Digo. Kukeluarkan dan kuletakkan di atas tempat tidurku. Kuambil ponsel dan kukirimkan sms ke sebuah nomor haram. Radit.

Bisa dateng ke rumah gw sekarang ?

Aku pun tak tau kenapa diriku menulis itu. Tanganku bergerak tanpa perintah. Tak lama kemudian, datanglah sms balasan dari Radit.

Bisa. 2 jam lagi kayaknya. Belum mandi soalnya. Ada apa ?

Dua jam lagi, Radit akan ada di rumahku. Dan aku pun mengiyakannya.

Ya udah, 2 jam lagi di rumah. Mau kasih buku.

Kutunggu dirinya di dalam kamar, sambil kudengar adikku bernyanyi riang di kamar mandi. Sepertinya Digo sebentar lagi datang. Fireworks – Katy Perry . Kudengarkan musik yang selalu kudengar di setiap hatiku mulai cemas. Cemas dengan apa yang kulakukan. Cemas dengan semua hal yang sudah terjadi. Setelah 30menitan, Rachel pun berteriak memasuki kamarku.

“Seeeet, dah rapi aja lo. Mau kemana neng ?”
“Ga kemana-mana.” Kataku singkat.
“Jutek bener sih. Eh, Digo bentar lagi mau dateng tuh. Ntar lo keluar juga ya.”
“Hmm, iyah.”
“Ya udah, gw mau beberes diri dulu nii, menyambut pria tampan. :”
“Jangan kelamaan dandannya, ntar bukan jadi neng cantik, malah jadi neneng P.A”
“Sial.” Sahut Rachel kesal

Ponselku bergetar dan menampilkan sebuah caller id ‘Radit’. Sms ternyata.

Aku udah mandi. Langsung berangkat. 1 jam-an lagi sampenya.

Terdengar deru mesin mobil di depan pelataran rumah, aku langsung beranjak dari kursiku dan menuju jendela. Kuintip dari balik tirai, hufft ternyata Digo. Lalu kudengar langkah kecil Rachel yang menyiagakan diri ke depan pintu. Kembali aku terduduk di kursi riasku, sambil sesekali bernyanyi tatkala mendengarkan musik. Kuintip terus jam yang tertera di layar ponsel. Berimajinasi apa yang akan aku katakan nanti. Kudengar obrolan basa basi dari Rachel, dia dan Digo sudah terasa akrab. Baguslah, demikian kata hatiku. Bersama Rachel, Digo aku ikhlaskan.

Waktu lama berselang, terdengar kembali suara deru mesin mobil, langsung menghampaskan diriku ke arah jendela. Huuf, bajingan pun sudah datang disertai dengan deru langkah Rachel yang melaju ke arah kamar.

“Kak, Radit! Ada Radit! Katanya lo yang nyuruh dia dateng ? Beneran ?” tanya Rachel sedikit panik
“Iyah, suruh tunggu di teras aja. Ntar aku keluar.”
“Serius lo ? Bukannya harusnya Jumat ? Di ruang tamu aja kalo gitu. Gw ma Digo pindah ke ruang tengah.”
“Loh kenapa ?”
“Nanti lo emosi, malu diliat tetangga. Kemaren kan udah bikin heboh.”
“Oh ya udah. Ya udah, ntar kalo kenapa”. Gw intipin dari ruang tengah.”
“Iyaah. Suruh masuk aja.”

Kulangkahkan kakiku dengan berat hati dan tak lupa kubawa semua buku diaryku yang bukan hanya satu buah. Kubelokkan diriku ke ruang tamu. Kulirik sekilas mata Rachel dan Digo, mereka hanya membelalakkan mata sembari mengilustrikan pertanyaan ‘Yakin ?’.

“Haii, Di.”
“Haii. Silahkan duduk!”
Kami berdua pun duduk di sofa dan terdiam kaku.
“Mau minum apa ?” tanyaku basa basi
“Yang ada aja deh.”
“Teh apa Kopi ?”
“Kopi aja.”
“Bentar ya.”

Aku menuju dapur mencari bibi, kutemukan dia sedang berada di ruang makan sedang bercinta dengan para sayuran dan pedaging tangguh. Kuminta tolong kepada bibi untuk membuatkan segelas kopi dan segelas air putih. Setelah itu aku langsung beralih kembali ke ruang tamu dan duduk di sofa yang sejak tadi sudah menantiku.

“Hmm, gw mau ngomong sama lo. Jangan potong omongan gw. Dan disini, lo ga punya hak buat ngomong. Lo boleh ngomong di hari jumat nanti.”
“Hmm, emang apaan yang mau diomongin, Di ?”
“Gw mau lo jangan ganggu gw lagi. Kalo lo tanya kenapa ? Ini alasannya.”

Kataku sambil memberikan setumpuk buku kisah kelabilan jiwaku

“Apa ini ?”
“Baca aja dulu, ntaran juga lo ngerti. Jumat nanti terserah deh lo mo ngomong apa. Yang penting lo baca dulu itu semua.”
“Hmm, ya udah. Jumat nanti, bukunya gw bawa lagi.”

Tak lama kemudian bibi datang membawa satu buah gelas dan satu buah cangkir. Diletakkannya di atas meja ruang tamu. Kupersilahkan Sang Tamu untuk meminumnya. Diseruputnya secangkir kopi itu masuk ke dalam mulutnya.

“Cuma ini doang yang mau diomongin, Di ?”
“Iyah. cuma itu doang. Jumat nanti baru ngomong lagi.”
“Ohh ya udah deh kalo gitu, gw langsung pulang.”
“Hmm, iyah. Diabisin dulu aja kopinya.”

Kembali pria yang ada di depanku memaksakan diri untuk menenggak teguk demi teguk kopi. Setelah itu, dia pun mohon pamit. Dan dengan senang hati, kulepas dirinya pulang. Sampai kurasa, deru mobilnya sudah tidak terdengar lagi, langsung kuseret diriku lemah ke kamar tidur. Sebelum sempat menginjakkan kaki disana, diriku sudah direnteti pertanyaan di ruang tengah.

“Diar, itu diary kamu kan ? Koq dikasih ke Radit ?” tanya Digo
“Kak, lo ga kenapa-kenapa kan ? Ngapain itu pake acara kasih-kasih diary lo segala ?” lanjut Rachel
“Aku udah cape. Mumet. Bingung mau ngapain. Jadi aku kasih aja diary aku.”
“Buat apa ??” tanya Rachel dan Digo kompak
“Biar dia tau penderitaan gw. Biar dia tau ga segampang itu gw nerima dia lagi di hidup gw. Even as a friend.”
“Kamu gapapa kan, Di ? Mau ke dokter ?”
“Iyah kak, lo mau ke dokter ? Atau istirahat aja deh lo di kamar.”
“Istirahat aja gw di kamar.”

Tak kugubris pandangan mata mereka. Terhenyak dan terheran heran dengan apa yang aku lakukan. Langsung kusinggahi ranjang yang biasanya kutiduri. Masih tersisa satu diary. Tanganku tak kuasa menahan reaksi atas semua yang terjadi, tertulislah semua rasa yang ada di dalam diri.

Dear Diary,

Entah apa yang susah kulakukan. Aku tak tau pasti kenapa aku membiarkan seorang bajingan untuk membaca teman-temanmu, diary-diary ku yang lain, diary-diaryku yang lahir sebelum kau dilahirkan untuk ditulisi. Yang ada di otakku sekarang adalah memutuskan semua hubungan yang sekarang sedang berlari-lari di hidupku. Mulai dari Digo, Radit, Ramdan, dan tak terkecuali Si Bos.

Sudah selesai dengan Digo. Akan kututup semua pintu masa lalu. Radit pun akan berakhir seperti itu. Kubiarkan dia membaca teman-temanmu agar dia mengerti aku ini sudah banyak sakit karna dia. Tak mungkin sekali aku bisa menerima dia ke dalam hidupku even as a friend. Dia harus tau sedalam apa goresan yang pernah dia tinggalkan. Dia harus tau betapa aku menderita karna hal itu. Dia harus tau bahwa perbuatannya membuat diriku benar-benar tak sanggup untuk memulai suatu hubungan terikat. Dia juga harus tau betapa keberanianku habis karnanya. Betapa sudah kusakiti banyak orang yang tulus menyayangiku hanya ketakutan-ketakutan fiksi yang kubuat sendiri. Ketakutan akan setiap pria. Pria yang selalu kulukis bajingan seperti dirimu. Dia harus tau kalo aku benar-benar tak menginginkan dia hadir dalam hidupku.

Ramdan, akan kuakhiri semua. Kau bocah munafik yang tidak pernah sadar atas semua yang kau perbuat. Kau terlalu malu untuk mengakui perbuatan bejadmu. Bahkan kau tak punya nyali untuk mengumandangkan bahwa dirimu bukan pria baik-baik. Semua palsu.
Abi, pertama kalinya kutulis namanya di diary ini. Banyak hal yang bergejolak sekarang jika kusebut nama ini. Batinku berkecamuk dan tak pernah aku ingin tau kenapa. Banyak hal yang tidak seharusnya terjadi. Ciut aku jika berhadapan denganmu. Semua kastil dan benteng yang kubangun untuk perlindungan diriku seketika hancur, roboh, remuk tak berbentuk. Tapi anehnya, aku malah merasa aman. But bullshit with this shit feeling, i choose not to feel. You are hers. Not mine.

I’ll tell you what, this is move on. Move on ? Move on, i think. Ignore all of my feeling. Pathetic.
Bahkan aku mengerti ini menyedihkan. Terkadang aku berharap terbangun dengan kondisi amnesia, agar aku bisa kembali berfikir dan bertindak normal, layaknya orang kebanyakan.

Tertidur lagi aku rupanya. Aku melewatkan solat zuhur. Payah deh, ntar aku jamak aja deh sekalian pas ashar. Bau wangi ini membuat otakku tiba-tiba terhentak dan nyawa indra penciumanku langsung pulih. Aku kelaparan. Kuikuti bau makanan itu dan tubuhku langsung mengarah ke dapur. Kutemukan dua sosok manusia berbeda jenis kelamin yang sedang asik memasak.

“Kakak, koq bangun ? Tidur aja dulu, nanti aku bangunin.”
“Laper.”
“Heheheh aku masak lasagna nih, kesukaan kamu kan.”
“Iyah, biar lo seger lagi mukanya. Ga kece lagi lo kalo cembetut mulu. ” Kata Rachel menghibur
“Hehehehe, asiik makan lasagna. Aku cicip yaaah.” Kataku sambil mencoel makanan penentram hati
“Ihh, jorook bangeet sih lo. Udah tunggu aja di meja makan ntar dibawain.” Kata Rachel jijik
“Heheheh, bilang aja ga mau direcokin. Uhuuui.” Kataku menggoda keduanya

Kududuk dengan posisi sudah memegangi sendok dan garpu. Dan meninabobokan cacing perut yang kelaparan. Agak lama kutunggu lasagna itu datang, dan tanpa basa basi pun aku langsung melahapnya, membiarkan cacing ini kegirangan. Kami pun berbincang dan tertawa-tawa. Bercanda seperti tak pernah ada apa-apa di antara kami bertiga. Setelah selesai makan pun, aku pun shalat ashar. Tak lupa kujamak solat zuhurku yang tadi terlewat.

“Kak, ntar malem kita pada mau nonton, ikut ya !” ajak Rachel
“Ihh ogah, jadi obat nyamuk gw.”
“emang kamu baygon ? udah ikut aja, daripada sendirian di rumah.” Kata Digo membujuk
“Nggak bisa, aku ada urusan. Udah sih berdua aja. Biar lebih nikmat. ”
“Urusan apa lo ?” tanya Rachel tak percaya
“Ada yang mau dateng.”
“Si bos ?” tanya Digo
“Bukan. Udah pokoknya gw ga ikut.”
“Ya udah, kalo gitu, gw beliin pizza aja yaa.” Kata Rachel
“Boleh kalo itu. ” kataku yang memang berharap dibawakan makanan.

Setelah itu kami pun bercanda-canda, menonton tivi, dan menghabiskan beberapa bungkus cemilan. We are pretending like a family. Tak terasa matahari sudah mau berganti bulan, kami pun sibuk membersihkan diri masing-masing. Tak terkecuali Digo, dia pun menumpang mandi. Digo memang sudah sering sekali diperlakukan seperti ini. Sudah sangat terbiasa dengan rumah ini. Setelah kami semua selesai mandi dan sholat magrib, kami pun memesan nasi goreng langganan kami dan makan bersama di meja makan. Setelah selesai makan, Rachel dan Digo pun pamit pergi. Tak lupa kuingatkan pizza yang dijanjikan. Dan tinggalah diriku bersama bibi di dalam rumah. Kupanggil bibi untuk menemaniku nonton tv.

Tak berapa lama, kuambil ponselku di dalam kamar. Belum sempat aku mengirim pesan kepada Bobby untuk memastikan kedatangannya, ternyata sudah ada sms masuk dari Bobby.

Diar, gw kecepetan sampenya nih kayaknya. Jam 8an udah sampe, gapapa kan ?

Kubalas smsnya dengan singkat.

Oh ya udah, gw ada di rumah koq..

Kembali aku melanjutkan menonton dengan posisi tangan kanan yang memegang ponsel dan tangan kiri memegang remote. Sambil bersandar memiringkan tubuh ke sofa, kutunggu dirinya datang. Tak sampai satu jam lebih, terdengar suara mobil terparkir di depan rumah. Langsung aku meloncat dari sofa dan mengecek ke luar rumah. Terlihat Bobby dengan setelan kaos dan celana jeansnya turun dari mobil. Dan menghampiri pagar. Kuhampiri dirinya, kubuka pagar rumahku dan mempersilahkan dia masuk ke dalam. Tak lupa kutanyakan perkara basa basi soal minuman, dia pun memilih kopi untuk menemani obrolan kami. Kupesankan secangkir kopi kepada bibi yang ada di ruang tengah. Kami duduk terpisah. Bobby duduk di dekat pintu masuk. Aku duduk bersebrangan.

“Hmm, baik bob ?” tanyaku mengawali percakapan
“Baik, lo gimana ?”
“Baik gw. Cuma hari ini gw ga masuk kantor. “
“Loh kenapa ? Sakit ?”
“Iyah, kecapean.”
“Istirahatlah yang banyak. Eh, yang laen pada kemana ? Koq sepi bener ?”
“Ohh, Rachel lagi pergi nonton sama Digo.”
“Digo ? Digo tunangan lo itu ?”
“Mantan tunangan. ”

Bibi pun datang membawakan secangkir kopi dan beberapa makanan kecil untuk disajikan. Kupersilahkan Bobby untuk menikmati apa yang telah disediakan. Dia pun terlihat menikmati kopi serta cemilan yang berada di atas meja.

“Iyah, maksud gw mantan tunangan. Koq bisa nonton sama adik lo ?”
“Hmm, adek gw cinlok. ”
“Ohh, bisa yaa. Lo gapapa ?”
“Yah nggak lah, udah gw restuin dari dulu juga.”

Restuin ? Yakinkah diriku merestui mereka ? Digo ? Orang yang selama ini selalu menyatakan rasa sayangnya kepadaku. Selalu manis dan selalu ada untukku. Selalu bahagia untuk diriku. Sekarang berpindah ke wanita lain yang tidak lain dan tak bukan adalah adikku. Harus direlakan ? Sepertinya seharusnya kurelakan. Bukan begitu bukan ? Aku yang memutuskan pertalian kami dan sekarang memang seharusnya aku sendiripun merelakan dirinya bersama wanita lain. Lagian dia bukan sekedar beralih ke wanita lain, wanita lain itu adalah adikku sendiri.

“Eh, koq jadi ngomongin gw ? Lo mo ngomongin apa ?”
Terlihat dia buru-buru menyeruput kopinya dan menelan ludah.
“Hmm, ada hal serius yang mau gw omongin.”
“Soal Bian kan ? Lo mau mutusin Bian ya ?”
“Soal itu...”
“Bobby, lo harus dengerin gw. Gw tau Bian salah soal ini. Gw yakin dia juga tau dan mengerti sekali kalau dia salah. Dia khilaf, Bob. Dan dia juga merasa sangat bersalah sama lo, dia juga udah pasrah sama semuanya. Dia masih berharap lo masih mau melanjutkan hubungan sama dia, tapi tidak memaksa. Kata dia, kalo lo memang mau tinggalin dia. Dia bisa membesarkan anaknya sendiri karna dia sama sekali ga mau ngegugurin anak itu. Tapi gw harap banget, seandainya itu terjadi, tolong banget temenin dia sampai anaknya lahir. Lo tau kan dia ga punya siapa-siapa selain lo di kota ini, dan gw ga yakin dia bakalan kasih tau ke keluarganya soal ini. Gw tau lo marah, gw pun kalo jadi lo pasti marah. Dan itu wajar banget...tapi...”
“Diar, dengarin gw dulu !” kata Bobby langsung memotong pembicaraanku
“Tapi kan lo dah lama ngejalanin sama Bian, lo pasti tau Bian sayang banget sama...” Aku pun keukeuh melanjutkan ucapanku sampai selesai
“Gw akan menikahi Bian.” Katanya kembali memotong ucapanku.
“Hah ?”
“Gw akan menikahi Bian.”
“Serius lo ?”
“Serius. Gw dah pikirin semuanya. Gw akan melamar Bian dalam waktu dekat.”

Aku yakin sekali mukaku saat itu tak berekspresi. Layaknya nyawaku saat itu menghilang sebentar dan kembali lagi ke tubuh ini sanking kagetnya.

“Lamaran ? Orang tua lo gimana ?”
“Gw udah bilang sama orang tua gw. Gw bilang gw yang menghamili Bian. Gw yang maksa dia buat ML sama gw. Dan akhirnya, orang tua gw mengijinkan gw menikah. Yah meski agak berat hati, tapi gw yakin nanti lama kelamaan, mereka pasti biasa lagi.”

Tiba-tiba aku langsung mengambil ponsel dan sudah siap sedia untuk menghubungi Bian untuk menyampaikan berita baik ini. Tapi Bobby pun mengambil alih ponselku dan menyuruhku agar tutup mulut soal ini. Aku pun langsung mengerutkan dahi dan bertanya kenapa.

“Kita kan sama-sama tau persoalan ini menyedihkan.”
“Yeah, pathetic.”
“Gw tau bian tertekan banget, dia cuma pura-pura kuat. Wong kalo ada persoalan kantor aja dia stres, apalagi kalo soal ini.”
“Iyah sih, lantas ?”
“Lamaran buat dia harus jadi surprise. Jadi gw mau ngadain pesta surprise buat ngelamar dia. Dan gw butuh lo dan teman-teman Bian yang lain buat acara ini.”
“Mau. Mau. Gw mau ikut. Kapan ? ” kataku ingin sekali menyemarakkan acara.”
“Waktunya gw belum tentuin, tapi gw dah beli cincinnya dan siapin rencananya.”
“Pas pertemuan keluarga gw aja.”
“Pertemuan keluarga ?”
“Iyah pertemuan keluarga gw sama Ramdan.”
“Siapa lagi tuh Ramdan ?”
“Calon jodoh gw. Biasa deh nyokap ngejodohin.”
“Tapi itu kan acara internal keluarga lo.”
“Justru itu jadi kan Bian ga bakal nyangka kalo bakalan dilamar.”
“Bener juga ya.”
“Sekalian gw mau berantakin acaranya. ”
“Berantakin ? Yakin ?”
“Iyah, mana sudi gw dijodohin. ”
“Emang kapan itu acaranya ?”
“Hmm gw denger bisik-bisik internal sih, bulan depan akhir. Gimana ?”
“Pas deh buat siapin acaranya.”
“Ya udah, lo omongin ke keluarga lo dulu. Kalo mereka setuju, melajuu kita.”

Sibuk aku dan Bobby mempersiapkan acara lamaran, meskipun baru sebatas diskusi non formal. Tapi tetap saja, diriku terciprat bahagianya. Bisa kubayangkan Bian menikah bersama orang yang selama ini dia benar-benar sayang. Setiap kali ketika empat sekawan berkumpul, selalu Bobby yang menjadi topik pembahasannya, Bobby begini Bobby begitu, Bobby mau ini, Bobby mau itu. Apalagi disaat dia berfikir kalau Bobby akan meninggalkannya, tau-tau dia malah menjadi pemeran utama dalam acara lamaran untuk dirinya sendiri. Jujur saja, menikah adalah hal yang tidak terfikirkan oleh kami, empat sekawan. Bagi kami berdampingan dengan orang-orang yang benar-benar menyayangi kami di pelaminan sangatlah sulit. Kami lah mungkin yang mempersulit, kami yang terkadang tidak yakin akan diri kami ataupun pasangan kami. Is he the one for me ? Am i the one for him ? Pertanyaan-pertanyaan bodoh layaknya wanita yang terlalu takut dan memilih untuk mendalami pemikiran-pemikiran dangkal kami soal hati dan perasaan.




sumber http://www.kaskus.us/showthread.php?t=5298068

Post a Comment

Top